Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Jasa Pendatang di Tim Bintang

Lebih dari separuh anggota tim nasional Prancis yang membawa negeri itu menjadi bintang Piala Dunia 2018 adalah keturunan imigran asal Afrika. Kelompok imigran di Prancis kerap mendapat tekanan dan menjadi korban aksi rasisme.

21 Juli 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Jasa Pendatang di Tim Bintang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKSI Presiden Emmanuel Macron melonjak-lonjak di tribun eksekutif mewarnai pesta kemenangan tim nasional Prancis di Piala Dunia 2018. Macron bahkan tampak begitu gembira ketika turun ke lapangan seraya memeluk satu per satu pemain Prancis di tengah guyuran hujan deras.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam laga final yang berlangsung di Stadion Luzhniki, Moskow, 15 Juli lalu, Prancis keluar sebagai pemenang setelah menga¡©lahkan Kroasia 4-2. Ini adalah trofi kedua alias bintang kedua bagi Prancis setelah mereka menjuarai Piala Dunia ketika menjadi tuan rumah 20 tahun lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pesta kemenangan tak berhenti di lapangan. Di ruang ganti, para pemain berebut untuk berfoto bersama trofi Piala Dunia. Pelatih Didier Deschamps tak henti memeluk mereka, sementara Olivier Giroud menangis haru di tengah kegembiraan timnya. ¡±Kita jadi juara! Kita sukses melakukannya!¡± Teriakan para pemain memenuhi ruang ganti.

Keramaian bertambah ketika Macron, yang datang bersama Presiden Rusia Vladimir Putin, dan Presiden Kroasia Kolinda Grabar-Kitarovic bergabung. Video yang diunggah gelandang Prancis, Paul Pogba, menunjukkan Macron asyik bersenda-gurau bersama para pemain. Macron bahkan menari bersama mereka. ¡±Aku pernah meminta kalian dan pelatih membawa pulang bintang kedua, dan sekarang kalian sukses melakukannya,¡± kata Macron seperti dilaporkan ESPN. "Kalian berhasil mewujudkan mimpi 60 juta warga Prancis."

Pesta kemenangan menyebar ke setiap sudut kota di Prancis. Kegembiraan juga menyeruak hingga ke Salvation Army, tempat penampungan imigran di selatan Paris. Penghuninya, pengungsi dan imigran dari Afganistan hingga Sudan, menyatu dengan membawa bendera Prancis.

Bagi mereka, Prancis adalah negeri impian. Ketidakmampuan berbahasa Prancis tak menghentikan mereka untuk menyuarakan dukungan selama pertandingan berlangsung dan ikut bersorak-sorai ketika Prancis jadi juara. "Empat gol di final! Itu gila!" ucap Florence, perempuan asal Kamerun, seperti dilaporkan France24.

Florence mengaku sangat bangga ada pemain berdarah Kamerun, seperti Kylian Mbappe dan Samuel Umtiti, yang menjadi bagian dari tim nasional Prancis di Piala Dunia. "Kamerun menghasilkan hal yang indah dan berkontribusi terhadap kemajuan tim Prancis," tuturnya.

Tim Prancis, dengan segala kehebatannya sehingga kini menjadi tim terbaik di dunia dalam kompetisi olahraga terpopuler di bumi itu, memang sangat bergantung pada imigran. Dalam Piala Dunia tahun ini, 19 dari 23 pemain yang dibawa Deschamps adalah imigran atau anak keturunan imigran.

Mbappe, yang baru berusia 19 tahun, bahkan langsung menjadi bintang Les Bleus. Dia pemain muda pertama yang mencetak gol dalam laga final Piala Dunia setelah Pele melakukannya di final Piala Dunia 1958 pada usia 17 tahun.

Aksi Mbappe selama Piala Dunia bahkan membuat Pele begitu terkesan. Berseloroh, striker legendaris Brasil itu menyatakan akan "mengelap debu di sepatu bolanya dan berlatih kembali" untuk mempertahankan gelarnya melawan Mbappe.

Mbappe menjadi potret utama bagaimana pemain imigran membentuk tim nasional Prancis. Pemuda berdarah Aljazair-Kamerun itu lahir di pinggiran Kota Paris pada 1998. Pada tahun yang sama, Prancis meraih gelar juara Piala Dunia perdananya.

Bergabung dengan tim nasional adalah mimpi Mbappe, yang tumbuh besar di Bondy-salah satu banlieue atau daerah pinggiran kota yang didominasi imigran, sebagian hidup dalam keterbatasan ekonomi.

Bukan hanya Mbappe, para pemain imigran di Les Bleus sudah mengenal Prancis sejak kecil, bahkan lahir di negara itu. Orang tua mereka adalah imigran, sebagian besar dari negara di Afrika yang pernah menjadi koloni Prancis.

Pogba, andalan tim Prancis di lini tengah, adalah contoh lain anak imigran di negeri itu yang meraih sukses lewat sepak bola. Orang tuanya datang dari Guinea, negara di bagian barat Afrika. Lahir di kota kecil Lagny-sur-Marne, sekitar 26 kilometer dari Paris, Pogba tumbuh dalam lingkungan yang didominasi pendatang.

Gelandang bertahan andalan Prancis serta Chelsea, N'Golo Kante, lahir dan besar di Paris. Namun orang tuanya pendatang dari Mali. Adapun Blaise Matuidi adalah anak pasangan asal Kongo dan Angola yang hijrah ke Toulouse.

Samuel Umtiti juga tumbuh besar dalam pengaruh lingkungan Prancis ketimbang negara asalnya, Kamerun. Dia dibawa keluarganya hijrah ke Villeurbanne, kota kecil di dekat Lyon, saat berusia dua tahun. Demikian juga Steve Mandanda Mpidi, yang diboyong keluarganya dari Kinshasa, Republik Demokratik Kongo, ketika masih bayi.

Garis keturunan dan asal-usul keluarga yang bukan asli Prancis tak mengurangi kebanggaan para pemain keturunan imigran itu dalam membela Les Bleus. Menurut Pogba, Prancis adalah negara dengan keberagaman dan penuh warna. "Banyak orang dengan asal-usul berbeda datang dan ini membuat Prancis indah," ujarnya. "Kami merasa sebagai orang Prancis dan bangga mengenakan kostum tim nasional."

Imigran menjadi bagian dari perkembangan demografi Prancis. Pada 2014, survei badan statistik Prancis (INSEE) menemukan jumlah imigran atau mereka yang lahir di luar negara itu sekitar 6 juta jiwa. Jumlah ini naik dari data 2008, saat populasi imigran diperkirakan mencapai 5,3 juta orang. Adapun 6,5 juta jiwa adalah keturunan pendatang yang lahir di Prancis.

Badan statistik Uni Eropa (Eurostat) memperkirakan jumlah imigran di Prancis mencapai 7,9 juta jiwa. Jumlah ini setara dengan 11,8 persen dari populasi Prancis pada periode awal 2016.

Aliran imigran ke Prancis tak lepas dari efek kebijakan tenaga kerja pemerintah negara itu setelah Perang Dunia II. Kala itu, Prancis dicengkeram masalah kekurangan tenaga kerja. Negara ini merekrut banyak tenaga kerja asing dari wilayah koloninya di Afrika dan Eropa. Selama puluhan tahun, imigran terus datang, menetap, dan beranak-pinak di Prancis. Hingga saat ini, Prancis menjadi salah satu negara Eropa yang memiliki populasi imigran terbanyak.

Tim nasional sepak bola Prancis di Piala Dunia 2018 adalah contoh sukses penggabungan talenta imigran multietnis dengan beragam budaya. Bahkan banyak pemain top yang tumbuh dari komunitas imigran di banlieue, yang dikenal sebagai daerah miskin dan kumuh. Dengan latar anggota tim nasional seperti itu, keberhasilan Prancis di Rusia kerap dinilai sebagai kemenangan untuk multikulturalisme. Ironisnya, warga imigran di Prancis masih menjadi sasaran tindakan diskriminatif.

Kondisi ini tak lepas dari peliknya situasi keamanan di Prancis tiga tahun terakhir. Serangan teror yang disebut dilakukan simpatisan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) menyasar kerumunan warga di Paris pada 2015 dan menewaskan 130 orang. Peristiwa itu tak ayal menyulut ketegangan yang diwarnai sentimen agama serta rasisme antara warga Prancis dan imigran. Serangan yang diwarnai penembakan terhadap kantor surat kabar Charlie Hebdo pada 2015 memperkeruh suasana. Setahun kemudian, serangan terjadi lagi di Nice. Keamanan di seluruh negeri diperketat.

Perayaan kemenangan Prancis di Piala Dunia seperti menyalakan kembali harapan untuk memperbaiki hubungan yang retak. Kedatangan 23 pemain tim nasional di Paris sehari setelah menang di Moskow disambut warga dengan meriah. Ratusan ribu orang dari beragam etnis, ras, dan budaya memadati Champs-Elysees di Paris. Warga berkerumun, berdansa, dan melambaikan bendera Prancis bersama-sama-sesuatu yang jarang terjadi di Prancis belakangan ini.

Pemerintah Prancis bahkan menurunkan lebih dari 110 ribu polisi dan petugas keamanan untuk menjaga pesta kemenangan, yang dirayakan berdekatan dengan hari libur nasional menyambut Bastille Day. "Ini harus dilakukan agar warga Prancis bisa merayakannya dengan tenang, meski ancaman terorisme masih tinggi," ucap Menteri Dalam Negeri Gerard Collomb.

Alexis Canto, pemuda berdarah Spanyol yang ikut merayakan parade itu, menyatakan banyak orang dengan berbagai asal-usul berkumpul di Champs-Elysees. "Ini adalah citra Prancis, tim yang menggambarkan Prancis saat ini," katanya seperti ditulis The New York Times. "Kita semua adalah imigran, jika benar-benar menyadarinya."

Sentimen positif serupa pernah muncul ketika Prancis menjuarai Piala Dunia 1998. Saat itu, tim nasional Prancis diisi pemain multietnis dan budaya. Suporter menjuluki mereka Black-Blanc-Beur alias tim hitam-putih-Afrika Utara, yang merujuk pada warna kulit dan asal-usul pemain. Didier Deschamps, yang membawa Prancis menjadi juara di Rusia, adalah kapten tim kala itu. Pemain keturunan imigran yang menjadi bintang lapangan antara lain Zinedine Zidane dan Lilian Thuram.

Perubahan besar terjadi berbarengan dengan sukses yang diraih partai sayap kanan National Front dalam pemilihan Presiden Prancis pada 2002. Partai yang dipimpin Jean-Marie Le Pen itu dikenal dengan kebijakan anti-imigrannya dan menganggap gelombang aliran pendatang muslim, terutama dari Afrika, akan mengubah identitas Prancis.

Puncaknya adalah kerusuhan selama sekitar dua pekan yang melanda berbagai kota di Prancis, terutama di kawasan imigran, pada 2005. Kerusuhan itu dipicu kematian dua remaja akibat tersetrum listrik ketika berusaha bersembunyi dari kejaran polisi. Seperti dilaporkan The Associated Press, warga Prancis dilaporkan sudah lama merasa frustrasi atas tingginya angka pengangguran, diskriminasi, dan kebrutalan polisi. Sejak itu, Prancis tak lagi sama dan imigran berada di bawah tekanan.

April lalu, parlemen Prancis meloloskan undang-undang keimigrasian baru. Aturan itu membuat proses deportasi imigran ilegal lebih mudah. Pengajuan permohonan suaka oleh imigran pun diperketat. Tenggat permohonan suaka diperpendek, sementara waktu penahanan imigran ilegal justru digandakan. Mereka yang ketahuan masuk ke Prancis secara ilegal bahkan langsung dipenjara setahun.

Tekanan terhadap imigran ini tak lepas dari aksi politik. Sejumlah politikus Prancis, terutama dari National Rally, partai yang bermetamorfosis dari National Front bentukan Le Pen, bereaksi keras terhadap kaum imigran, yang dinilai sebagai masalah besar negara itu. Marine Le Pen, pemimpin National Rally sejak 2011, terus mempromosikan isu anti-imigran.

Ketika Prancis menjadi juara Piala Dunia pada 1998, Marine Le Pen sudah rajin "menyerang" tim nasional. Menurut putri Jean-Marie Le Pen tersebut, tim nasional Prancis kala itu berisi "orang asing" yang menolak menyanyikan lagu nasional. Tudingannya terutama mengarah kepada Zidane, yang berdarah Aljazair dan seorang muslim.

Tekanan secara politis diperparah oleh maraknya rasisme. Thuram, pemain berkulit hitam yang berperan besar dalam kemenangan Prancis di Piala Dunia 1998, menggunakan popularitasnya sebagai pemain bola untuk melawan rasisme, yang menurut dia masih ada hingga saat ini. "Aku masih melihat dan mendengarnya, bahkan di sepak bola Eropa," ucapnya seperti dilaporkan The Independent. "Kita harus terus bicara dan menunjukkannya agar aksi itu bisa diredam."

Keberhasilan tim sepak bola Prancis di Piala Dunia membuat warga negara itu bisa melupakan ketegangan di antara mereka. Popularitas Emmanuel Macron ikut terkerek naik. Namun Prancis masih menyimpan bara konflik yang berakar pada tingginya tingkat pengangguran, terutama di kawasan banlieue; kebijakan anti-imigran; dan islamofobia.

Meski demikian, Macron setidaknya membawa janji baru. Selasa pekan lalu, seperti dilaporkan The Telegraph, dia mendesak sekitar 100 petinggi perusahaan besar Prancis agar memperhatikan pemain berbakat dari banlieue yang selama ini terabaikan. Dia juga menemui petinggi serikat pekerja untuk mendiskusikan reformasi bagi komunitas miskin, pensiunan, dan penganggur.

Gabriel Wahyu Titiyoga (Moskow)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus