Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

'Musik' yang Mengusik

Pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa di Istana Negara menimbulkan kontroversi. Langgam boleh bervariasi asalkan sesuai dengan tajwid.

1 Juni 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada yang berbeda dalam pembacaan Al-Quran pada peringatan Isra Mikraj di Istana Negara, Jakarta, Jumat pertengahan Mei lalu. Qari Muhammad Yasser Arafat membuka acara dengan membaca surah An-Najm ayat 1-15 menggunakan langgam Jawa.

Bacaan dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta itu mirip sinden dalam pergelaran wayang. Karena langgam membaca Al-Quran memang bukan sekadar kemasan pembungkus pesan ilahiah, kontroversi pun pecah. Sebagian mempermasalahkan langgamnya, sebagian lain menganggapnya sudah keluar dari hukum tajwid pada beberapa penggalan lagunya.

Tengku Zulkarnain, Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia, misalnya, mengkritik pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa di Istana waktu itu. Di mata Tengku, ada semacam hierarki dalam cara melagukan Al-Quran: langgam non-Arab hanya boleh dilantunkan oleh orang yang belum menguasai langgam Arab. "Bukan orang yang sudah mampu pakai tata cara Arab kemudian turun dengan sengaja memakai tata cara selain Arab," ujar Wakil Ketua Majelis Fatwa organisasi kemasyarakatan Islam Mathla'ul Anwar itu, mengutip kitab Hasyiyah Imam Romli as-Syafi'i.

Apalagi Istana merupakan pentas nasional yang paling sentral. "Masak, di level Istana, di depan duta-duta besar negara Islam, ditampilkan yang di bawah standar?" ujarnya.

Sebenarnya pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa merupakan tradisi lama. Saat mahasiswa dulu, Sahiron Syamsudin, Ketua Jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir Fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, sering mendengar bacaan Al-Quran dengan langgam Jawa di masjid kampusnya. "Pada 1980 dan 1990-an, ada dosen di masjid UIN Sunan Kalijaga yang sering membaca Al-Quran dengan langgam Jawa ketika menjadi imam salat," kata Sahiron.

Dia juga mencatat pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa di sejumlah masjid tertentu di kawasan Jawa Tengah bagian selatan dan Yogyakarta masih kerap menjadi kebiasaan pada 1980-an. Pembacanya memang secara umum merupakan pemuka masjid yang sudah sepuh. "Sayangnya, belum ada riset khusus yang meneliti langgam daerah dalam pembacaan Al-Quran. Pembacaan seperti ini tak hanya ada di Jawa Tengah, di Jawa Barat juga ada langgam Sunda," kata Sahiron.

Corak lokal dalam musikalitas pembacaan Al-Quran tidak hanya ada di Indonesia. Ada sebuah disertasi di Universitas Berlin yang mencatat semua jenis langgam pembacaan Al-Quran dalam tradisi lokal sejumlah negara di Afrika. "Catatan lengkap mengenai notasi setiap langgam," kata Sahiron.

Namun Ahsin Sako Muhammad, Rektor Institut Ilmu Al-Quran periode 2005-2014, menggarisbawahi pentingnya tajwid (cara membaca yang benar) dan makhraj (pengucapan huruf yang benar). Bagi Ahsin, langgam semata-mata soal selera. Nabi sendiri sangat suka mendengarkan bacaan Al-Quran Abu Musa al-Asy'ari, yang berasal dari Yaman. Namun, "Nabi tidak pernah mengarahkan kepada sahabat untuk satu langgam, yang penting sesuai dengan ilmu tajwid," ujarnya.

Ada 40 langgam dalam tradisi Arab, tapi hanya 7 yang sesuai dengan standar tilawah Al-Quran: bayati, shoba, hijaz, nahawand, rost, jiharkah, dan sikah. "Lagu Arab itu saja begitu, begitu pula lagu India, Jawa, dipilih lagi yang sesuai," ujarnya. Karena itu, ia menyarankan pembaca Al-Quran memilih langgam yang memberikan kenyamanan dan bisa menjadikan tadabur (dipahami).

Kreativitas tilawah itu tidak asli dari Arab, tapi dibawa oleh orang Persia. "Orang Arab ahli dalam pembuatan syair, tapi tidak ahli seni," ujar doktor ilmu qiraah Al-Quran di Universitas Islam Madinah ini. Setelah orang Islam masuk ke Persia, muncul perembesan budaya ke dalam masyarakat Arab. Ada yang memadukan dengan tradisi Persia sehingga terdengar lebih enak.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, penggagas pembacaan Al-Quran dalam langgam Jawa di Istana, mengingatkan agar tidak saling menyalahkan atau mengharamkan. "Ini justru harus kita sikapi sebagai kekayaan khazanah kita. Ini domain para ulama. Tentu saya bukanlah yang mempunyai kapasitas untuk berpendapat mana yang benar dan mana yang tidak benar," ujarnya.

Erwin Zachri, Addi Mawahibun Idhom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus