Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Para 'Dewa' Bermasalah, Berhentilah Dulu

Saatnya aturan tentang jabatan kepercayaan dipertegas.

11 Agustus 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BABAK lanjutan kasus Asuransi Jiwa Manulife Indonesia mendesakkan satu pertanyaan penting: apakah perlu hakim di sini mendapat perlakuan istimewa? Seperti pernah diberitakan, tiga hakim Manulife itu—Hasan Basri, Kristi Purnamiwulan, Tjahyono—memvonis pailit perusahaan asuransi asal Kanada itu. Keputusan cuma berumur delapan hari dan kemudian dibatalkan Mahkamah Agung. Memang benar pekan lalu tiga hakim itu sudah diberhentikan sementara oleh presiden, tapi keistimewaan muncul lewat Pengadilan Tinggi Jakarta. Pengadilan tinggi membentuk majelis kehormatan hakim untuk memeriksa: benarkah ketiganya menerima suap? Keuntungan bagi ketiganya, majelis kehormatan akan memeriksa ketiganya melalui pemeriksaan secara tertutup. Artinya, di luar tim majelis kehormatan, tidak seorang pun akan mengetahui dengan persis apa yang terjadi dengan pemeriksaan. Ada yang patut dipertanyakan dengan sedikit "bersemangat" di sini. Misalnya soal asumsi yang dipakai untuk menyelenggarakan majelis kehormatan itu. Hakim tentu dipandang sebagai "dewa". Dalam memutus perkara, dia bertanggung jawab kepada Tuhan. Dia laksana malaikat suci. Karena itu, hakim berada di sebuah lingkungan eksklusif yang mempunyai berbagai keistimewaan, umpamanya tidak bisa sembarangan diperiksa. Kalau dia bisa setiap saat diperiksa polisi atau jaksa, kewibawaan yang dibutuhkan profesi itu bisa jatuh. Akibatnya lebih parah: rakyat tak percaya pada hukum. Maka, majelis yang memeriksanya harus khusus dan terdiri dari orang-orang "bebas salah" juga. Asumsi itu di negeri dengan hukum koyak-moyak seperti Indonesia rasanya patut ditinjau lagi. Mendudukkan hakim sebagai profesi suci bisa dilakukan di negeri yang "normal", tapi akan menggelikan bila dibenturkan dengan fakta terjadinya jual-beli kasus yang begitu subur di negeri ini. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa hakim, jaksa, bahkan hakim agung dalam banyak kasus bisa disuap dan diajak berkolusi untuk memenangkan perkara. Bukan berita lagi jika dinyatakan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan sudah semakin tipis. Jika hakim di sini sudah jauh dari kenyataan sebagai sekumpulan manusia suci, lalu mengapa pula hak untuk membuktikan salah atau tidaknya si tertuduh suap mutlak dipercayakan kepada sekumpulan hakim yang bergabung dalam majelis kehormatan itu? Bukankah cara kerja mereka juga perlu dikontrol? Pemeriksaan majelis kehormatan yang terbuka bisa diusulkan agar proses pemeriksaan dikontrol oleh orang banyak. Sebenarnya, ini peluang bagus untuk majelis kehormatan. Mereka punya kesempatan untuk membuktikan bahwa mereka telah bekerja serius dengan memeriksa tiga hakim tersebut secara terbuka. Memang ada risiko. Ketiga hakim itu bisa secara prematur "divonis" oleh masyarakat dan wibawanya bisa ambruk. Tapi, bukankah itu juga peluang yang sama bagusnya bagi tiga hakim tersebut untuk menunjukkan bahwa mereka tidak bersalah—jika benar begitu jalan ceritanya? Perkara tiga hakim ini akhirnya menyadarkan kita: ada persoalan dengan apa yang dikenal sebagai jabatan kepercayaan. Satu jabatan yang menghendaki kepercayaan mutlak dari publik. Satu jabatan yang menghendaki si pengembannya adalah "resi" yang bersih dari "penyakit masyarakat" kebanyakan. Jika melongok ke balik gedung-gedung pemerintahan di Jakarta, kita layak bersedih. Ada banyak pejabat jabatan kepercayaan yang bermasalah. Ada Ketua DPR yang berstatus terdakwa dengan tuntutan empat tahun tapi tetap aktif menjabat dan "malang-melintang" di Sidang Tahunan MPR yang memutuskan nasib bangsa. Ada Gubernur Bank Indonesia yang sudah divonis tiga tahun penjara dalam kasus korupsi Bank Bali sebesar Rp 590 miliar, eh sang "tervonis" masih anteng di kursinya—padahal Undang-Undang Bank Indonesia menyatakan dia harus non-aktif dulu. Seharusnya si pejabat bermasalah juga ikut diberhentikan sementara, agar citra jabatan kepercayaannya tidak luntur di mata publik. Bukankah sekarang saat yang tepat membenahi aturan untuk para pejabat "setengah dewa" ini?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus