Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Jalan Berliku Menuju Formula 1

Tiga pembalap Indonesia berpacu menuju kursi Formula 1 (F1). Tanpa duit sekoper, dipastikan tak ada yang masuk finis.

22 Februari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM dunia kebut-kebutan mobil, Formula 1 (F1) adalah impian setiap pembalap. Bayangkan saja, setiap kali diadakan kejuaraan dunia Grand Prix (GP) Formula 1?yang seri pembukanya tahun ini akan diputar di Melbourne, 7 Maret mendatang?sekitar 120 ribu penonton bakal menyaksikannya. Belum lagi setengah miliar penduduk dunia yang memelototinya melalui lebih dari 50 stasiun televisi yang akan menyiarkannya secara langsung. Sebagai balapan termahal di dunia, F1 memang menyimpan daya tarik yang luar biasa. Bayangkan saja, penonton akan disuguhi adegan kebut-kebutan dari kendaraan yang bertenaga sekitar 700 daya kuda yang dipacu hingga sanggup menembus kecepatan 330 kilometer per jam. Pesertanya pun tak sedikit. Sekurangnya setiap balapan diikuti 22 pembalap dari berbagai negara. Dengan daya pikat seperti itu, tak aneh bila bukan pembalap dari Eropa dan Amerika saja yang tertarik terjun dalam balapan yang diperkenalkan pada awal 1950-an di Eropa itu, tapi juga sampai ke Asia. Namun, jalan menjadi pembalap F1 sungguh sulit (lihat: Mahalnya Harga Sebuah Kursi) karena hanya pembalap tangguh dan berduit yang sanggup menembusnya. Peserta dari Asia dimulai dari Thailand, yang pernah mengirim Prince Bira berlaga tahun 1950 hingga 1954. Lama tak ada penggantinya, baru pada 1987 pembalap Jepang Satoru Nakajima meneruskan jejaknya. Dan itu dilanjutkan oleh Toranosuke Takagi, yang memulainya tahun ini. Negeri Matahari Terbit kini memang berpotensi menelurkan pembalap-pembalap F1, setelah sejak 1974 telah menjadi penyelenggara kejuaraan dunia kebut-kebutan itu. Malaysia tak mau ketinggalan. Saat ini, mereka menyiapkan pembalap muda Alexander Yong, yang sedang meniti karir di F3 Inggris. Perlu diketahui, F3 adalah jalan yang harus ditapaki seorang pembalap sebelum sampai ke F1. Putra petinggi Sirkuit Shah Alam Malaysia, Yong Yin Fah, itu ditargetkan sudah harus duduk di kursi F1 pada tahun 2000 nanti. Pencetakan pembalap ini tampaknya dijadikan proyek nasional. Buktinya, mereka juga telah membeli dua tim F1 papan tengah?tim Stewart GP dan tim Sauber Petronas?yang disiapkan bagi pembalap berusia 19 tahun itu. Malaysia bahkan telah mendaftarkan diri sebagai tuan rumah GP F1 tahun depan, melalui sirkuit barunya di Sepang. Tak aneh bila pemerintah Malaysia ikut terjun dalam arena balapan ini. Menjadi tuan rumah penyelenggara GP F1 sudah pasti akan mendatangkan uang dan promosi dengan datangnya ribuan penonton yang akan menggemukkan usaha-usaha yang terkait dengan bidang pariwisata. Bagaimana dengan Indonesia? Tanpa banyak publikasi, Indonesia ternyata telah memiliki tiga pembalap yang siap menapakkan langkah untuk berebut kursi di F1. Mereka adalah Arya Setyaki, Bagoes Hermanto dan Ananda Mikola. Arya tergolong paling junior. Dengan bekal juara gokar 1997, ia baru melangkah ke balapan formula paling dasar, yakni Formula Ford, bertenaga sekitar 200 daya kuda, di Australia, 26 Maret mendatang. Karena baru mulai, jalan yang harus ditempuh pemuda ini menuju kokpit F1 masih panjang. Selepas dari Formula Ford, masih ada tiga jenjang yang harus diselesaikan, yakni mengikuti kejuaraan formula regional (semisal Formula Asia, bertenaga sekitar 240 daya kuda), Formula 3 (F3), bertenaga sekitar 300 daya kuda, dan Formula 3000 (F3000), bertenaga sekitar 400 daya kuda. Syarat untuk naik kelas pun tak ringan, sekurangnya mengantongi peringkat lima besar. Setingkat di atas Arya, ada Bagoes Hermanto. Putra pengusaha bahan bakar premix Johnny Hermanto itu sudah mengenal balapan formula sejak 1996. Seri yang dipilih adalah Formula Asia, yang diputar di empat negara (Indonesia, Malaysia, Cina, dan India). Dengan modal juara Formula Asia 1997, pembalap berusia 18 tahun itu lantas melangkah ke Eropa dengan membidik balapan Formula Palmer, setingkat F3. Kiprah siswa kelas 3 SMU 4 Jakarta tersebut diawali dengan mengikuti kompetisi pendek Winter Championship di Inggris, November 1998. Dari ketiganya, Ananda Mikola-lah yang paling dekat ke arah F1. Putra mantan pembalap sekaligus pemilik Sirkuit Sentul, Tinton Soeprapto, itu sudah mengawali karir internasionalnya dengan mengikuti Formula Asia lima tahun lalu dan menjadi juara umum pada 1996. Tahun berikutnya, ia mengikuti kejuaraan F3 di Italia (1997 dan 1998). Di negeri piza itulah penga-lamannya sebagai seorang pembalap profesional dibentuk. Ananda punya jadwal yang ketat dalam sepekan. Selain berlatih di sirkuit, dari timnya ia mendapat pelajaran teknis tentang komputer (telemetri) dan pengetahuan soal mesin. Tak cukup hanya dengan pengetahuan teknis, tim tersebut juga mengawasinya dalam menjaga kebugaran tubuh sampai mengatur menu makanannya. Termasuk dalam kontrol mereka adalah cara Ananda berpakaian, terutama saat konferensi pers. Rupanya, karena hidupnya dibiayai sponsor, pakaian yang dikenakannya tentu harus menonjolkan sang sponsor. Pada tahun pertama di Italia, Ananda berada di peringkat ke-10 dari 24 peserta. Tahun lalu, peringkatnya diperbaikinya menjadi nomor lima. Di tahun ini, Duta Pariwisata Indonesia berusia 18 tahun itu memastikan diri mengikuti kejuaraan F3000. Bila ia berhasil lolos dengan minimal meraih peringkat lima besar, secarik tiket untuk duduk di kursi F1 akan dikantonginya. Cuma itukah? Ternyata tidak juga. Selain harus berprestasi, pembalap harus menyediakan duit sekoper. Menurut Tinton Soeprapto, tim-tim F1 memasang tarif sekitar US$ 6 juta pada seorang pembalap. Alasannya, ''Balapan formula adalah bisnis. Tim menyewakan kendaraan dan pembalap menjual prestasinya kepada sponsor," katanya. Duit yang tak sedikit itu tentulah tak cukup bila harus dikeruk dari kantong pribadi. Sejak Ananda berpartisipasi di Formula Asia, F3 Italia, hingga F3000 yang digeluti tahun ini, Tinton mengandalkan sponsor untuk membiayai kegiatan anaknya. Tinton tak khawatir hidup anaknya bakal keteter bila masuk dalam arena F1. Sebab, sebuah sponsor sudah ada di genggamannya. Bagaimana dengan Arya dan Bagoes? ''Saya sedang mencari sponsor tetap," kata Arya. Ia setali tiga uang dengan Bagoes Hermanto. Menurut Johnny Hermanto, untuk mengikuti Formula Palmer, diperlukan dana sedikitnya 150 ribu poundsterling. Kini Johnny sedang menggalang dana dari pihak sponsor sekurangnya 100 ribu poundsterling. ''Sisanya bisa saya usahakan sendiri," kata pengusaha kaya itu. Jadi, para pemuda miskin yang bercita-cita menjadi pembalap F1, silakan kuburkan impian Anda. Ma'ruf Samudra, Darmawan Sepriyosa, dan Dwi Arjanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus