Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APIT Sopian, 34 tahun, meninggalkan rumah untuk mengikuti tahlilan pada Kamis sore awal Juni lalu. Arya, anaknya yang berusia enam tahun, mengejarnya minta ikut. Belum sampai sang anak di samping Apit, tiba-tiba terdengar bunyi bruk. Tubuh Arya ambruk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apit berhenti. Arya lekas-lekas berdiri dan berlari menyusul ayahnya. Tapi tubuh Arya kembali limbung dan terjatuh. "Saya angkat, pas mau masukin kakinya ke sandal, dia enggak bisa. Akhirnya saya gendong ke rumah, terus dipijat," kata Apit, Senin dua pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melihat anaknya tertidur setelah azan isya berkumandang, Apit tenang. Tapi, saat tengah malam, ia terbangun karena anaknya mendengkur. "Napasnya berat sekali. Waktu dicek, badannya panas, kakinya sudah lemas, susah digerakkan," ucap guru honorer di Desa Mekarwangi, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung, itu.
Paginya, Apit membawa Arya ke Rumah Sakit Umum Daerah Majalaya, Kabupaten Bandung. Dokter mendiagnosis Arya terserang sindrom Guillain-Barre, penyakit autoimun yang melumpuhkan saraf tepi. Tapi, karena peralatan di rumah sakit itu tak lengkap, Arya dirujuk ke Rumah Sakit Hasan Sadikin, Kota Bandung.
Makin hari, tubuh Arya makin lemah. Ia jadi sulit menelan, susah bernapas, sampai kerja jantungnya ngedrop. "Jantungnya berhenti mendadak pada hari ke-13 perawatan," tutur dokter spesialis anak yang menanganinya, Stanza Uga. Dua pekan setelah masuk rumah sakit pada 8 Juni lalu, Arya koma.
Arya menderita sindrom yang sama dengan pelatih tim nasional Uruguay, Oscar Tabarez. Sindrom Guillain-Barre, yang menyerangnya pada 2016, membuat kakinya cacat. Saat berjalan, ia harus dibantu tongkat, seperti ketika menemani timnya berlaga dalam Piala Dunia 2018 di Rusia.
Sindrom Guillain-Barre adalah penyakit autoimun langka. Tiap tahun, hanya ada satu atau dua per 100 ribu penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Tiga dokter asal Prancis, yakni Georges Guillain, Jean Alexandre Barre, dan Andre Strohl, pertama kali mempublikasikan makalah tentang penyakit ini pada Oktober 1916. Dalam makalah tersebut, mereka menggambarkan kondisi dua tentara Perang Dunia I yang menderita kelumpuhan tak biasa. Salah satunya diduga menderita penyakit yang dinamai berdasarkan nama para dokter itu. Ia pulih setelah menjalani terapi.
Sindrom yang disebabkan oleh autoimunitas ini menyusup di dalam tubuh ketika pertahanan sistem imun melemah akibat serangan virus atau bakteri. Virus atau bakteri pemicu penyakit ini bisa apa saja, termasuk kuman penyebab batuk, pilek, dan diare.
Ketika pasukan kuman menyerbu, sistem imun tubuh otomatis melawan. Tapi, karena kuman meniru karakteristik saraf, pertahanan tubuh tersebut malah salah mendeteksi. Saraf yang menjadi kabel penghubung otak dengan organ malah dianggap sebagai musuh dan turut digempur. "Virus memimikri saraf. Jadi saraf ikut diserang," kata dokter spesialis saraf subspesialis saraf tepi dan otot Rumah Sakit Hasan Sadikin, Nushrotul Lailiyya Dahlan.
Menurut dokter spesialis anak subspesialis saraf Nelly Amalia Risan, efek hantaman sistem imun tersebut mulai terasa dalam rentang waktu dua hari sampai tiga minggu. Saraf tepi pertama yang diserang adalah yang paling panjang, yakni pada kaki atau tangan. Dampaknya bisa kebas, lunglai, bahkan sampai lumpuh. Dampak itu kemudian menjalar ke atas, termasuk di wajah, yang membuat muka kaku seperti patung; di mata, yang menyebabkan tak bisa berkedip; dan saluran pencernaan bagian atas, yang membuat tak bisa menelan.
Yang paling berbahaya adalah ketika sistem imun menyerang saraf organ vital, seperti jantung, paru-paru, dan sistem pencernaan. Akibatnya, antara lain, pasien mendadak mengalami hipertensi atau malah hipotensi alias tekanan darah rendah, denyut jantung tak beraturan, dan susah bernapas. "Yang terakhir ini yang membuat kami waswas, karena bisa menyebabkan kematian," ucap Leily-sapaan Nushrotul Lailiyya.
Karena itu, ketika terdiagnosis, pasien biasanya langsung dilarikan ke ruang unit perawatan intensif untuk mendapat alat bantu pernapasan. Alat bantu itu juga diberikan sebelum pasien mengalami sesak napas untuk mengantisipasi progresivitas penyakit.
Meski penyakit ini tergolong langka, dalam dua tahun terakhir, jumlah pasien sindrom Guillain-Barre dewasa yang datang ke Hasan Sadikinmeningkat. Sebelumnya, jumlah pasien dewasa rata-rata 40 orang per tahun. Tapi, tahun ini, dalam tiga bulan terakhir saja, pasiennya sudah 40. "Saya juga tidak tahu apakah terjadi perubahan pola dari cuaca atau kondisi daya tahan tubuh masyarakat yang sedang rentan," ujar Leily. Dokter di RS Hasan Sadikin sedang menyelidiki peningkatan itu.
Menurut Leily, banyak faktor yang bisa membuat kondisi tubuh lemah sehingga terserang sindrom Guillain-Barre. Di antaranya cuaca, seperti masa pancaroba atau peralihan dari musim hujan ke kemarau, yang membuat orang gampang terjangkit kuman. Perempuan hamil, pasien pasca-operasi dan pasca-hepatitis, pemakai obat-obatan kortikosteroid jangka panjang, serta penderita diabetes dan tifoid juga berisiko terkena sindrom tersebut.
Untuk penyembuhan, Leily mengatakan, jika pasien mengalami komplikasi, dokter akan menyarankan konsumsi imunoglobulin intravena. Obat ini antara lain berfungsi melawan kuman serta menghambat sel imun agar tak merusak tubuh. Menurut dia, obat ini ampuh, tapi mahal. "Sekali pemberian dosis Rp 20-40 juta," ujarnya. Cara lain adalah memberikan plasmapheresis untuk membersihkan plasma darah dari sistem imun yang salah mengenali saraf tepi.
Selain mengkonsumsi obat, pasien mesti berlatih menggerakkan tubuh agar lebih cepat pulih, yakni dari mengubah posisi tidur sampai menjalani fisioterapi. Latihan disesuaikan dengan bagian saraf yang terserang.
Masa pemulihan tergantung seberapa parah serangan sistem imun tubuh tersebut. Bila serangan tak sampai menyebabkan kelumpuhan, pemulihan akan lebih cepat, saraf tepi pun bisa kembali tumbuh seperti sedia kala. Tapi, jika pasien lumpuh, jejak kecacatan akan tetap ada, seperti yang dialami Oscar Tabarez. "Kalau usianya sudah tua, lebih susah, karena kondisi tubuhnya tidak sebaik waktu muda," tutur Leily.
Kalau sudah sembuh, Leily menambahkan, pasien sindrom Guillain-Barre mesti benar-benar menjaga tubuh. Jika tidak demikian, sindrom itu bisa kembali menyerang. Untuk orang yang belum pernah terserang, penyakit ini sebenarnya bisa dicegah, di antaranya dengan istirahat cukup serta makan makanan bergizi tinggi guna mempertahankan daya tubuh tetap bagus. "Kuncinya, saat itu daya tahan tubuh harus segera diperbaiki."
Anwar Siswadi (Bandung)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo