Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini kisah bocah lelaki bernama Musa. Tinggal bersama ibunya di masa perang kemerdekaan, ritme hidupnya berubah ketika Fujinkai dibubarkan. Gara-gara pembubaran satu-satunya organisasi perempuan semasa Jepang itu, ibunya kehilangan pekerjaan. Musa terpaksa menjadi penyemir sepatu, hingga suatu waktu seorang Jepang kenalan ibunya memintanya menjadi kurir pembawa pesan rahasia untuk pejabat dan pejuang Indonesia. Maka petualangan remaja 13 tahun ini di tengah pertempuran yang berkecamuk di Surabaya pasca-Proklamasi Kemerdekaan itu pun dimulai.
Inilah kisah seru yang ditawarkan film animasi Battle of Surabaya. Film produksi Mataram Surya Visi Sinema (MSV) Pictures, anak perusahaan STMIK Amikom Yogyakarta, ini digadang-gadang sebagai film cerita animasi produksi anak negeri yang siap unjuk gigi di layar bioskop pada Agustus mendatang, bersaing dengan film-film animasi buatan mancanegara.
Battle of Surabaya digarap sejak akhir 2011. Film ini digagas sutradara Aryanto Yuniawan dan produser eksekutif Suyanto. Latar belakang pertempuran pada 10 November 1945 dipilih berdasarkan pertimbangan bisnis. "Kami mengangkatnya karena (tema itu) sudah dikenal dunia," kata Aryanto. Pemilihan tema ini bertujuan ingin menularkan nilai-nilai patriotisme dan heroisme kepada anak-anak muda, bahwa menjadi pahlawan bagi lingkungannya tidak harus dengan mengangkat senjata. "Makanya hero bagi kami bukan seperti Superman, Batman, atau Spider-Man," ujar Aryanto.
Produser film Hery Soelistio menerangkan, mereka memilih animasi karena film jenis ini masih sedikit di Indonesia, bahkan dunia. Hanya ada 10-15 judul. Itu pun didominasi film-film produksi Walt Disney, DreamWorks, dan Pixar. "Animasi itu tingkat persaingannya sedikit, meskipun mahal," kata Hery saat ditemui Tempo di studio MSV Pictures di kompleks kampus STMIK Amikom Yogyakarta.
Proses pun bergulir. Sementara proses produksi berjalan, tim yang terdiri atas sekitar 150 orang produksi dan 30 orang nonproduksi itu juga melakukan riset. Proses riset dilakukan sekitar satu setengah tahun, termasuk melihat kecenderungan anak muda terhadap film animasi. Melihat penggemar komik Jepang (manga) di Indonesia cukup besar, manga pun dijadikan kiblat dalam pembuatan film ini. "Meskipun tidak 100 persen manga banget," ujar Hery.
Riset lain adalah menentukan artis yang menjadi pengisi suara tokoh-tokoh film ini. Ada tiga tokoh utama dalam film ini. Selain Musa, ada Yumna, gadis kecil sahabat Musa, serta Danu, pemuda 20 tahun. Tim pun menyebarkan fanpage melalui media sosial. Salah satu isinya adalah meminta usul publik soal siapakah yang layak mengisi suara Yumna dan Danu. Berdasarkan polling fanpage tersebut, publik menempatkan Maudy Ayunda sebagai pengisi suara Yumna dan Reza Rahadian sebagai dubber untuk Danu. "Jadi, sejak awal, kami tidak ingin membuat jarak dengan publik. Justru melibatkan mereka," kata Hery.
Sedangkan pengisi suara Musa adalah dubber profesional, Ian Saybani. Sebelumnya, ia juga dikenal sebagai dubber Kakashi Hatake dalam serial Naruto, juga King Louis XIV dalam The Man in the Iron Mask. Kesulitan demi kesulitan pun muncul berkaitan dengan proses pengisian suara. Khususnya pada Reza dan Maudy, yang baru pertama kali menjadi dubber. Maudy, misalnya, ketika pertama kali bertemu dengan tim, masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Suaranya pun masih menunjukkan karakter remaja. Namun, saat ia bertemu kedua kalinya untuk proses produksi, suaranya sudah mulai berubah dengan menunjukkan karakter warna suara dewasa.
Maudy pun sempat dibantu voice director yang khusus didatangkan dari Jakarta. Dia tinggal mengikuti suara orang lain yang sudah ada di dalam proses dubbing untuk memudahkan pengisian suara. Bahkan, menurut Aryanto, Maudy harus berteriak dan berguling di dalam studio selama dubbing dilakukan. "Sebab, yang sulit adalah membangun karakter melalui suara tersebut," ujarnya. Sedangkan Reza, menurut Aryanto, relatif lebih mudah menyesuaikan diri. Dalam dua jam, dia berhasil menyelesaikan 20 lembar dialog. Lantaran kedua artis tersebut masih baru dalam dunia dubbing, menurut catatan Hery, sering terjadi pengulangan. Dalam pengambilan gambar bisa dibutuhkan 10-15 kali pengulangan untuk satu kalimat saja.
Kesulitan lain muncul ketika MSV Pictures mematok standar penggunaan orang asing asli dalam pengisian suara untuk tokoh-tokoh asing. Misalnya, untuk tokoh Jepang, harus pula dicari orang Jepang asli. Begitu juga untuk tokoh Inggris. Padahal dubber asing jarang ada di Yogyakarta. Juga tak ada agen khusus yang menyediakannya di Indonesia, kecuali di Singapura dan Malaysia. Walhasil, tim pun melakukan hunting satu per satu, baik melalui jaringan dengan aktor-aktor sebelumnya yang sudah ada maupun berburu ke kampus. Hasilnya, tim berhasil menemukan tiga orang talent untuk tokoh Jepang dan empat talent untuk tokoh Inggris.
Salah satu tokoh Jepang diisi suaranya oleh Noriko, mahasiswa Jepang yang kuliah di Yogyakarta. Kemudian Kazuhiro, pemimpin spionase dari organisasi Kipas Hitam, diisi suaranya oleh Nobuyuki Suzuki. Nobuyuki sendiri bukan orang baru dalam kancah perfilman. Orang Jepang yang tinggal di Indonesia karena menikah dengan perempuan Indonesia itu menjadi pemeran Laksamana Maeda dalam film Soekarno. "Suzuki juga penggemar manga. Makanya dia langsung mengirim lamaran untuk bergabung," kata Hery.
Jerih payah tim selama tiga tahun pun tak sia-sia. Film Battle of Surabaya mulai dilirik berbagai perusahaan film di dunia. Selain Disney, perusahaan film dari Dubai ingin mendistribusikan film ini ke Timur Tengah. Pertemuan dengan tim dari Disney terjadi pada 2013 di Institut Teknologi Bandung. MSV Pictures diwakili Suyanto saat itu. Selanjutnya adalah kunjungan MSV Pictures ke Disney Asia-Pasifik di Singapura dan kunjungan balasan ke Yogyakarta.
Menurut Aryanto, Disney menawarkan diri ikut dalam pendistribusian film. Keputusannya akan disampaikan pada 3 Juni 2015 di Singapura setelah Disney melihat preview film tersebut. Tawaran pertama, apabila film itu masuk kategori Disney Movie, pendistribusiannya akan dibantu hingga seantero negara dengan sistem beli putus. Apabila film animasi ini masuk kategori Good Disney, akan dibantu penyebarannya di negara-negara Asia-Pasifik.
Saat ini, Battle of Surabaya tengah masuk tahapan post-production berupa mastering di Studio Kantana di Bangkok, Thailand. Mastering atau pembuatan master film dilakukan di Kantana karena studio itu salah satu yang sudah memiliki lisensi, selain yang ada di Dubai dan India. Proses tersebut adalah 20 persen dari total proses produksi yang dilakukan di Yogyakarta. "Jadi kami belum tahu keputusan soal tawaran Disney," ujar Hery, yang berencana memutar perdana filmnya serentak di bioskop pada 20 Agustus 2015.
Diakui Aryanto dan Hery, film animasi dengan durasi 90 menit ini membutuhkan biaya mahal. Termasuk biaya pembelian hardware dan software yang asli dari Autodesk. Total biaya yang telah dikeluarkan berkisar Rp 15 miliar. Menurut Aryanto, biaya tersebut ditopang oleh Yayasan Amikom Yogyakarta yang membawahkan kampus STMIK Amikom sekaligus anak perusahaannya, MSV Pictures. "Kami ingin, ke depannya, pemerintah turut serta mengapresiasi dan membantu proses kreatif ini," kata Hery, yang berharap Gubernur Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X bersedia menyempatkan diri menengok proses kreatif mereka.
Pito Agustin Rudiana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo