Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TONGKAT itu sungguh luar biasa. Terbuat dari kombinasi kayu maple, ebony, dan gading. Ringan namun mantap di tangan. Tapi hati-hati, tongkat sodok bermerek Southwest ini sungguh mahal. ”Rp 47,5 juta,” kata pria itu tenang. Mendadak kami kaget.
Namun Ricky Yang, 36 tahun, pria yang menjadi lawan Tempo sore itu, santai saja. ”Pakai saja,” katanya. Dia sendiri lebih menyukai tongkat kesayangan, hasil buatan seorang rekannya di Bandung. ”Lebih enak ini,” katanya sambil menyeringai senang.
Bola pun disusun. Petang itu, Rabu dua pekan silam, kami sengaja menantang Ricky Yang bertarung bermain sembilan bola. Semula Ricky menolak. Alasannya, saat itu dia tengah mempersiapkan turnamen Guinness 9 ball pada 24-26 Oktober 2008 di Jakarta. Dia ingin tampil prima. Agar lebih rileks, dia memilih ”puasa” menggauli meja biliar. ”Maaf ya…,” katanya.
Untung, dia berubah niat. Dia menyanggupi permintaan kami. Bahkan tongkat mahal dia pinjamkan khusus untuk kami. Kesempatan yang jarang terjadi. Saat ini Ricky adalah pebiliar nomor wahid di negeri ini. Buktinya, ya itu tadi, dia satu-satunya pebiliar Indonesia yang diundang tampil dalam turnamen yang diikuti pebiliar tangguh di kawasan Asia.
Ini adalah kedua kalinya Ricky tampil di turnamen tersebut. ”Tahun lalu saya juga ikut,” katanya. Prestasinya di Sea Games Thailand 2007, sebagai peraih emas, menjadi salah satu penyebab dia mendapatkan wild card.
Kembali ke meja. Di rumah biliar Persatuan Olahraga Biliar Seluruh Indonesia di Stadion Senayan, Jakarta, sembilan bola diatur dalam bentuk berlian. Ricky mendapat giliran pertama. Kumpulan bola itu buyar dengan satu sentuhan lembut tongkat made in Bandung itu.
Giliran kami sekarang. Bak pemain kawakan, Tempo menggesekkan cue biru di ujung stik. Bersiap sebentar. Lirik sana, lirik sini. Mana tahu ada bola yang bisa disikat langsung masuk ke lubang. Ah, sulit….
Pukulan awal Ricky, yang kelihatannya biasa-biasa saja, ternyata sukses mengacaukan susunan. Bola 1 berada di antara kerumunan bola lainnya. Namun upaya harus dilakukan. Asal kena bola 1, tak apalah.
Aman, bola 1 kena. Tapi ternyata letaknya menguntungkan lawan. Ricky pun segera membungkuk.…
MEMBUNGKUK, membidik bola, dan memukulnya, menjadi santapan Ricky sejak berusia 12 tahun. Itu terjadi lantaran di rumahnya tiba-tiba saja datang sebuah meja biliar yang merupakan hadiah dari seorang kaya di kampungnya. ”Karena bapak saya berhasil mengobati anaknya,” ujar ayah tiga anak ini.
Jelas, meja ini menambah kesibukan bagi ayah Ricky, yang bekerja sebagai sinshe. Sang ayah membuka rumah biliar untuk memperoleh penghasilan tambahan.
Di kampung halamannya, Sungai Brombang, Riau, biliar adalah hiburan banyak orang. Maklum, ketika itu kota terbilang sepi. Tidak ada kendaraan bermotor di sana. Jalan pun hanya bisa dilewati becak. ”Satu-satunya kendaraan yang ada adalah mobil jenazah, itu pun sudah rusak,” ujarnya sambil tergelak.
Bagi Ricky sendiri, biliar menjadi teman yang mengasyikkan. Karena sering melihat dan membantu orang bermain biliar, Ricky mulai tertarik. ”Kalau ada orang main, saya yang memasang bolanya,” ujar peraih medali emas nomor 9 bola perorangan putra pada SEA Games 2007 di Thailand. Tapi itu tidak mulus. Ayahnya melarang dia. Sekolah menjadi prioritas utama. Maklum, menyodok bola membuatnya kecanduan, hingga lupa belajar.
Akhirnya Ricky berhasil menggauli permainan ini tanpa larangan sang ayah. Tapi bukan karena ayahnya berubah pikiran. Penghasilan orang tuanya yang pas-pasan membuat dia putus sekolah di kelas empat sekolah dasar. Sejak itulah Ricky berlatih biliar secara otodidak sepanjang hari. Kemahiran Ricky bermain biliar menarik minat banyak orang.
Salah satu dari mereka meminta izin kepada ayah Ricky untuk membawanya bertanding ke daerah lain. Ricky memperoleh kemenangan ketika bermain biliar melawan juara kabupaten di Rantau Prapat, Sumatera. ”Waktu itu saya umur 15 tahun,” tuturnya. Karena bermain bagus dan selalu menang, dia pun kerap diajak keliling daerah untuk bertanding biliar. ”Ibaratnya saya ini petarungnya,” ujarnya sambil tertawa.
Sayang, kemalangan menghadang. Rumahnya habis terbakar, termasuk tempat usaha biliar yang dikelola ayahnya. Dalam keadaan susah dan tidak mau merepotkan orang tuanya, pada usia 16 tahun Ricky memutuskan merantau ke Pematangsiantar, Sumatera Utara. Dia bekerja serabutan, termasuk membantu kawan ayahnya berjualan ikan. ”Saya tidak main biliar lagi saat itu,” katanya.
KEMBALI ke meja hijau. Setelah dia mendapat giliran, sembilan bola itu dilahap tanpa ampun. Pada saat memukul bola pertama, jam digital di tangan menunjukkan angka 16:33. Tiga menit kemudian meja sudah bersih.
Game pertama usai. Kami masih penasaran. Bola dipasangkan kembali. Giliran Tempo menyodok pertama (breakshoot). Bola dipukul pelan. Maksudnya, untuk menyembunyikan sejumlah bola. Ricky diam sejenak. Matanya bagai mesin pemindai yang bisa tahu letak semua bola. Di game kedua, dia hanya butuh waktu dua menit.
Tepat pada 16:38, kami sepakat mengakhiri permainan. Bagaimanapun, inilah kemampuan maksimal kami. Tentu berbeda dengan Ricky, yang menyantap permainan ini paling sedikit sepuluh jam setiap harinya.
SEJAK dua tahun lalu, Ricky menetap di Pekalongan, Jawa Tengah. Willyanto, pemilik perusahaan Teh Bandulan, menyediakan tempat berlatih. Ricky tidak lagi memikirkan kebutuhan keluarganya. Ia pun bersedia memakai nama perusahaan teh Bandulan di bajunya setiap bertanding sampai sekarang. ”Mereka sudah banyak membantu saya,” ujarnya.
Pekalongan menjadi tempat persinggahan Ricky paling mutakhir, setelah merantau ke berbagai daerah mulai dari Batam, Tanjung Pinang, dan Riau. Bersama kawannya, Ricky memutuskan pergi ke Jawa dan bermain biliar di beberapa daerah. ”Saya hidup dari taruhan main biliar,” ujarnya.
Lalu dia sempat mundur dari biliar. Pindah ke Medan, dia mulai membina rumah tangga dan bekerja di sebuah pabrik kayu. Karier Ricky di biliar kembali terbuka ketika pada 2005 dia ikut kejuaraan biliar di Manado dan menang.
Ricky pernah berhasil mengalahkan pebiliar kelas dunia asal Amerika Serikat, Earl Strickland, dalam sebuah pertandingan ekshibisi. Jalannya kembali terang. Dari situlah Ricky diajak bergabung ke tim Jawa Tengah.
Jalan mulus? Tidak. Meski berbagai arena telah dia masuki, satu persoalan yang belum dapat dia atasi adalah pengelolaan tekanan psikologis, terutama dalam turnamen resmi. Itu sebabnya, kadang dia pun dipeluk kegugupan, seperti yang terjadi di Sea Games 2007. Saat itu dia harus melawan Lee Vann Corteza, pebiliar kenamaan asal Filipina. ”Saking takutnya, saya sampai sembah-sembah bola sembilan supaya masuk,” ujar Ricky. Dia beruntung. Saat itu dia menang.
Sayang, ceritanya berbeda di turnamen biliar internasional Guinness 9 ball Tour 2008. Dia gagal masuk semifinal. ”Saya agak gugup,” ujarnya. Dia mengaku kalah pengalaman. ”Dia lebih banyak bertanding dan mentalnya lebih siap,” ujarnya tentang lawannya.
Ya, mudah-mudahan saja dia kalah bukan karena imbas bertanding melawan Tempo.
Irfan Budiman, Gabriel Wahyu Titiyoga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo