Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DEWAN Pers punya nakhoda baru: Yosep Adi Prasetyo. Pria yang akrab disapa Stanley ini menggantikan Bagir Manan, yang memegang jabatan itu sejak 2013 hingga 2016. Stanley terpilih pada 23 Maret lalu lewat pemilihan internal Dewan Pers mengalahkan lawannya, Sinyo Harry Sarundajang. Dari sembilan anggotanya, Stanley mengumpulkan lima suara.
Kesembilan anggota itu antara lain dari unsur wartawan, yakni Hendry Chairudin Bangun, Nezar Patria, dan Ratna Komala; dari unsur pimpinan perusahaan pers, yaitu Ahmad Djauhar, Jimmy Silalahi, dan Reva Deddy Utama; serta dari unsur tokoh masyarakat, yakni Imam Wahyudi, Sinyo Harry Sarundajang, dan Stanley.
Memimpin lembaga independen yang berfungsi melindungi kehidupan pers, sejumlah pekerjaan rumah sudah menumpuk di meja kerja Stanley. Salah satunya impunitas kasus pembunuhan jurnalis di berbagai daerah. "Kami punya utang delapan kasus dark number pembunuhan wartawan," kata Stanley, yang akan memimpin hingga tiga tahun mendatang.
Para jurnalis itu adalah Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin, jurnalis Harian Bernas Yogyakarta, yang tewas dianiaya pada 16 Agustus 1996; Naimullah, jurnalis harian Sinar Pagi, yang ditemukan tewas di Pantai Penimbungan, Kalimantan Barat, pada 25 Juli 1997; Agus Mulyawan, jurnalis Asia Press, yang tewas pada 25 September 1999 di Timor Timur; serta Muhammad Jamaluddin, juru kamera TVRI yang bekerja dan hilang di Aceh pada 2003.
Lalu Ersa Siregar, jurnalis RCTI, yang tewas pada 29 Desember 2003 di Aceh; Herliyanto, jurnalis tabloid Delta Pos Sidoarjo, yang ditemukan tewas di hutan jati Desa Tarokan, Banyuanyar, Probolinggo, pada 29 April 2006; Ardiansyah Matra'is Wibisono, jurnalis stasiun televisi lokal di Merauke, yang ditemukan tewas pada 29 Juli 2010 di kawasan Gudang Arang, Sungai Maro, Merauke; serta Alfred Mirulewan, jurnalis tabloid Pelangi, yang ditemukan tewas pada 18 Desember 2010 di Kabupaten Maluku Barat Daya.
Selain memiliki utang kasus pembunuhan, Dewan Pers mempunyai sejumlah persoalan lain yang perlu ditangani. Antara lain, maraknya pemerasan yang mengatasnamakan wartawan; keberadaan entitas pemberitaan yang kerap menyebarkan kebencian atas dasar suku, agama, ras, dan antargolongan; serta dilarangnya jurnalis asing meliput di Papua tak seperti di wilayah lain Indonesia.
Stanley menjelaskan semua hal tersebut dalam wawancara khusus dengan wartawan Tempo Tito Sianipar, Sunudyantoro, Maria Hasugian, Cheta Nilawaty, dan fotografer Franoto pada Senin pekan lalu. Dalam wawancara selama dua jam di ruang kerjanya itu, Stanley juga memberi sejumlah informasi off the record.
Bagaimana cerita Anda bisa terpilih sebagai Ketua Dewan Pers?
Dewan Pers ini harus dipimpin oleh wakil masyarakat. Kenapa wakil masyarakat? Karena harus menangani topik-topik berat. Ketika ada kasus masuk ke Dewan Pers dan kemudian terjadi ketidaksepakatan, permasalahan akan dibawa ke rapat pleno. Nah, nanti dari rapat pleno akan keluar pendapat penilaian Dewan Pers. Itu biasanya ditandatangani oleh ketua. Kalau dia wartawan ataupun pemimpin perusahaan media, dia akan digugat oleh orang yang merasa tidak puas. Karena itu, ada tradisi kuat wakil masyarakatlah yang memimpin Dewan Pers, dari Atmakusumah, Ichlasul Amal, sampai Bagir Manan.
Untuk periode ini, ada tiga wakil masyarakat. Ada Pak Sinyo, Pak Imam, dan saya. Sewaktu ditanya, Pak Sinyo mengatakan bersedia, sedangkan Pak Imam tidak bersedia. Bila saya tidak bersedia, Pak Sinyo yang akan langsung terpilih. Untuk demokrasi, itu tidak bagus bila pemilihan dilakukan secara aklamasi. Akhirnya saya putuskan untuk maju dan akhirnya menang.
Apa yang akan menjadi program unggulan Anda?
Yang jelas, saya akan meneruskan yang lama karena Pak Bagir sudah meletakkan dasar yang kuat berupa MOU (nota kesepahaman) dengan Kepala Polri, Kejaksaan. Dan, di luar itu, ada surat edaran Mahkamah Agung. Kami cuma memperkuat peg-nya. Tapi, setelah kasus "cicak versus buaya" jilid II tahun 2015, kami melihat polisi jadi tidak terlalu mementingkan MOU ini. Seharusnya MOU ini menjadi titik koordinasi menjaga kemerdekaan pers. Lihat saja kasus aktivis Indonesian Corruption Watch dan Komisi Yudisial oleh polisi kemudian diproses saja. Tidak peduli Profesor Bagir Manan, sebagai Ketua Dewan Pers saat itu, sudah mengirimkan surat kepada Kabareskrim (Kepala Badan Reserse Kriminal) dan Kapolri bahwa ini jangan diproses.
(Emerson Yuntho, aktivis Indonesian Corruption Watch, menjadi tersangka pencemaran nama karena dilaporkan Romli Atmasasmita atas pemberitaan di media. Sedangkan dua pemimpin Komisi Yudisial, Suparman Marzuki dan Taufiqurrahman Syahuri, menjadi tersangka karena berkomentar di media atas putusan hakim Sarpin.)
Artinya, rekomendasi Dewan Pers kerap dimentahkan kepolisian ketika menangani sengketa pemberitaan?
Artinya, mereka melihat ini bukan dasar hukum, hanya sebuah MOU. Tidak ada sanksi kalau tak dilaksanakan, jadi mereka menjalani saja. Dan penyidik-penyidik baru ini memang tidak terlalu paham dengan MOU ini. Jadi sekarang kami mulai dari nol. Sebenarnya, ketika 2014, saya dengan Divisi Humas, Reskrim, dan Divisi Hukum sudah menyusun pedoman kerja, tapi akhirnya ini menjadi berantakan gara-gara kasus "cicak vs buaya" jilid II tadi. Tugas kami di kepengurusan baru ini memulai kembali dan mengawal proses koordinasi dengan teman-teman di kepolisian. Kami juga akan mengadakan audiensi dengan Presiden untuk memastikan kembali kebebasan pers bisa terjaga, terutama oleh lembaga-lembaga negara.
Selain itu, apa lagi yang jadi perhatian Dewan Pers mendatang?
Kami juga concern pada munculnya media dan wartawan abal-abal. Karena praktek abal-abal ini sudah melekat dengan praktek KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) di daerah-daerah. Bahkan kita bisa melihat ada wartawan abal-abal yang bikin LSM (lembaga swadaya masyarakat) dan minta uang kepada kepala desa untuk mendapatkan lima persen dari alokasi dana desa. Ini berbahaya karena akan menimbulkan biaya kemahalan bagi pembangunan. Akibatnya, sasaran pembangunan malah jadi tidak tepat guna.
Februari lalu, saya ke Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau, yang penduduknya hanya 270 ribu jiwa tapi medianya ada 500. Sebagian besar online. Dan, dari hasil diskusi dengan mereka, tidak pernah ada yang membaca kode etik jurnalistik. Tapi mereka memburu SKPD (satuan kerja perangkat daerah) setiap hari, sehingga pemerintah daerah meminta Dewan Pers datang ke sana dan memberikan pendidikan wartawan.
Sejak kapan kondisi itu berlangsung?
Rupanya sudah bertahun-tahun. Tapi kami baru saja berhasil mengidentifikasi beberapa tempat, seperti di Jawa dan Nusa Tenggara Barat. Dua tahun ini baru berjalan pendidikan literasi kepada SKPD, guru, camat, dan lurah mengenai dunia media untuk mengatasi persoalan media abal-abal ini.
Terhadap fenomena yang merugikan masyarakat seperti ini, apakah Dewan Pers bisa menerapkan tangan besi menutup mereka satu per satu?
Main tutup saja tidak bisa. Harus berkoordinasi dengan polisi, dan nanti Dewan Pers bisa menunjuk seorang ahli. Lalu di pengadilan bisa dijelaskan. Ada beberapa wartawan yang sudah dijerat secara hukum karena kebetulan saya menjadi saksi ahli.
Kalau dipetakan, di mana yang paling banyak muncul wartawan abal-abal ini?
Yang paling banyak muncul adalah daerah yang tingkat korupsinya tinggi. Fenomena media abal-abal ini tidak kami temukan di Malaysia atau Singapura, yang tingkat korupsinya rendah. Ini khas di Indonesia. Wartawan dan media abal abal akan tumbuh subur di daerah kubangan lumpur. Di daerah bersih tidak ada. Pengaduan yang paling banyak itu Sumatera Utara, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, dan Jawa Timur.
Apakah kasus kekerasan terhadap wartawan juga jadi prioritas Dewan Pers?
Betul. Kami punya concern masalah impunitas kasus kekerasan terhadap wartawan. Sering kali teman-teman wartawan yang mengalaminya memilih berdamai dengan pihak yang melakukan kekerasan di bawah tangan. Ini tidak memberikan deterrence effect kepada para pelaku kekerasan terhadap wartawan.
Di luar itu, Dewan Pers setiap tahun menerima surat dari UNESCO, yang mempertanyakan bagaimana kasus Udin, kasus Ardiansyah, dan kasus macam-macam. Kami selalu memberi jawaban setelah mencoba mengkonfirmasi kepada polisi, tapi responsnya tidak begitu bagus. Misalnya kasus Udin yang kepala poldanya mengatakan, "Saya adalah kapolda kedelapan. Kasus ini dipegang oleh kapolda sebelumnya."
Ini menunjukkan bahwa sebenarnya kerja menjadi tidak continuous. Soal fakta yang belum terungkap seharusnya menjadi pekerjaan rumah bagi pejabat yang baru. Nah, terkait dengan ini, kita akan menjadi tuan rumah bagi World Freedom Press Day pada 3 dan 4 Mei 2017. Akan ada 800 wartawan asing berkumpul di Indonesia, didukung Kementerian Luar Negeri, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta Kementerian Pendidikan. Kami maunya tidak punya utang lagi. Kami ingin menjelaskan success story Indonesia menjaga kebebasan pers sejak 1999. Tapi itu semua tidak akan bisa kalau kita punya utang itu; ada delapan kasus dark number dari pembunuhan wartawan.
Apa yang akan dilakukan Dewan Pers untuk kasus-kasus pembunuhan wartawan itu?
Duduk bersama dalam rangka penyelenggaraan sebagai tuan rumah dengan polisi, kejaksaan, Kemenlu, Kominfo. Sinergitas apa yang bisa dikerjakan dari sudut masing-masing. Kita gabung data investigasi Dewan Pers dengan dokumen PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dalam kasus Udin, misalnya. Membentuk tim akan kami dukung.
Intinya mendorong dibuka kembali fakta-fakta yang sudah ditemukan sebelumnya?
Iya. Kalau mengatakan kasus ini tidak bisa di-follow up, pertanggungjawabkan secara hukum. Jadi kita tidak punya ganjalan dark number itu. Sekarang statusnya masih ngambang, enggak jelas bagaimana penyelesaiannya.
Benarkah kasus pembunuhan Udin sudah kedaluwarsa?
Tidak. Kalau kedaluwarsa itu sudah gugur. Dalam audiensi dengan polisi, saya menjelaskan bahwa pendapat kedaluwarsa tidak bisa. Saya merujuk pada penjelasan yang tercantum dalam revisi undang-undang hukum acara pidana. Hakim agung Artidjo Alkostar juga mengatakan bahwa kasus ini tidak kedaluwarsa. Dan polisi sebenarnya juga mengatakan kasus ini tidak kedaluwarsa. Karena itulah kami kemudian menemui Kepala Polda DIY Yogyakarta. Menurut saya, perlu ada kelembagaan untuk ikut mengawasi kasus ini. Sebab, sebelum Mei 2017 kasusnya harus selesai.
Selesai bagaimana maksudnya? Apakah harus sampai in kracht?
Selesai itu artinya dilanjutkan dan tidak mengambang seperti sekarang.
Untuk kasus Udin, misalnya, sudah 18 tahun terkatung-katung. Harus ada keputusan mau diapakan kasus ini. Jika tidak mungkin ditindaklanjuti, maka umumkan. Misalnya polisi mengatakan bahwa barang buktinya sudah hilang, umumkan saja. Atau bisa melakukan penyelidikan kasus ini dari awal lagi. Tinggal akuntabilitasnya, publik bisa menerima atau tidak.
Meski mantan Bupati Bantul Sri Roso Sumarno sudah sepuh dan sejumlah eksekutor Udin meninggal?
Itu tentu akan menyulitkan. Tapi pasti ada upaya hukum lain yang bisa kami lakukan atau koordinasikan. Tapi, masalahnya, selama ini belum pernah dibuka ke publik. Nah, kami ingin nanti ada tim khusus dari kepolisian, kejaksaan, dan Dewan Pers untuk duduk bersama dan bekerja.
Soal Papua yang masih terlarang diliput wartawan asing, bagaimana Anda melihat hal ini?
Tidak mungkin menutup informasi di sebuah wilayah yang sedang mendapat sorotan dunia seperti Papua, rapat-rapat. Ingat, dulu juga di Timor Timur masyarakat dibanjiri informasi bahwa rakyat Timtim ingin berintegrasi dengan Indonesia dan mengelu-elukan Indonesia sebagai saudara tuanya. Lalu, ketika menghadapi tekanan internasional, Dewi Fortuna Anwar menyarankan kepada Presiden B.J. Habibie untuk memberi opsi: otonomi khusus atau merdeka melalui referendum. Presiden tanya intelijen, dan laporan intelijen 90 persen akan menang. Akhirnya dikasih referendum, tapi malah lepas.
Menurut saya, pers saat itu terlalu meninabobokkan pemerintah dengan tidak memberitakan permasalahan di Timor Timur. Itu sama juga tidak ada kritik dari media. Nah, menurut saya, di sinilah peran vital pers untuk mengkritik kebijakan di tanah Papua, untuk menyelamatkan Indonesia. Barangkali dengan munculnya kritik, apakah dari media asing ataupun media Indonesia, kita jadi tahu bagaimana mengatasi hal itu. Daripada menutup rapat-rapat pintu informasi dengan cara-cara kehumasan, misalnya dengan mempersilakan datang ke Raja Ampat untuk wisata bahari. Padahal semua permasalahan ada di pegunungan tengah. Nah, menurut saya, sebaiknya dibuka.
Jadi masih ada trauma Timor Timur sebenarnya?
Iya, makanya intelijen melakukan pengawasan terhadap jurnalis asing di Papua. Kalau memang tentang wartawan, Dewan Pers seharusnya terlibat. Tapi kami tidak pernah dimintai keterangan. Makanya di depan pengadilan terhadap wartawan asing itu saya sampaikan bahwa kami keberatan terhadap adanya clearing house ini.
(Pengadilan yang dimaksud Stanley adalah pengadilan terhadap dua jurnalis Prancis, Thomas Dandois dan Valentine Bourrat, karena meliput tanpa izin.)
Bukankah Presiden Joko Widodo pernah menyampaikan agar Papua dibuka bagi jurnalis asing?
Iya, tapi itu hanya terjadi di atas. Yang di bawah, clearing house-nya tidak dibubarkan. Intinya, seharusnya clearing house dibubarkan. Saat polisi dan militer mengatakan akan tetap melakukan pengawasan, itu hanya beberapa hari setelah Jokowi balik ke Jakarta. Artinya, apa yang diperintahkan kepala negara tidak diikuti oleh birokrasi di bawahnya.
Soal situs dengan konten radikalisme. Menurut Anda, sebaiknya apa yang perlu dilakukan?
Ada pilihan blokir atau dibiarkan tapi diawasi. Saya pernah tanya kepada salah satu orang FBI (penyidik federal Amerika Serikat) yang menangani radikalisme, khususnya di media online. Dia bilang, di Amerika ada first amendment yang membiarkan itu. Tapi mereka mengikuti secara cermat siapa yang mengakses. Mereka punya data semua. Kalau mereka mulai menganjurkan sesuatu, ditangkap. Kalau enggak, dibiarkan, karena itu bagian dari kebebasan berekspresi dan bersosial. Australia sebaliknya, tutup langsung. Sebab, berbahaya. Pertanyaannya, bagaimana dengan Indonesia? Saya tanya ke polisi, mereka bilang mampu. Nah, pertanyaan selanjutnya, polisi mau mengapakan mereka? Mau dibiarkan atau ditutup? Menurut saya, lebih penting mendidik masyarakat untuk tidak mengakses yang begitu.
Salah satu konsep Anda adalah Dewan Pers tidak pasif menunggu laporan, tapi aktif. Bagaimana maksudnya?
Kami akan menggunakan teman-teman jaringan organisasi wartawan, asosiasi bisnis media, dan akademikus untuk melakukan pengawasan di tempat masing masing. Karena Dewan Pers hanya sembilan orang dan itu pun yang aktif ke kantor hanya beberapa orang. Sibuk dengan pekerjaan masing masing. Tidak mungkin bisa mengharapkan kami memantau satu per satu.
Apa yang dipantau?
Pemberitaan. Jadi media-media, termasuk di daerah, akan dipantau. Misalkan ada orang yang melihat (sebuah penyimpangan) kemudian memotretnya dan mengirimkan ke saya. Terutama kalau ada pelanggaran etik atau hal yang dilarang oleh Dewan Pers.
Yosep Adi Prasetyo Tempat dan tanggal lahir: Malang, Jawa Timur, 20 Juni 1959 | Pendidikan: SMAK St. Albertus, Malang; Sarjana Teknik Elektronika Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga | Jabatan: Ketua Dewan Pers (2016-2019); Anggota Dewan Pers (2013-2016); Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (2007-2012); Direktur Eksekutif Institut Studi Arus Informasi; Anggota Kehormatan Aliansi Jurnalis Timor Leste; Anggota Kelompok Kerja Reformasi Kepolisian RI (2003); Anggota Tim Ad Hoc Kerusuhan Mei 1998 (2003); Dosen Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga; Dosen Universitas Tarumanagara, Jakarta; Pendiri Aliansi Jurnalis Independen Indonesia. |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo