Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meriah di Salihara dan Dharmawangsa
Selalu menyenangkan berada di antara para sahabat. Ada tegur sapa akrab, ada canda tawa, dan komentar mengenang perjalanan bersama. Semuanya membuat hati serasa hangat.
Ya, itulah yang kami rasakan dalam rangkaian acara ”10 Tahun Tempo Kembali”, yang berlangsung sejak tiga pekan lalu. Ketika itu, di kompleks Kebayoran Centre, kantor Koran Tempo, seluruh karyawan berkumpul. Kesempatan menengok masa lalu ini penting. Sebab, tidak semua dari 550 lebih karyawan Tempo bergabung sejak awal. Bukan masa lalu itu yang penting, tapi semangat dan gagasan mendirikan media independen ini yang perlu ditularkan. Para pendiri Tempo membagi kisah dalam acara itu.
Berikutnya, kami mengundang alumni Tempo angkatan 1971 sampai 1994—tahun terakhir ini adalah waktu Tempo ditutup. Di Rumah Salihara, komunitas seni yang didirikan Goenawan Mohamad di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, 21 Oktober lalu, sekitar 300 orang alumni datang berkumpul. Ini pertemuan pertama sejak 14 tahun berpisah. Kami berpeluk-pelukan, berjabat erat, tenggelam dalam gelak tawa, berpotret ria, bicara tentang hari-hari ketika kami dulu bersama. Tempo memang rumah yang akrab sejak dulu. Ketika ditutup, kami terpaksa berpisah. Sebagian mendirikan majalah Gatra, yang lain tersebar ke banyak tempat bekerja. Perbedaan memang terjadi, tapi seperti kata Goenawan Mohamad, ”Perbedaan dan permusuhan itu tak boleh abadi. Selalu harus ada kesempatan untuk saling memaafkan.”
Kesempatan itu datang malam itu. Semua melebur dalam suasana reuni yang asyik. Tak ada lagi perbedaan, semua datang sebagai bagian dari Tempo. Acara yang dikoordinasi Corporate Secretary Rustam F. Mandayun dan Kepala Divisi SDM-Umum Diah Purnomowati itu berjalan menyenangkan.
Putu Wijaya, dulu redaktur seni, membacakan cerpen tentang burung yang kaget atas tawaran kebebasan sang tuan. ”Jangan ditepukin, nanti saya lupa,” kata Putu di tengah aksinya. Tawa pun berderai. Butet Kartaredjasa juga ikut tampil menyajikan sebuah monolog. Judulnya tak jelas, tapi Butet berandai-andai Tempo menjadi partai politik. Kendati ia meledek habis banyak orang Tempo, kami tidak memotong honornya malam itu.
Memang, ada yang bertanya, mengapa angkatan setelah 1994 tak diundang. Tak ada alasan lain kecuali soal keterbatasan tempat. Daya tampung Salihara sekitar 350 orang, sedangkan bila seluruh alumni beserta keluarganya diundang, mungkin Istora Senayan saja tak cukup.
Rangkaian acara ditutup pada Jumat pekan lalu di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan. Kami mengundang sumber berita, mitra kerja, termasuk agen, juga mereka yang selama ini berkaitan dengan kiprah Tempo dalam peliputan serta pengembangan bisnis. Sekitar 350 orang dari berbagai latar belakang—kolumnis, pemimpin media, pejabat tinggi, aktivis, pengusaha, diplomat, selebritas, public relations—tumplek di ruang pertemuan itu.
Menteri Perdagangan Mari Pangestu menyampaikan kesan. Pada 1990-an, Mari rajin menulis kolom ekonomi untuk Tempo. ”Saya merasa dibesarkan oleh majalah ini,” kata Mari. Deputi Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom, yang pernah dikritik tajam oleh Tempo, juga hadir. ”Saya memang tidak selalu setuju dengan Tempo. Tapi saya merasa memang harus ada media yang mengupayakan kebenaran,” kata Miranda, yang malam itu tampil anggun dengan gaun batik sutra. Andi Mallarangeng, Fadel Muhammad, H.S. Dillon, Susanto Pudjomartono, Karni Ilyas, Duta Besar Belanda Nikolaos van Dam juga menyampaikan komentar singkat.
Majalah Tempo sendiri menyambut momen ini dengan sebuah edisi khusus ”kecap dapur”, yang terbit dua pekan lalu. Begitulah, Pembaca, kalau aroma sanjungan dan pujian yang kami terima terasa mewarnai artikel ini, kami mohon maaf. Itu bukan apa yang kata anak Jakarta sebagai ”narsis”, itu merupakan dampak luapan kegembiraan menjadi bacaan yang tetap Anda pilih selama ini. Kami ingin tetap bersama Anda, seribu tahun lagi....
—Redaksi
Edisi 10 Tahun Tempo Kembali
Edisi 10 Tahun Tempo terbit kembali memberikan sesuatu yang berbeda dari sekian pengalaman saya membaca majalah ini. Edisi ini berbicara tentang semangat, kerja keras, dan idealisme yang tidak lekang dikungkung kediktatoran.
Di antara edisi khusus yang diterbitkan Tempo, edisi Tan Malaka dalam mengenang Kebangkitan Nasional Mei 2008 adalah edisi yang memberikan pencerahan baru bagi saya. Salah satu foto dalam edisi tersebut saya repro menjadi sebuah poster yang saat ini menghiasi ruang kerja saya. Saya adalah dosen psikologi di Universitas Hang Tuah, Surabaya, Jawa Timur. Meski bukan seorang pelanggan, saya rajin membeli Tempo dengan harga mahasiswa yang tersedia di koperasi universitas. Banyak hal yang saya dapatkan dari majalah Tempo, terutama sebagai bahan penambah wawasan dan studi kasus dalam perkuliahan psikologi yang saya sampaikan.
Tidak jarang pula, soal ujian untuk mahasiswa, saya ambilkan dari berita di Tempo. Isu yang diangkat oleh Tempo pada setiap edisi sering saya jadikan bahan diskusi dengan mahasiswa sebelum memulai perkuliahan. Hal tersebut saya maksudkan untuk mendekatkan mahasiswa dengan kehidupan nyata. Besar harapan saya, mahasiswa menjadi lebih kritis dalam pemikiran dalam bingkai penulisan yang artistik, seperti majalah Tempo. Saya bukan agen Tempo, tapi tidak bosan menyarankan mahasiswa untuk membeli majalah ini. Terima kasih dan sukses selalu untuk Tempo.
Akhmad Fauzie
Surabaya, Jawa Timur
Soal Pornografi
SAYA sepakat dengan Inke Maris yang menulis soal pornografi di rubrik Surat Tempo edisi 13-19 Oktober 2008 bahwa pornografi harus diperangi. Berdasarkan data pengaduan Lembaga Bantuan Hukum Apik Jakarta, beberapa kasus pemerkosaan terjadi setelah menonton video porno. Bisa jadi informasi Top Ten Review Internet Statistics yang dikutip Inke itu memang faktual. Pertanyaannya, apakah Undang-Undang Pornografi bisa menjadi dasar hukum bagi aparat untuk ”memerangi” pornografi dan peredarannya. Yang lebih penting, apakah undang-undang ini menjamin kepastian hukum tersebut.
Berdasarkan pernyataan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam beberapa uji publik, termasuk di Jakarta, undang-undang ini dibuat untuk mereformasi aturan tentang kesusilaan dalam Pasal 281, 282 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jika dilihat dari substansi hukum, kita dapat melihat:
1. Substansi hukum:
- Pendefinisian pornografi dalam hukum pidana sebagai unsur-unsur tindak pidana. Pidana dapat dilakukan apabila memenuhi unsur tindak pidana dan dapat dibuktikan unsur-unsur tersebut. Bila dicermati, unsur tindak pidana pornografi adalah ”materi seksualitas yang dibuat oleh manusia, dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat”.
- Pembuktian, yakni unsur-unsur tersebut harus dapat dibuktikan. Yang patut menjadi perhatian kita adalah unsur ”yang dapat membangkitkan hasrat seksual”. Tak ada penjelasan sarana dan peran ahli apa agar unsur tersebut dapat dibuktikan untuk menunjukkan bahwa bentuk materi seksual yang dibuat manusia telah dapat membangkitkan hasrat seksual. Dalam praktek hukum pidana selama ini, tindak pidana kekerasan fisik dibuktikan dengan adanya visum et repertum, kekerasan psikis dengan visum psikiatrikum.
Nah, bangkitnya hasrat seksual dibuktikan dengan apa? Apakah standar bangkitnya hasrat seksual sudah baku dan jelas? Kurangnya alat bukti akan membuat perkara dianggap tidak memenuhi permulaan bukti yang cukup. Akibatnya, perkara tidak dapat dilimpahkan ke pengadilan, sehingga kepastian hukum tidak tercapai dan bisa jadi pelaku selamanya akan menjadi tersangka. Atau, apabila unsurnya tidak terpenuhi, terdakwa dapat bebas atau lepas dari tuntutan hukum. Untuk dapat membuktikan unsur tersebut, pemerintah harus menyiapkan infrastruktur agar sarana dan upaya dalam membuktikan unsur ”dapat membangkitkan hasrat seksual” dapat dijalankan.
2. Asas legalitas hukum pidana
Dalam unsur tersebut ditegaskan: ”dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat”. Kata ”dan/atau” memang bisa berarti unsur yang dapat membangkitkan hasrat seksual saja, atau melanggar nilai-nilai di masyarakat saja, atau kedua-duanya.
Unsur nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat, dalam undang-undang positif di Indonesia ataupun dalam Undang-Undang Pornografi sendiri tidak didefinisikan dengan jelas. Nilai-nilai kesusilaan di masyarakat mana yang merupakan tindak pidana dan mana yang bukan, karena nilai kesusilaan dalam masyarakat tidak semuanya sebagai tindak pidana. Hal tersebut tentu saja bertentangan dengan asas hukum pidana kita yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu asas legalitas. Asas legalitas mengandung pemahaman hukum pidana harus bersumber pada undang-undang. Suatu tindak pidana/delik harus dirumuskan dalam peraturan undang-undang. Hal ini berakibat perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang tidak dapat disebut sebagai delik dan tidak dapat dipidana.
Dengan demikian, Undang-Undang Pornografi tidak dapat mencapai kepastian hukum. Patut disayangkan rancangannya sudah disahkan. Sebab, nanti tidak seorang pun pelaku yang dapat dipidana dengan undang-undang ini. Undang-undang ini bisa menjadi pasal-pasal karet.
Ibu Inke Maris, kerusakan memang sudah di depan mata, tapi undang-undang ini adalah sebuah aturan ompong dan semestinya diperbaiki lagi agar tujuan berperang dengan kapitalis porno menjamin perlindungan bagi anak-anak dan perempuan. Kita perlu mendorong Dewan Perwakilan Rakyat agar menghasilkan produk hukum yang bermutu dan tajam menjerat pelaku, bukan basa-basi politik yang sekadar mencetak undang-undang tanpa dapat dipraktekkan.
Sri Nur Herwati
Koordinator Divisi Pelayanan Hukum Lembaga Bantuan Hukum Apik Jakarta
Alternatif Undang-Undang Pornografi
DARIPADA sekadar mendukung atau menolak Undang-Undang Pornografi, ada baiknya kita mengkaji alternatif rancangan regulasi yang lebih bisa diterima oleh semua kalangan. Menurut saya, yang layak dipertimbangkan adalah Undang-Undang Distribusi Materi Dewasa, yang lazim diterapkan negara-negara maju.
Undang-undang ini membatasi peredaran materi dewasa berdasarkan kategori umur. Seluruh anak-anak dijauhkan dari materi dewasa. Begitu juga orang-orang dewasa yang tidak menyukai materi dewasa. Adapun orang-orang dewasa yang bisa mengapresiasinya tetap bisa mengakses lewat jalur-jalur tertentu. Contoh aplikasinya bisa berupa tersedianya bioskop khusus dan DVD khusus yang isinya film tak tersensor. Dengan cara ini, bahkan Lembaga Sensor Film yang saat ini sedang dipermasalahkan tetap bisa eksis serta berfungsi seperti biasa dan kepentingan semua kalangan terpenuhi.
Yang dimaksud dengan materi dewasa dalam hal ini adalah sensualitas (yang porno ataupun yang tidak porno), adegan kekerasan, dan bahasa kasar. Ini merupakan langkah yang lebih maju dibanding konsep Undang-Undang Pornografi. Saat ini masyarakat Indonesia lebih bersemangat menyoroti adegan sensual daripada adegan kekerasan yang sebenarnya lebih destruktif. Akibatnya, praktek kekerasan semakin marak dilakukan oleh kalangan-kalangan tertentu. Padahal bangsa yang beradab adalah bangsa yang tidak menoleransi segala bentuk kekerasan dan intimidasi.
Radix W.P.
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga
Dukung Operasi Yustisi
Salah satu filter untuk meminimalisasi ledakan jumlah penduduk Jakarta akibat urbanisasi adalah perlunya Operasi Yustisi Kependudukan. Operasi itu tidak hanya bertujuan menertibkan penduduk yang datang ke kota besar, tapi sekaligus bisa mencegah kemungkinan terjadinya terorisme.
Dengan demikian, kita bisa melihat dan mengetahui secara detail siapa yang masuk kampung. Kalau memang bertujuan baik, pasti yang bersangkutan bakal melapor ke ketua rukun tetangga setempat. Ini semua bisa mencegah terjadinya peristiwa yang baru saja terjadi di Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Seperti diberitakan di media massa, di sebuah rumah yang terletak di kawasan Kelapa Gading ditemukan sejumlah bahan peledak yang diduga bahan pembuat bom dalam skala yang cukup besar dan peluru. Diduga kuat, ini ada hubungannya dengan aksi terorisme.
LINDA SURACHMAN, SH
Lebak Bulus, Jakarta Selatan
Waspada Banjir
MUSIM hujan sebentar lagi tiba. Warga Jakarta akan menghadapi ritual tahunan: banjir. Karena sudah jadi ritual terlalu sering mengalaminya, kita sering lalai. Alih-alih menyiapkan penyelamatan jika air bah itu tiba.
Warga masih harus bersabar karena tanda-tanda pembangunan Kanal Banjir Timur masih jauh dari selesai. Apalagi Gubernur Jakarta sudah menyatakan kanal tak akan bisa menghilangkan banjir. Lalu, apakah artinya kita tak lagi punya harapan terbebas dari banjir?
Kita tidak tahu apakah pembangunan Kanal Banjir Timur juga didukung dengan pembangunan saluran yang bisa mengalirkan genangan air dari permukiman ke kanal itu? Sebab, jika tidak akan percuma saja kanal dibangun. Air akan tetap tergenang dan banjir akan tetap tertahan di pemukiman.
Di Jepang, sungai-sungai yang dangkal pun punya kedalaman lima hingga tujuh meter. Artinya, orang Jepang sudah mengantisipasi luapan air meski sungai itu tak pernah banjir. Ini belum membicarakan betapa resiknya bantaran di kiri-kanan sungai-sungai di sana. Dihiasi bangku cantik dengan pohon sakura atau ume yang bukan main indahnya saat mekar. Pokoknya, bantaran sungai di sana sudah menjadi ruang publik yang menyenangkan.
YAYAT HIDAYAT
Duren Sawit, Jakarta Timur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo