Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Perginya Tokoh Masyumi Terakhir

Anwar Harjono mengembuskan napas terakhir Selasa pekan lalu. Seorang demokrat yang menghabiskan hidupnya untuk dakwah, politik, dan ilmu pengetahuan.

22 Februari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LANGIT mendung ketika jenazah sang tokoh diturunkan ke liang lahad. Perlahan. Di Tanahkusir, udara lembap. Orang-orang menunduk melepas kepergian Dr. Anwar Harjono, tokoh Masyumi terakhir, pendakwah dan politisi yang kalem itu. Lelaki jangkung 76 tahun itu wafat pukul 2.45 WIB?sepertiga terakhir malam?Selasa, 16 Februari lalu. Dan Indonesia kehilangan seorang pemikir, politisi yang tak pendendam, dan sahabat yang hangat. Nama Anwar Harjono memang tidak bisa dilepaskan dari Masyumi. Dialah tokoh yang gigih berjuang merehabilitasi partainya di awal era Orde Baru. Pada 1960, melalui Keputusan Presiden Nomor 200, Soekarno meminta Masyumi membubarkan diri?jika partai yang ketika itu dipimpin Prawoto Mangkusasmito ini tidak ingin dibubarkan. Tapi, ketika rezim Soekarno rontok, Masyumi toh tetap tidak bisa eksis. Bahkan, ketika nama Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) ditawarkan sebagai pengganti Masyumi, partai itu hanya mungkin terbit dengan syarat dari pemerintah yang hampir musykil: kepengurusan Parmusi harus bersih dari orang Masyumi. Dan Parmusi akhirnya memang urung muncul. Meski diberangus, Anwar toh tidak termakan kesumat. "Beliau adalah orang yang jujur dan demokrat," kata Yusril Ihza Mahendra, Ketua Umum Partai Bulan Bintang, tempat Anwar juga terlibat sebagai sesepuh. Februari 1967, Anwar bersama Mohammad Natsir, Prawoto Mangkusasmito, Yunan Nasution, K.H. Rusyad Nurdin, K.H. Misbach, dan beberapa pentolan Masyumi lainnya mengarahkan haluan ke dunia dakwah melalui pembentukan Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII). Lembaga ini aktif mengembangkan dakwah sampai ke pelosok daerah, seperti lokasi transmigrasi, selain mendirikan masjid-masjid. Selain itu, DDII menerbitkan majalah Media Dakwah sebagai kanal komunikasinya. Media ini dikenal sering bersuara keras, terutama menyangkut isu-isu hubungan antaragama. Pada 1992, Media Dakwah-lah yang dengan keras mengkritik gagasan cendekiawan muslim Dr. Nurcholish Madjid, yang dilontarkan dalam sebuah ceramah di Taman Ismail Marzuki, tentang perlunya Islam dipahami sebagai sebuah keluasan: Islam sebagai bentuk kepasrahan. Banyak kalangan yang menilai "serangan" Media Dakwah itu tidak proporsional dan tidak argumentatif. Tapi, bukankah Anwar seorang demokrat yang menghargai perbedaan pendapat? "Pak Anwar adalah orang yang moderat. Saya mendengar bahwa sesungguhnya beliau tidak setuju dengan apa yang disampaikan Media Dakwah," tutur Nurcholish Madjid kepada TEMPO. Nurcholish menilai, kecenderungan retorika DDII yang keras itu diakibatkan oleh represi pemerintah yang kuat kepada orang-orang Masyumi. "Saya setuju dengan tesisnya Yusril Ihza Mahendra bahwa sikap fundamental muncul jika seseorang ditekan secara politis," ungkap Nurcholish. Buktinya, ketika pemerintah mulai merangkul kalangan Islam di awal 1990-an, sikap "keras" itu pun mengendur. Anwar memang menunjukkan kelembutan itu. Pada April 1997, ia bersama A.M. Fatwa menyatakan nonaktif dari Petisi 50?kelompok yang didirikannya bersama Ali Sadikin dan kawan-kawan sebagai koreksi terhadap pemerintahan Soeharto. Padahal, sebelumnya, Anwar adalah anggota aktif dalam Kelompok Kerja Petisi 50 yang beranggotakan 8 orang. Ia menyatakan, ada perbedaan paham antara dirinya dan anggota Petisi 50 yang lain. Dan itu dibenarkan Bang Ali. "Ada perbedaan visi. Beliau kan pemimpin massa, saya bukan. Itu hak beliau," katanya. Tapi itu tidak berarti anak sulung pasangan Tamsir Sumoprawoto dan Datun kelahiran 8 November 1923 di Krian, Sidoarjo, Jawa Timur, itu luruh. Dalam tulisan ataupun wawancara yang dilakukannya di media massa, keteguhan Anwar masih terasa. Ketika di awal tahun lalu ia dipanggil Wakil Presiden Habibie soal tuntutan masyarakat akan perlunya reformasi, Anwar secara halus menyerukan agar inisiatif reformasi mestinya datang dari Presiden Soeharto sendiri. Sebagai pribadi, Anwar Harjono adalah orang yang bersahaja. Ayah dari sembilan anak ini menempati sebuah rumah di Jalan Marhaban 3, Jakarta, yang sangat sederhana. Ia bahkan tidak memiliki kendaraan pribadi. Rumah seluas 240 meter persegi yang ditempatinya sejak 1950 itu menjadi saksi bagaimana seorang Anwar Harjono menjalani hidup dengan sederhana. Selamat jalan, Pak Anwar. Selamat jalan, tokoh Masyumi terakhir. Arif Zulkifli, Purwani Diyah Prabandari, Darmawan Sepriyossa, Raju Febrian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus