Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Melawan Alien di Lorong Waktu

Kisah berlatar serbuan alien ke bumi yang diadaptasi dari novel populer Jepang. Konsepnya lain.

9 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Edge of Tomorrow
Sutradara: Doug Liman
Skenario: Christopher McQuarrie, Jez Butterworth, John-Henry Butterworth (berdasarkan novel All You Need is Kill karangan Hiroshi Sakurazaka)
Pemain: Tom Cruise, Emily Blunt, Bill Paxton, Brendan Gleeson, Jonas Armstrong

Bayangkanlah ­suatu masa ketika manusia tak lagi menjadi satu-satunya makhluk penguasa bumi. Manusia dipaksa berbagi kaveling dengan alien, yang sedikit demi sedikit memaksa manusia tunduk. Maka, tidak bisa tidak, manusia harus bertempur melawan alien meski tak ditopang pengalaman berperang.

Situasi inilah yang harus dihadapi Mayor Bill Cage (Tom Cruise). Walaupun berdinas di militer, Cage sama sekali miskin keterampilan tempur. Memegang senjata pun sudah membuat dia panas-dingin. Maklum, selama ini ia cuma berkutat di urusan kehumasan.

Dengan modal keberanian seadanya ditunjang perlengkapan tempur canggih, Cage mati-matian berjuang melawan para mimic—satu ras alien yang punya kemampuan telepati mengendus jalan pikiran manusia. Sayang, baru beberapa menit di medan perang, Cage tewas dihajar musuh.

Tentu saja cerita tidak akan berakhir ketika tokoh utamanya langsung tewas di awal-awal. Justru inilah awal mula petualangan Cage yang sebenarnya. Sebelum 24 jam kematiannya, Cage ternyata hidup kembali. Anehnya, dia kembali berada di hari dan tempat yang sama sebelum pergi berperang. Dan kejadian itu berlangsung berulang-ulang, seperti permainan dalam video game. Sampai akhirnya ia bertemu dengan Rita Vrataski (Emily Blunt). Tak cuma jago membantai mimic, perempuan perkasa itu ternyata pernah memiliki kemampuan "hidup berulang-ulang" seperti Cage.

Mereka yang pernah membaca novel populer Jepang karangan Hiroshi Sakurazaka berjudul All You Need is Kill ( dalam bahasa Jepang, Ôru Yû Nîdo Izu Kiru) pasti tak asing dengan cerita yang disuguhkan film berjudul Edge of Tomorrow. Film produksi Warner Bros Pictures ini memang dibuat berdasarkan naskah adaptasi novel Jepang tersebut. Film ini bahkan sempat diberi judul sesuai dengan novelnya.

Edge of Tomorrow makin melengkapi jejeran film fiksi ilmiah yang belakangan ini gencar menyerbu layar bioskop. Terutama film-film tentang penyerbuan makhluk luar angkasa. Sejak Dan O'Bannon dan Ronald Shussett memperkenalkan sosok alien dalam film Alien pada 1979, entah sudah berapa judul film tentang alien yang wira-wiri di layar lebar. Tapi bukan berarti Edge of Tomorrow hadir sekadar pelengkap.

Di tangan sutradara Doug Liman, ketimbang bercerita tentang penyerbuan alien ke bumi—yang rasanya terlalu basi—film ini justru berfokus pada usaha Cage dan Vra­taski menyiasati lorong waktu. Penyuka film Groundhog Day dan Source Code, yang juga menawarkan konsep putaran waktu, pasti tak akan kecewa menonton film ini.

Liman mengemas cerita dalam tempo cepat. Jangan pernah menonton film ini sambil "bermain" telepon seluler kalau tak mau kehilangan alur cerita. Dengan bantuan teknologi CGI (computer-generated imagery), ia memanjakan penonton dengan adegan-adegan aksi yang menggetarkan. Termasuk detik-detik kehancuran dua ikon penting Kota Paris, Prancis: Museum Louvre dan Menara Eiffel.

Duet Tom Cruise dan Emily Blunt makin memperkuat tampilan film ini secara keseluruhan. Akting Cruise, yang tetap energetik pada usia 51 tahun, lebih menggigit ketimbang di film sebelumnya, Oblivion (2013), yang juga menawarkan tema sejenis. Mungkin karena di film ini Cruise tampil manusiawi. Dia bukan jagoan tanpa cela, melainkan seorang perwira penakut yang menjadi prajurit andalan.

Tapi, kalau boleh jujur, "bintang" di film ini justru Blunt. Ia sukses membangun karakter femme fatale, yang menyuguhkan pesona kecantikan perempuan lewat kegagahan dan keberingasannya melawan alien. Adu pintar antara Cage dan Vrataski bermain-main dengan waktu, plus selipan romansa dan humor di antara keduanya, membuat film ini jauh dari kata membosankan.

Nunuy Nurhayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus