Presiden Habibie pekan lalu dikutip mengatakan bahwa ia mengurus Indonesia dengan menggunakan hukum fisika. Baguslah. Tetapi bagaimana dengan hal-hal yang tak bisa didekati dengan hukum fisika?misalnya dorongan berkata-kata di mulut sendiri? Rasanya, di sini yang berlaku bukan ilmu pasti, tetapi kearifan. "Mulut kamu, harimau kamu, mengerkah kepala kamu", kata sebuah pepatah lama. Peringatan ini, agar orang berhati-hati dalam berbicara, kini terasa kian penting untuk diingat.
Terutama oleh Habibie, yang oleh Amien Rais pernah dikritik sebagai orang yang tak suka mendengarkan orang lain. "He is a bad listener", kata Amien, dan Presiden Indonesia yang ke-3 itu memang jauh dari pendiam (lihat halaman berikut: Ocehan? Kecohan?). Tiga kejadian akhir-akhir ini menunjukkan itu.
Kejadian pertama ketika Habibie mengatakan bahwa pemerintah Singapura "rasialis" karena, menurut dia, di negeri itu orang Melayu tak dapat menjadi perwira (tinggi) militer. Ini bukan hal yang layak dikemukakan terbuka oleh Kepala Negara Indonesia, karena isinya menyerang sebuah negeri tetangga yang secara resmi bersahabat. Kejadian kedua, ucapan Habibie mengenai Prabowo (lihat halaman 26). Kejadian ketiga ketika ada sebuah rekaman yang tersebar yang mengindikasikan?meskipun belum konklusif?bahwa Presiden Habibie pernah berbicara kepada Jaksa Agung lewat telepon, dan pembicaraan itu mengesankan bahwa ia telah memanipulasi kekuasaan kejaksaan untuk kepentingan kekuasaan politiknya.
Atas beredarnya rekaman itu, reaksi pemerintah persis seperti orang kaget kesrimpet kabel. Di satu sisi, Jaksa Agung Ghalib mengatakan percakapan seperti yang disiarkan antara lain oleh Panji Masyarakat, SCTV, dan ANTV itu tak pernah terjadi. Di sisi lain, Presiden Habibie, sebagaimana disebutkan oleh Menteri Sekretaris Negara Akbar Tandjung, menginstruksikan Panglima ABRI untuk mengusut kebocoran percakapan telepon itu. Logisnya: jika itu dianggap sebuah kebocoran, rekaman yang sudah tersiar itu benar.
Jika itu benar, setidaknya ada dua perkara yang tersangkut. Yang pertama soal keamanan. Jika percakapan seorang presiden bisa bocor, berarti penjagaan keamanan tak beres di sekitar Kepala Negara. Ini bisa menggambarkan betapa teledornya penjagaan keamanan pada umumnya di Indonesia sekarang, dan mungkin bisa menjelaskan kenapa konflik besar seperti terjadi dalam tragedi Ambon tak bisa ditangkal lebih dulu. Dinas intel Indonesia tampak amat ceroboh, mungkin karena bertahun-tahun biasa bekerja dengan hasil yang tanpa diuji. Mungkin pula sudah begitu merambahnya korupsi hingga apa pun bisa dibeli, juga rahasia negara. Kebocoran ini bisa dilihat punya efek positif, jika perlu ada dorongan untuk memperbaiki.
Tetapi bereaksi berlebihan juga tak tepat. Mengikuti isi rekaman itu, masyarakat umumnya tidak kaget dan meledak. Orang sudah menduga bahwa?seperti juga tampak dalam rekaman itu?pemerintahan Habibie tak bersungguh-sungguh menegakkan hukum, apalagi terhadap Soeharto. Masyarakat sejauh ini hanya geli melihat bagaimana acak-acakannya Presiden bekerja. Tapi mungkin itu juga bagian dari citra Habibie yang tidak seram, meskipun cara menggunakan kekuasaan untuk mengejar lawan politik, dengan pura-pura menegakkan hukum, sungguh mencemaskan. Betapapun, akhirnya ia memang tampak kurang becus, juga dalam menutup-nutupi diri.
Yang kedua, kasus ini menyangkut perkara hukum dan sikap etis. Jika ditelaah lebih jauh, penyiaran sadapan percakapan telepon itu merupakan skandal yang bermuka dua. Yang pertama, soal hukumnya. Menyadap pembicaraan telepon boleh disamakan dengan mencuri, atau membuka surat orang tanpa izin. Ada dua perbuatan yang terlarang: menyadap tanpa hak dan membeberkan isinya. Pelanggaran ini sama dengan melanggar hak asasi akan "kemerdekaan dan rahasia dalam surat menyurat yang tak dapat diganggu gugat, selain atas perintah hakim atau kekuasaan lain berdasarkan undang-undang". Ini juga bisa digolongkan melanggar Undang-Undang No. 3 Tahun 1989 tentang telekomunikasi, serta merupakan kejahatan tentang membuka rahasia yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dan kalau mau dipaksakan lebih jauh, itu tergolong kejahatan membocorkan rahasia negara, sekalipun akan sukar membuktikannya.
Sisi yang kedua menyangkut sikap etis. Terlepas dari cara perolehannya yang tak sah, isi percakapan telepon itu?seperti dikatakan di atas?mengukuhkan apa yang diduga khalayak selama ini. Ternyata pemeriksaan kejaksaan terhadap mantan presiden Soeharto itu diatur takarannya sebatas yang diperlukan untuk menenteramkan hati masyarakat saja. Selain itu, rupanya beberapa pengusutan kasus korupsi hanyalah alat untuk melumpuhkan lawan-lawan pribadi penguasa dan kelompoknya. Tidak salah lagi, ternyata wibawa hukum diabdikan untuk melayani tujuan politik penguasa. Inilah barangkali yang dianggap membahayakan kepentingan umum.
Dari sudut ini, yang dilakukan majalah, stasiun televisi, dan radio dengan rekaman itu masih dapat dipertanggungjawabkan. Tapi ini tak berarti majalah ini menyetujui jika atas nama kepentingan umum, siapa saja?media massa ataupun dinas intelijen?dapat menyadap apalagi menyiarkan percakapan telepon orang lain, termasuk percakapan pribadi seorang pejabat. Kejadian ini justru harus mendorong agar ada undang-undang yang lebih ketat, hingga hanya dengan izin tertulis pengadilanlah dinas intel polisi, tentara, atau yang lain, dapat memantau komunikasi orang lain: percakapan telepon, pesan di alat penyeranta (pager), e-mail, dan surat-surat. Selama Orde Baru, pelanggaran hak asasi yang satu ini dilakukan dengan tak semena-mena. Sekarang harus diakhiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini