Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Harapan dari Ring Butut di Havana

Tinju Indonesia berharap mendulang emas lewat latihan di Kuba. Mengapa bukan ke Amerika Serikat, yang dianggap kiblat tinju dunia?

1 Juni 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Petinju perempuan Beatrichx Suguro baru saja menghadapi lawan terkuat sepanjang hidupnya. Bukan apa-apa, Bea—panggilan srikandi asal Manado itu—harus baku pukul dengan petinju Kuba, Lazaro Alvarez, yang laki-laki tulen. Alvarez, 24 tahun, merupakan peraih dua medali emas di kejuaraan dunia amatir dan perunggu Olimpiade 2012 di London.

Hanya sesi latihan, memang. Namun setiap menit latihan di Escuela Nacional de Boxeo Holvein Quesada Rodriquez, Havana, berlangsung layaknya perebutan gelar juara dunia. Dug! Satu uppercut mendarat di dagu Bea, 22 tahun. "Saya langsung terhuyung," katanya kepada Tempo via telepon, Kamis dua pekan lalu.

Wajar jika Bea doyong. Di cabang tinju, kekuatan pukulan sebagian besar ditentukan oleh bobot tubuh. Itu sebabnya petinju dipisahkan dalam tiap kelas berdasarkan perbedaan berat—sekitar 4 kilogram per kelas. Nah, di sasana itu, Bea—yang timbangannya mentok di angka 48 kilogram—harus menerima pukulan Alvarez yang 12 kilogram lebih berat.

Layaknya juara sejati, Bea malah senang. "Sebab, saya lebih dulu berhasil memukul mukanya," ujarnya, tertawa. "Makanya dia kesal dan membalas dengan pukulan keras."

Bea satu dari sepuluh petinju Indonesia yang menjalani latihan di Kuba—sebagai persiapan pesta olahraga Asia Tenggara di Singapura, yang dimulai 5 Juni nanti. Bea pernah dikirim ke negeri cerutu itu selama tiga bulan sebagai persiapan SEA Games 2013. "Tapi latihan sekarang lebih spesial," katanya.

Selama hampir sebulan—kontingen tiba pada 7 Mei lalu—mereka tidak hanya digembleng bersama tim junior Kuba. Kontingen juga sepekan dua kali berlatih bersama tim elite di Escuela Nacional de Boxeo alias sekolah tinju nasional. Alvarez, yang membuat Bea nyaris tersungkur, merupakan petinju papan atas yang dipersiapkan untuk Olimpiade 2016 di Rio de Janeiro. "Belum pernah ada petinju negara lain bisa berlatih dengan mereka," ujar Adi Suwandana, pelatih tinju Indonesia yang ikut ke Kuba.

Fasilitas di sekolah tinju nasional itu, menurut kontingen Indonesia, biasa saja. Bea mengatakan ringnya buluk—jauh lebih bagus milik pemusatan latihan nasional di Lahat, Sumatera Selatan. Menu latihan juga tak jauh berbeda. Namun keistimewaan ada pada lawan latih tanding. Pelatih Kuba tidak segan-segan memasangkan seorang petinju boncel dengan lawan yang tinggi-besar.

Bea mengatakan terbiasa menghadapi lawan sparing yang lebih besar akan membuat kepercayaan dirinya meningkat di pertandingan resmi. Apalagi, dia melanjutkan, tak ada istilah setengah hati dalam kamus petinju Kuba. "Meski lawannya kecil, mereka tetap tega memukul dengan kekuatan penuh," katanya.

* * * *

Kuba, negara kepulauan di Karibia dengan 11,3 juta penduduk, tercatat dengan tinta emas di sejarah cabang adu jotos. Legenda negara itu, Eligio Sardinas Montalvo alias Kid Chocolate, merajai kelas bulu dunia pada 1930-an.

Revolusi komunis yang dipimpin Fidel Castro pada 1959 melarang atletnya mendapat bayaran selain dari negara. Artinya, tak ada atlet profesional di negeri cerutu itu. Hasilnya, sebagian besar medali di kejuaraan tinju amatir, termasuk Olimpiade, mereka libas. Petinju Kuba, Teofilo Stevenson Lawrence, tercatat sebagai juara terbanyak sepanjang masa dengan emas di Olimpiade Muenchen 1972, Montreal 1976, dan Moskow 1980.

Di kalangan penggiat tinju amatir, bahkan ada anggapan: jika atlet Kuba boleh menjadi profesional, wajah tinju dunia akan berubah. Ambil contoh Yuriorkis Gamboa, 33 tahun. Setelah mempersembahkan emas untuk Kuba di Olimpiade Athena 2004, dia kabur ke Jerman, lalu Amerika Serikat. Gamboa melakoni 23 partai tanpa kalah di kelas bulu dan ringan antara 2007 dan 2014 dengan kemenangan knockout (KO) hampir 75 persen. Di masa jayanya, dia tipikal petinju Kuba yang memiliki pukulan cepat, badan liat, dan kaki lincah.

Sekretaris Jenderal Persatuan Tinju Amatir Indonesia (Pertina) Martinez dos Santos mengatakan, awalnya, sekitar 1970-an, tinju Indonesia berkiblat ke Eropa dan Uni Soviet—bayangkan gaya tarung Klitschko bersaudara dengan pukulan dan badan lurus yang membosankan. Jerman dan Rumania menjadi tujuan tempat berlatih kita saat itu. "Arah tinju mulai berpindah ke Kuba pada 1990-an," ucap Martinez.

Selain konsisten mendulang prestasi, dia melanjutkan, Kuba memiliki persamaan postur dengan Indonesia. Kebanyakan petinju di sana bermain di kelas bulu (57 kilogram) dan ringan (60 kilogram) dengan tinggi antara 1,65 dan 1,7 meter, persis Chris John dan Daun Yordan. Saking banyaknya persamaan, atlet kita bisa meminjam sepatu atlet tuan rumah karena ukurannya sama, lalu makan nasi bareng-bareng seusai latihan.

Iklimnya pun sama-sama tropis. Sebelumnya, Kazakstan dan Uzbekistan masuk daftar pertimbangan. Tinju sedang berkembang pesat di negara pecahan Uni Soviet itu. Bintang Kazakstan, Gennady Golovkin, sedang menjadi ikon baru di dunia tinju setelah tak terkalahkan dalam 33 pertandingan dengan 91 persen kemenangan KO. Apalagi, di Kazakstan, berdiri akademi tinju yang langsung dinaungi Badan Tinju Amatir Dunia (AIBA). "Tapi di sana dingin dan salju terus turun," kata Martinez. "Nanti atlet bukannya berlatih, malah sakit."

Kuba, Martinez melanjutkan, juga lebih bagus daripada Amerika Serikat, yang merupakan kiblat tinju dunia. "Amerika pusat industri tinju profesional," tuturnya. "Kuba unggul dalam pembinaan atlet amatir. Bahkan atlet Kazakstan dan Uzbekistan hasil tempaan di Kuba."

Tinju Indonesia pertama kali bersinggungan dengan Kuba pada 1995. Saat itu sekelompok petinju dan pelatih dikirim ke Karibia selama tiga bulan. La Paene Masara merupakan angkatan awal tersebut. Hasilnya, petinju yang bertarung di kelas 48 kilogram itu menyumbang emas untuk Merah Putih di SEA Games 1997 di Jakarta dan 1999 di Brunei Darussalam. Dia juga menembus delapan besar di Olimpiade 1996 di Atlanta.

La Paene, kini 41 tahun, ingat betul ketika pertama kali menghirup udara Kuba. Di berbagai sudut Havana mudah ditemukan tempat berlatih tinju. Meski sebatas ring dan sansak butut, sasana selalu dipenuhi orang, baik yang berlatih maupun sekadar menonton. "Di Kuba, saya dilatih untuk bermental juara," ujarnya.

Hal yang sama diungkapkan Frans van Bronkhorst, pelatih yang membawa La Paene cs ke Kuba pada 2000. Juara tinju Asia 1976 ini mengatakan banyak hal yang bisa ditiru dari Kuba. Terutama program latihan dari tingkat sasana hingga tim nasional yang tertata rapi. "Sistem pelatihan di sana berjenjang dan berkesinambungan," kata anggota kontingen Indonesia di Olimpiade 1976 ini. "Meskipun sudah ada Kazakstan, dunia masih berkiblat ke Kuba."

Setelah Olimpiade 2000 di Sydney, Indonesia tak lagi mengirimkan atletnya ke Kuba. Kontrak pelatih asing pun disetop. Alasannya, menurut Martinez, pelatih lokal dianggap telah mengadopsi sistem pembinaan sesuai dengan kiblatnya. "Ternyata hasilnya tidak memuaskan," ujarnya. "Tinju amatir Indonesia mengalami penurunan prestasi."

Tidak ingin terpuruk terlalu jauh, Pertina kembali mengirim atlet ke Kuba menjelang SEA Games 2013 di Myanmar. Namun latihan tiga bulan itu tak menuai emas. Merah Putih hanya menempatkan empat wakil di babak final, dan keok. Tapi Martinez yakin Kuba telah membawa tuah. "Kami dicurangi tuan rumah. Seharusnya empat petinju itu meraih emas," katanya.

Petinju yang menembus final dua tahun lalu antara lain Beatrichx Suguro. Kali ini dia kembali dibebani target meraih emas—dari target dua emas di cabang tinju. Dia menjawab tantangan itu dengan latihan keras di Havana, 22.500 kilometer dari kampung halamannya. Melontarkan dan menerima bogem mulai pagi sampai petang. "Semua orang pasti ingin menjadi juara. Ini proses menuju ke sana," ujar Bea.

Angga Sukmawijaya


Petinju Indonesia di KubaPutra Julio Bria

  • (52 kilogram)Rafly Langi 56 kilogram)
  • Vinky Montolalu (64 kilogram)
  • Kornelis Kwangu Langu (49 kilogram)
  • Kristianus Nong Sedo (75 kilogram)
  • Farand Papendang (60 kilogram)Putri
  • Beatrichx Suguro (48 kilogram)
  • Novita Sinadia (51 kilogram)
  • Esther Kalayukin (54 kilogram)
  • Kristina Djembay (57 kilogram)
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus