Seakan tak pernah ada hentinya wakil rakyat di MPR membuat orang kecewa, sementara pihaknya sendiri merasa telah berbuat sesuatu yang berharga. Kontradiksi penilaian ini terjadi lagi untuk Ketetapan MPR tentang Pembentukan Komisi Konstitusi, yang dibuat dalam rangkaian penyelesaian amandemen konstitusi.
Kebanyakan fraksi di MPR merasa lega dan bangga bisa mencari jalan keluar, te-tapi banyak—setidak-tidaknya di kalangan yang menaruh perhatian—yang menyesalinya. Dengan ketetapan itu, MPR tidak membentuk Komisi Konstitusi sekarang, melainkan menentukan untuk dibentuk nanti oleh Badan Pekerja MPR, kemudian disahkan dalam Sidang Tahunan MPR Agustus 2003. Jadi, baru setahun lagi.
Yang juga disesalkan ialah sifat komisi itu, yang tidak independen dan tidak diberi wewenang menentukan rumusan perbaikan konstitusi sendiri. Komisi yang penyusunannya di-serahkan pada Badan Pekerja MPR (BP MPR) ini berfungsi jadi semacam badan pembantu, yang mengkaji dan menyelaraskan amandemen yang sudah dibuat dan disahkan. Hasilnya dilaporkan kepada BP MPR, sehingga kedudukannya terbatas pada fungsi staf untuk badan itu.
Selain mempersoalkan isinya, ada juga yang tidak setuju keputusan pembentukan komisi ini dituangkan hanya dalam sebuah ketetapan MPR. Mestinya dicantumkan dalam UUD, sebagai sebuah pasal dalam Aturan Tambahan UUD. Dengan demikian kedudukan hukumnya lebih kuat dan pasti. Tapi sebetulnya keinginan memasukkan ke UUD ini masih berkaitan erat dengan sifat komisi yang bukan sekadar se-bagai pembantu Badan Pekerja MPR.
Perbedaan penilaian tentang Komisi Konstitusi ini sebenarnya adalah bagian dari perbedaan persepsi tentang hasil amandemen secara keseluruhan. Banyak di antara anggota MPR, terutama yang terlibat dalam Panitia Ad Hoc I yang mengurusi amandemen, merasa puas dengan hasil kerjanya. Empat amandemen konstitusi yang telah dibuat dianggap cukup menunjukkan perubahan penting bagi peningkatan demokrasi.
Kalaupun banyak kritik terhadap sistematika dan keteledoran rumusan yuridis, namun dari segi isinya, hasil amandemen itu satu demi satu banyak yang tidak kecil artinya. Ada pasal-pasal tentang hak asasi manusia. Pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan secara langsung. MPR tidak lagi menetapkan garis-garis besar haluan negara. Utusan golongan ditiadakan, sehingga tentara dan polisi juga tidak lagi mendapat jatah di MPR. Ada Dewan Perwakilan Daerah, ada Mahkamah Konstitusi. Inilah kemajuan-kemajuan dalam pandangan para pembuatnya, yang tidak selalu diakui oleh khalayak yang punya sudut penglihatan lain.
Yang menimbulkan kritik justru adalah kekacauan dari kumpulan amandemen sebagai suatu keseluruhan. Yang dicurigai sebagai penyebabnya ialah kepentingan partai politik anggota MPR. Karena itu, untuk mengubah konstitusi, sebagaimana tuntutan gerakan reformasi, diusulkan supaya sebaiknya membentuk komisi yang khusus untuk menanganinya.
Lahirlah gagasan Komisi Konstitusi, yang digambarkan sebagai bebas dari pengaruh kepentingan para anggota MPR, dan kepentingan jangka pendek lainnya. Diharapkan, dari lembaga independen seperti ini bisa dilahirkan konstitusi baru yang memperbaiki UUD 1945 secara ideal. Namun masih belum tercapai bayangan yang sama tentang caranya lembaga ini bisa terbentuk dengan sah. Menurut UUD 1945, satu-satunya lembaga yang berhak mengubah konstitusi ialah MPR sendiri.
Jadi, keinginan mengubah UUD secara konstitusional pasti harus melalui persetujuan MPR dulu. Inilah yang agak mustahil diperoleh. Memang ternyata mulanya MPR bukan saja tak rela menyerahkan kewenangannya, tapi tertarik akan soal komisi independen pun tidak.
Ketika Panitia Ad-Hoc I Badan Pekerja MPR mempersiapkan Amandemen IV, tidak pernah soal Komisi Konstitusi ini dicantumkan dalam agenda pembahasannya. Mudah terbaca apa sebabnya. Siapa yang sudi direbut haknya, lalu menyatakan dirinya gagal sebelum waktunya dan rela melepaskan kedudukannya pada pihak lain yang tak ada hubungannya sama sekali?
Pada Sidang Tahunan MPR ini, Komisi A yang membahas amandemen pun awalnya tak berniat menyinggung perihal Komisi Konstitusi sama sekali. Baru setelah ada usul dan tekanan dari berbagai pihak, termasuk dari Fraksi TNI-Polri, hal itu mulai dibicarakan. Tapi konsep masing-masing mengenai apa Komisi Konstitusi itu berbeda-beda. Perbedaan yang esensial ialah tentang independensi komisi dan tentang kewenangan yang diberikan.
Salah satu sebab silang selisih pengertian yang berbeda itu mungkin karena terpaku pada penggunaan istilah "komisi" itu sendiri. Istilah komisi atau komite memang sering berkonotasi sebagai alat, terdiri dari sejumlah orang yang bersama-sama mendapat delegasi wewenang untuk mengurus masalah tertentu. Karena itulah Komisi A Sidang Tahunan MPR 2002 merumuskan Komisi Konstitusi itu sebagai alat dari BP MPR, dan bukan sebagai suatu lembaga independen perumus konstitusi yang diperbarui.
Masyarakat jelas menghendaki lembaga yang punya wewenang orisinal, diturunkan dari UUD. Sedangkan yang diberi MPR ialah komisi dengan kewenangan sekunder. Situasi kekisruhan pengertian "komisi" yang terjadi mirip seperti adegan si Bolot, pelawak lenong Betawi yang pura-pura budek. Yang diminta, dan yang dijawab, tak ada hubungannya. Seperti Bolot, MPR berlagak pilon ketika diminta membentuk Komisi Konstitusi yang independen: "Oh, mau komisi perkakas MPR? Nanti gua suruh bikin BP MPR, tahun depan pasti kelar!"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini