Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Hingis Baru Penyegar Lapangan Tenis

Belinda Bencic menjadi satu-satunya remaja yang mampu menembus peringkat 10 besar tenis dunia. Angin segar di tengah dominasi para pemain tua.

11 April 2016 | 00.00 WIB

Hingis Baru Penyegar Lapangan Tenis
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Perubahan besar dirasakan Belinda Bencic, 19 tahun, setelah menyandang status pemain peringkat 10 besar dunia. Ia selalu menjadi unggulan dalam turnamen yang diikutinya. Dan itu memberi keuntungan besar. "Saya selalu mendapat lapangan untuk berlatih, ruang ganti yang lebih baik, juga kemudahan dalam segala hal," katanya dalam turnamen Miami Open di Crandon Park, Miami, Amerika Serikat, dua pekan lalu.

Untuk urusan menginap, ia juga mendapat kamar hotel lebih baik. "Dengan suvenir dan keranjang makanan yang lebih besar," ujarnya, lalu tertawa lebar. Di luar lapangan, ia selalu diburu wartawan. Konferensi persnya selalu dihadiri tak kurang dari 30 jurnalis. "Saya mendapat lebih banyak perhatian dan saya menikmatinya. Ini artinya benar-benar pemain 10 besar."

Bencic masuk 10 besar petenis tunggal putri mulai pertengahan Februari lalu, ketika peringkatnya naik dari urutan ke-11 ke posisi ke-9. Ia menjadi satu-satunya petenis remaja di peringkat 10 besar sekaligus remaja pertama yang bisa meraihnya dalam 15 tahun terakhir, mengulang prestasi petenis Denmark, Caroline Wozniacki, pada 2009.

Kehadiran Bencic memberi angin segar bagi persaingan di papan atas tenis dunia, yang kian didominasi pemain tua. Berbeda dengan era 1990, ketika Martina Hingis berada di peringkat pertama dunia pada usia 17 tahun, kini posisi terhormat itu dikuasai pemain veteran. Di bagian putri, peringkat nomor satu itu diduduki Serena Williams, yang berusia 34 tahun. Adapun nomor tunggal putra dirajai Novak Djokovic, petenis Serbia putra berusia 28 tahun.

Dari segi usia, tren saat ini sudah jauh berubah. Di bagian putri, pada 1990 ada lima petenis remaja di peringkat 10 besar dunia. Kini hanya ada satu remaja di posisi itu dan hanya tiga di posisi 100 besar. Rata-rata usia petenis 10 besar bergeser dari 21 tahun menjadi 26 tahun. Di bagian putra, bahkan tak ada petenis remaja yang masuk 10 besar dunia dan hanya ada empat yang berada di 100 besar. Rata-rata usia petenis 10 besar pun bergeser dari 23 tahun menjadi 28 tahun.

Apa penyebab pergeseran itu? Setidaknya ada dua. Para atlet senior makin mampu menjaga kondisi dan performa berkat kemajuan ilmu medis, lebih memperhatikan nutrisi, inovasi metode latihan, serta adanya kemajuan teknologi olahraga, termasuk raket. Saba Aziz, mantan petenis Pakistan penyandang gelar master di bidang jurnalisme olahraga, mengungkapkan bahwa petenis terkemuka umumnya mampu membawa ahli nutrisi, ahli kebugaran, koki pribadi, ahli pijat, dan psikolog dalam rombongan untuk setiap turnamen.

Dengan kata lain, para petenis yang menua itu memiliki segala kemudahan untuk menjaga kondisi tubuh. "Ketika masalah fisik teratasi, tak diragukan lagi faktor mental dan pengalaman akan membuat petenis veteran mampu tampil lebih baik," ujarnya di situs Dawn, Juli tahun lalu.

Tapi menjaga kondisi tubuh bukan satu-satunya kunci. Chris Evert, mantan petenis Amerika yang pernah merebut 18 gelar Grand Slam, menyebut soal hambatan psikologis. Secara fisik, pada usia 35 tahun pemain masih bisa berada dalam kondisi baik. "Tapi, secara mental, sangat berat untuk tetap bangun pagi, berlatih keras, tetap optimistis, antusias, dan segar untuk menghadapi setiap pertandingan," kata wanita 61 tahun itu kepada ESPN, Juli tahun lalu.

Serena berhasil mengatasi soal motivasi itu antara lain dengan melakukan inovasi latihan. Patrick Mouratoglou, pelatihnya, menyebut petenis asal Amerika itu memilih dansa dan menari sebagai alternatif berlatih fisik. "Itu merupakan latihan yang menguras fisik tapi tetap menyenangkan," kata pelatih asal Prancis ini.

Sementara Serena dan petenis lain mampu berprestasi di usia yang kian beranjak, petenis muda justru menghadapi lebih banyak kesulitan. Sejak 1994, aturan tentang pembatasan usia diberlakukan. Aturan terbaru, yang ditetapkan pada 1998, menggariskan bahwa pemain yang belum berusia 14 tahun dilarang tampil dalam turnamen profesional. Petenis baru boleh tampil dalam semua turnamen pro setelah berusia 18 tahun. Di antara kedua usia itu jumlah turnamen mereka dibatasi 7-13 saja.

Aturan itu membuat kisah sukses Steffi Graf, legenda asal Jerman yang berhasil menang dalam turnamen pro pertamanya pada usia 13 tahun, dipastikan tak terulang. Aturan tersebut juga memunculkan kesulitan lain: keuangan. Dulu Steffi Graf bisa mendapatkan tambahan dana untuk mengarungi turnamen dari hadiah yang diraihnya, tapi kini para petenis muda tak bisa melakukannya. Mereka harus jungkir-balik mencari sponsor.

Bencic menjadi sedikit dari petenis remaja yang beruntung bisa mengatasi kesulitan ini. Lahir di Swiss dari orang tua yang berasal dari Slovakia, ia mulai dikenalkan pada olahraga tenis di usia dua setengah tahun oleh ayahnya, Ivan Bencic. "Bisa dikatakan saya mulai berjalan di lapangan tenis. Beberapa saat kemudian saya berusaha bermain dan terasa menyenangkan," kata Bencic, seperti dikutip CNN, 16 April lalu.

Pada usia 4 tahun, ia masuk sekolah tenis milik ibu Hingis, Melanie Molitor. Ayahnya kemudian berhasil menggandeng teman masa kecil yang juga bekas rekannya bermain hoki es, Marcel Niederer, sebagai investor. Berkat pasokan dana dari Niederer, Bencic dan ayahnya bisa menghabiskan waktu setengah tahun berlatih di akademi kondang milik Nick Bollettieri di Florida, Amerika.

Kembali dari Florida ke Swiss pada usia 7 tahun, ia ditawari latihan khusus oleh Melanie Molitor. Bencic pun menerimanya dengan sukacita. "Ia yang mengajari saya bermain secara cerdas," ujarnya. Polesan Molitor segera terlihat. Pada 2013, di usia 16 tahun, ia berhasil menjuarai dua turnamen Grand Slam junior, Wimbledon dan Prancis Terbuka. Pada tahun yang sama, ia juga mampu menjadi petenis junior nomor satu dunia.

Prestasi itu membuat dia dielu-elukan sebagai "Martina Hingis baru". Bukan hanya karena kesamaan negara asal dan pelatihnya, tapi juga karena gaya permainannya. Hingis, yang sempat dua kali pensiun dan kini kembali bermain khusus di nomor ganda, tak heran dengan kemiripan tersebut, meski juga melihat sejumlah perbedaan. "Ibu saya selalu berkonsentrasi pada masalah teknik. Dan benar, Beli memiliki backhand hebat. Tapi ia lebih kuat dibanding saya. Saya mungkin bisa bergerak lebih baik di lapangan, tapi ia mampu menghasilan pukulan yang mematikan," kata petenis 35 tahun ini seperti dikutip situs Roland Garros.

Karena prestasinya sebagai petenis junior, Bencic mudah mendapat sponsor. Niederer, yang kemudian menjadi manajernya, mampu menggandeng sejumlah perusahaan, termasuk Forol, Zipangu, Adidas, dan Yonex. Berbekal dukungan sponsor yang memadai, prestasinya di level pro pun terus merambat naik.

Pada 2014, ia dinobatkan sebagai petenis pendatang baru terbaik setelah mampu mencapai satu final dan satu semifinal turnamen WTA serta lolos ke perempat final Amerika Terbuka. Setahun kemudian, dua gelar juara ia rebut, yakni Aegon International di Eastbourne, Inggris, pada Juni, serta Rogers Cup di Toronto, Kanada, pada Agustus. Dalam perjalanan merebut dua trofi itu, ia mampu menaklukkan sejumlah petenis peringkat 10 besar dunia, termasuk Caroline Wozniacki, Agnieszka Radwanska, Ana Ivanovic, Simona Halep, dan Serena Williams.

Dua gelar juara itu kemudian mengantar Bencic ke posisi kesembilan dunia. Peringkatnya itu sempat naik ke urutan ketujuh, tapi kemudian turun lagi ke posisi kedelapan. Sejak masuk 10 besar dunia, ia memang belum berhasil merebut gelar juara. Di Miami Terbuka, akhir bulan lalu, ia terpaksa mundur karena cedera punggung saat menjalani laga pertamanya.

Bagi Bencic, berada di posisi 10 besar seperti mimpi yang jadi kenyataan. "Semua kerja keras saya telah berbuah," katanya. Tapi ia sadar prestasinya masih jauh dari Hingis, yang mampu merebut lima gelar Grand Slam sebelum berusia 17 tahun. Ia berhasrat mengikuti jejak idolanya itu dengan meraih gelar turnamen Grand Slam dan merebut peringkat pertama dunia. Tapi ia juga tak mau ambisi besar tersebut membebaninya. "Saya hanya ingin terus membaik setiap hari dan menjalani segalanya selangkah demi selangkah, hanya ingin terus bermain dan menikmatinya," ujarnya.

Nurdin Saleh (Wtatennis, CNN, Reuters)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus