Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Jika Bola Sepi, Berdagang Baju

Meski harus menghidupi diri dengan berdagang baju dan sepatu, pemain-pemain sepak bola Kamerun tetap bertahan di Indonesia.

29 Maret 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAPA bilang peluang kerja di Indonesia sudah tertutup? Tonton saja pertandingan 10 Besar Liga Indonesia V yang sedang berlangsung di Stadion Utama Senayan, Jakarta, dan baru berakhir tanggal 4 April mendatang itu. Di sana terlihat seliweran pemain bola yang warna kulitnya berbeda dengan atlet Indonesia. Merekalah pemain asing yang dikontrak oleh klub-klub yang berlaga dalam pertandingan tersebut. Dari 10 klub yang bertanding dalam pesta rakyat itu, ada 16 pemain asing yang terlibat. Yang terbanyak, 12 orang, berasal dari Kamerun, negeri jauh di Benua Afrika. Kepiawaian pemain Kamerun dalam menggelandang bola memang sudah dikenal sejak negara itu lolos ke Piala Dunia 1982. Ketangguhan pemain Afrika itu tak disia-siakan oleh klub-klub yang berlaga. "Mereka punya banyak kelebihan. Selain permainannya bagus, bayaran mereka terjangkau," kata Rusdy Bahalwan, pelatih Persebaya. Bayaran terjangkau? Bukankah klub-klub sepak bola Indonesia sedang megap-megap dan harus memangkas semua honor pemainnya? Ternyata bayaran yang terpangkas itu pun diterima para pemain Kamerun dengan senang hati. Krisis ekonomi yang melanda dunia menyebabkan industri sepak bola di negeri itu macet total. Dua tahun lalu, klub Tune atau Unispo, misalnya, masih berani menggaji pemainnya dengan bayaran sekitar US$ 500. "Sekarang pertandingan sepi. Pemain harus ke luar negeri bila ingin mendapat pekerjaan," kata Joseph Lewono, 23 tahun, pemain asal Kamerun yang memperkuat kesebelasan Persebaya. Maka ladang kehidupan yang sudah didapat di Indonesia tak akan mereka lepaskan. Padahal jumlah uang yang mereka terima jauh menyusut dibandingkan dengan sebelumnya. Dalam putaran Liga Indonesia dua periode lalu, misalnya, klub masih berani membayar pemain asing US$ 1.500 hingga US$ 3.500. Sejak tahun lalu, klub melakukan penyesuaian. Namun, menurut Lewono, kondisinya masih lebih baik daripada situasi ekonomi di Kamerun. Lewono termasuk pemain yang berkurang pendapatannya. Saat memperkuat kesebelasan Persija (1997-1998), mantan pemain Liga Kamerun (1991-1996) ini masih bisa tersenyum dengan bayaran US$ 1.500 (sekitar Rp 12 juta, dengan kurs Rp 8.000). Dari gaji yang ditabungnya, ia sempat membeli sebuah sedan untuk dipakai sebagai kendaraan keluarga di negeri asalnya. Kini pendapatan Lewono merosot hingga tinggal Rp 7 juta. Kondisi serupa dialami Simon Atangana, 26 tahun. Ketika bergabung bersama tim Pupuk Kalimantan Timur (1995-1997), Atangana mendapat bayaran US$ 3.500. Dan di tahun kedua, bayaran itu naik menjadi US$ 4.000. Dengan bayaran yang memadai, ia bisa mengajak istri dan anaknya, Clemence dan Thin, tinggal di Bontang. Setelah kontraknya dengan tim Pupuk Kal-Tim diputus, pemain tim nasional Kamerun (1989) itu kemudian bergabung dengan klub Putra Samarinda, dengan sejumlah catatan tentunya. Rumah tinggal yang ditempati tak sebagus rumahnya ketika Atangana dikontrak Pupuk Kal-Tim. Pendapatan yang diterima pun merosot tajam. Tahun pertama gajinya Rp 5 juta dan tahun ini kembali disesuaikan menjadi Rp 4 juta. "Saya tak punya pilihan lain. Saya tahu, Indonesia sedang krisis," katanya. Begitu pula Ebanda Timothe, 27 tahun. Dua tahun bergabung di PS Bandarlampung (1997-1998), dengan gaji US$ 2.500, ia bisa makan hamburger sepuas-puasnya. Bahkan, setiap akhir tahun, Timothe mengisi jeda dengan berlibur ke Prancis. Sekarang Timothe harus berpikir dua kali untuk melanjutkan gaya hidupnya itu. Kini mereka harus berpikir dua kali juga untuk melanjutkan hidup di tanah seberang dengan gaji pas-pasan, sementara keluarga di Kamerun tetap harus dihidupi. Apa akal? Jawabannya ternyata ada di Taman Puring, Kebayoran Baru, dan Pasar Rumput, dua lokasi penjualan barang "bermerek" tapi dengan harga pasaran. Baju bermerek desainer terkenal apa saja ada di sana. Soal mutu jangan ditanya. Bisa saja sekali cuci, baju sudah luntur. Yang penting, harganya sungguh terjangkau. Inilah yang dibutuhkan warga Kamerun. Maka Simon Atangana menyambi sebagai pengekspor sepatu olahraga bekas ke negaranya. Dengan modal Rp 70 ribu hingga Rp 100 ribu, ia menjual kembali dengan harga sampai Rp 500 ribu. Baju bermerek seperti Versace buatan Bandung juga menjadi komoditi unggulannya. "Di Afrika, baju sangat mahal karena dipasok langsung dari Prancis. Harganya bisa Rp 1 juta," katanya. Peluang serupa disambar Ebanda Timothe. Sebagai orang asing, menurut pengakuannya, penggemar nasi goreng ini sempat "dikadali". Untuk sepasang sepatu tenis yang dibelinya di Lampung, ia harus mengeluarkan uang Rp 600 ribu. Ternyata jenis sepatu yang sama di Jakarta harganya Rp 200 ribu. Selama 10 Besar Liga Indonesia V, segala kepandaian berbisnis itu mereka simpan dulu. Mereka menikmati kemewahan hidup di hotel dengan makanan bergizi yang gratis. Tapi, seiring dengan berakhirnya kontrak mereka dengan klub seusai pertandingan Liga Indonesia, hiruk-pikuk bisnis yang dijalankan warga Kamerun akan kembali berdenyut. Mereka akan kembali tinggal berjejalan di perkampungan orang asing di Jalan Jaksa, Jakarta Pusat. Pasar loak atau Pasar Ular di Jakarta Utara mulai dipadati konsumen berkulit hitam. "Mereka kembali berdagang sambil menunggu pertandingan tahun depan," kata Maboang Kessack, pemain Persija Utara yang menjadi pemasok utama pemain Afrika di Indonesia.

Ma'ruf Samudra

Perkiraan Gaji Pemain Asing
Persikota
Bell Simon Hitler (Kamerun)Rp 2 juta
Steven Weah (Liberia) Rp 2,5 juta
Simamo Armand (Kamerun) Rp 5 juta
PSIS Semarang
Ebanda Timothe (Kamerun) Rp 8 juta
Simon Atangana (Kamerun) Rp 4 juta
Ali Syaha Alley (Tanzania) Rp 6 juta
PSM Ujungpandang
Charles Yongga (Kamerun) Rp 5 juta
Izack Jaime (Brasil) Rp 3 juta
PSMS Medan
Om Luc Junior (Kamerun) Rp 3 juta
Bako Sadisque (Kamerun) Rp 4 juta
Jean Michael Baboaken (Kamerun) Rp 5 juta
Persija
Mbeng Jean (Kamerun) Rp 12 juta
Olinga Atangana (Kamerun) Rp 10 juta
Luciano Leandro (Brasil) US$ 5.000
Persebaya
Musa Kallon (Kamerun) Rp 5 juta
Joseph Lewono (Kamerun) Rp 7 juta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus