Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Inggris pun Meringis

11 Agustus 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERNYATA badai krisis keuangan tidak hanya menerpa Liga Italia dan Jerman. Belakangan, klub-klub besar dan kecil di Liga Inggris juga meringis tercekik paceklik. Kesulitan ini tidak terbayangkan sebelumnya. Sebab, lembaga audit tepercaya Deloitte & Touche baru saja menobatkan Liga Inggris sebagai ajang kompetisi paling makmur di Eropa. Tahun lalu Liga Utama Inggris meraup pendapatan Rp 18 triliun. Setelah dipotong berbagai pengeluaran, ada laba bersih sekitar Rp 1,2 triliun. Manchester United termasuk dalam deretan klub yang mencicipi keuntungan itu. Meski pengeluaran buat membayar gaji pemainnya meroket hingga dua kali lipat, Setan Merah menangguk laba lebih dari Rp 200 miliar tahun lalu. Sekarang? Sejumlah klub mulai terjangkiti krisis. Berbagai cara pun dilakukan untuk mengatasinya. Leeds United, umpamanya, telah melepas bintangnya, Rio Ferdinand, ke Manchester United seharga Rp 450 miliar. Chelsea juga dikabarkan siap menjual penyerang andalannya, Jimmy Floyd Hasselbaink, dengan banderol Rp 150 miliar. Sementara klub-klub Liga Utama masih bisa bertahan dengan menjual para pemainnya, tim-tim di divisi satu dan dua hanya bisa menjerit. Saat ini terdapat sekitar 30 klub yang terancam bangkrut. Klub York City termasuk yang paling babak-belur di divisi satu. Utangnya yang "hanya" Rp 18 miliar tak kunjung bisa dilunasi. Douglas Craig, bos klub ini, telah pasrah. "Kami akan segera bubar selamanya jika tak ada yang segera mengambil alih," tuturnya. Paceklik juga dirasakan Nottingham Forest. Klub divisi satu ini megap-megap setelah penjualan sahamnya dihentikan di bursa. Saham Forest tidak boleh diperdagangkan gara-gara klub ini tak melaporkan kondisi keuangannya. Kini, klub yang menjadi juara Piala Champions pada 1978 tersebut diperkirakan merugi sekitar Rp 1 miliar setiap pekan. Sumber dana tim-tim divisi satu memang terbatas. Pendapatan mereka hanya dari hak siar televisi belaka. Ini berbeda dengan kesebelasan Liga Utama, yang bisa mendapatkan duit dari sponsor dan penjualan tiket. Klub kecil seperti York City tak mungkin mengandalkan pemasukan dari penjualan tiket, apalagi sponsor. Stadion mereka yang berkapasitas hanya 2.600-an orang jarang terisi penuh. Hanya, krisis itu tak akan menghampiri seandainya ITV Digital—pemegang hak siar Liga Inggris—tidak bangkrut. Sampai sekarang perusahaan tersebut masih menunggak utang Rp 2,5 triliun kepada Liga Inggris. Karena itu pula, ITV Digital kini digugat di pengadilan. Untuk mempertahankan hidupnya, klub-klub itu tentu tidak bisa menanti vonis pengadilan. Klub seperti Exeter City dari divisi tiga dan Bristol Rovers, klub divisi dua, memutuskan memecat 10 pemainnya. "Saya belum tahu akan bergabung di klub mana," kata Graeme Tomlinson, salah satu pemain Exeter yang diberhentikan. Dia pantas bingung karena klub-klub lain mengalami nasib yang sama. Hendriko L. Wiremmer

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus