Bangun dari sebuah mimpi buruk. Itulah yang dialami orang-orang Madura yang selamat dari kejaran suku Dayak dan Melayu. Meskipun suasana berangsur damai, peristiwa perburuan itu tak mudah dihapuskan dari ingatan. Rasa ngeri, cemas, dan putus asa masih hinggap di kepala mereka. Jazuli, 18 tahun, dan Nasir, 20 tahun, adalah dua dari sedikit warga Dusun Sempadung, Kecamatan Tebas, yang selamat dari maut. Keduanya mengungsi ke Pontianak dan menceritakan kisah tragis yang dialaminya ketika bertahan dari kepungan masyarakat Dayak dan Melayu.
"Pertempuran dua hari" di Desa Sempadung yang dikisahkan dua orang itu mungkin adalah pertempuran paling sengit di antara dua suku yang bertikai itu. Desa yang berpenduduk sekitar 900 orang ini sebagian besar dihuni orang Madura. Karena letak Sempadung "terkepung" desa-desa yang semuanya dihuni Melayu, ketika pertikaian meletus, warga Madura di Sempadung tidak punya pilihan lain: bertahan sampai mati atau dibantai habis.
Penyerbuan pertama ke Sempadung terjadi pada Selasa sore, 16 Maret lalu. Jumlah penyerbu diperkirakan 2.000 orang. Dan,"Karena dikepung, kami memilih bertempur daripada dibantai," kata Natsir. Sebenarnya, saat pengepungan terjadi, sejumlah aparat keamanan sudah berada di Sempadung dan berusaha mencegah pertempuran. Tapi, karena jumlah aparat cuma belasan orang, mereka akhirnya tak mampu menahan massa. Ketika salah seorang tentara menembakkan senjata, massa malah tambah beringas dan bergerak maju. Belasan tentara memilih jalan cepat: lari tunggang-langgang menyelamatkan diri.
Maka, dimulailah perkelahian tak seimbang itu. "Jujur saja, saat itu saya takut sekali. Suara teriakan massa yang bersahut-sahutan dengan gonggongan anjing disertai bunyi letusan senapan bowman (senapan untuk berburu babi) membuat saya merinding," cerita Nasir, anak Madura itu. Ia mengaku tak habis pikir ketika penyerang desanya meneriakkan "Allahu Akbar" berkali-kali. "Sampai saat ini saya tak habis pikir, bukankah kami dan orang Melayu seagama dan bersaudara," kata Nasir. Temannya menjelaskan bahwa sebenarnya karena nila setitik rusak susu sebelanga. "Kami harus menerima akibat dari ulah segelintir orang Madura yang brengsek," kata Jazuli.
Pertempuran yang dimulai Selasa sore, 16 Maret itu, awalnya berlangsung imbang hingga menjelang subuh keesokan harinya. Bahkan pertempuran sempat terhenti karena kedua belah pihak?ini benar-benar ironis?menunaikan salat subuh. Barulah sekitar pukul 7.00 pagi, serangan dilanjutkan.
Menurut Nasir, para penyerbu tak mengenal belas kasihan. Ia menyaksikan seorang bapak yang dikeroyok oleh penyerbu bersenjata tombak dan parang, ketika tubuhnya sudah roboh ke tanah, kepalanya dipenggal salah seorang penyerbu yang berikat kepala merah, sambil berteriak-teriak.
Hingga Rabu sore, Sempadung belum bisa ditaklukkan. Mungkin karena penyerbu kelelahan, menjelang magrib penyerangan dihentikan. Saat itu warga Sempadung pun sudah berada dalam kondisi semakin kritis. Selain kelelahan, persediaan makanan mereka menipis. Karena itu, diputuskan bahwa ibu-ibu, wanita, remaja, dan anak-anak harus mengungsi. Maka, suasana haru menyelimuti ibu, istri, dan anak-anak yang harus berpisah dengan bapak, anak, atau suaminya. "Saya dan beberapa anak muda ditugaskan mengawal pengungsi lewat sungai dan laut," kisah Jazuli.
Sebelum naik ke perahu para pengungsi bersembunyi di tepi sungai menunggu bantuan pengamanan warga Madura dari kampung lain. Jazuli sendiri bersama sekitar 30-an warga lainnya diselamatkan oleh seorang Cina. Setelah sekitar tiga jam menyusuri Sungai Sentete dan Laut Natuna dalam kegelapan malam ke arah selatan, mereka tiba di Kota Kecamatan Mempawah, dekat Pontianak. Aparat keamanan kemudian membawa mereka dengan truk menuju Pontianak.
Menurut penuturan pengungsi lain yang tinggal di sekitar Sempadung, para penyerbu baru berhasil menaklukkan desa tersebut, Kamis dini hari. Dari laki-laki yang bertahan, hanya segelintir yang bisa menyelamatkan diri. Lainnya tewas terkapar.
RFM, Iwan S (Sambas), dan Koresponden Pontianak
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini