Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Kaki Gajah Masih Mewabah

Filariasis bukan penyakit mematikan. Pengobatan yang tidak mengindahkan kondisi kesehatan si pasien bisa fatal, bahkan berakibat kematian.

23 November 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA Hari Pahlawan, 10 November lalu, korban jiwa berjatuhan di Kabupaten Bandung. Bukan karena melawan sisa-sisa penjajah, tapi gara-gara minum obat antipenyakit gajah. Padahal hari itu memang dicanangkan pengobatan massal mencegah filariasis—nama keren penyakit kaki gajah.

Di Kabupaten Bandung pada 2008, diketahui terdapat 15 kecamatan endemik. Di antaranya Pameungpeuk, Banjaran, Cipedes, dan Majalaya. Di empat daerah itu, menurut Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung, Suhardiman, jumlah cacing filariasis berkisar 50-200 ekor per sentimeter kubik darah. Cacing terbanyak dikandung warga Majalaya.

Pemerintah pun mengadakan program massal pemberantasan kaki gajah. Elis dan anaknya, yang masih kelas dua sekolah dasar, bersama warga lain Kampung Cigalumpit, Kecamatan Kutawaringin, Kabupaten Bandung, berkumpul di rumah ketua RW sejak pukul sembilan pagi, 10 November lalu.

Kader kesehatan memberikan tiga butir obat hijau dan dua tablet putih kepada warga. Paket obat dalam plastik yang berasal dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) itu terdiri atas Diethyl Carbamazine Citrate (DEC), Albendazol 400, dan Parasetamol 500. Butiran tablet itu harus diminum di hadapan petugas, khawatir salah penggunaannya. Pesan dari pemandu kesehatan sederhana, ”Sebelum minum obat, harus makan dulu.”

Hanya dalam hitungan menit setelah menenggak obat, kepala Elis pusing selama sekitar setengah jam, perut mual, dan badan gatal. Anaknya juga menderita hal sama. Padahal mereka sudah makan sebelum minum obat, sesuai saran. ”Saya pikir itu hanya reaksi obat sesaat,” katanya.

Karena tiga hari belum sembuh, Elis ke rumah sakit. Ndilalah, di sana dia bertemu ibunya, Mimin, 46 tahun, yang tinggal di kampung sebelah. Keluhannya sama, ditambah kakinya tiba-tiba lemas hingga sulit berjalan. ”Napas saya sesak, muntah dan diare, tak lama setelah minum obat kaki gajah,” ujarnya saat ditemui di Rumah Sakit Umum Daerah Soreang, Sabtu pekan lalu. Mimin mengaku sempat disuntik seorang mantri, sebelum ke rumah sakit. ”Tapi enggak ada perubahan,” katanya.

Tak jauh dari Mimin, seorang perempuan berjilbab tergolek lemas, wajahnya pucat. ”Usai minum obat kaki gajah, ibu saya muntah-muntah hingga lemas. Makan-minum selalu keluar lagi,” ujar Asep Sukmana, yang menemani ibunya. Dua hari dirawat, sudah enam botol infus habis, tapi kondisi ibunya masih belum pulih.

Ada lebih dari 1.100 orang yang mengalami gejala serupa di beberapa rumah sakit Kabupaten Bandung, setelah minum obat pencegah kaki gajah. Bahkan delapan orang di antara mereka meninggal, seperti Omay Komarudin, 60 tahun, Lilis (52), dan Apeng (42). Warga Banjaran dan Soreang itu meninggal sehari setelah minum obat.

”Pada saat masuk, kondisi mereka sudah parah,” kata dokter jaga Rumah Sakit Soreang, Putu Yunita. Ketiganya, menurut Putu, juga mengidap penyakit darah tinggi dan jantung. Tapi Putu tak bisa memastikan apakah kematian itu akibat efek samping obat filariasis. ”Saya serahkan penyelidikan itu ke dinas atau Departemen Kesehatan,” ujarnya.

Memang, kematian mereka belum tentu hanya karena minum obat filariasis, seperti dikatakan Kepala Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Majalaya, Rustam Pane Effendi Sinaga. Kesimpulan rapat Dinas Kesehatan Jawa Barat, setelah timnya turun ke lapangan sehari setelah korban bertumbangan, menyebut meninggalnya pasien karena penyakit bawaan yang diidapnya. Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih bahkan menjamin obat yang digunakan aman, memenuhi syarat mutu, dan tidak kedaluwarsa. ”Kematian disebabkan penyakit lain,” ujarnya.

Menurut dokter spesialis penyakit dalam dan ahli penyakit tropik Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, Primal Sudjana, sejak obat itu dibagikan massal pada 2002, tidak ada kasus kematian akibat meminum obat kaki gajah itu. Kasus efek samping obat yang pernah dicatat WHO, menurut Primal, diperkirakan kurang dari satu persen dari total populasi peminum obat.

Tercatat pernah ada kasus efek samping pengobatan massal kaki gajah hingga hampir 15 persen penduduk di Kecamatan Long Ikis, Kalimantan Timur, pada 2000-an. Setelah itu, daerah tersebut dinyatakan bebas kaki gajah.

Filariasis, menurut Primal, adalah salah satu penyakit infeksi yang disebabkan cacing filaria dan ditularkan lewat perantara nyamuk. Masa inkubasi sekitar satu tahun. Penyakit itu biasanya menyerang pekerja kasar. Kasus pada laki-laki lebih banyak dibanding perempuan. ”Umumnya menyerang orang berusia 20-30 tahun,” katanya.

Di dalam tubuh yang terinfeksi, cacing filariasis masuk ke kelenjar dan pembuluh limfa. Setelah berkembang biak, mikrofilariasis menyusup ke pembuluh darah lalu menyebar ke seluruh tubuh. Parasit menyerang kelenjar ari-ari, kaki, dan saluran alat vital laki-laki dan perempuan. Pada gejala akut menimbulkan rasa nyeri atau radang pada kelenjar yang terkena, misalnya pada buah zakar atau vagina. Rasa sakit itu disertai demam, sakit kepala, mual, muntah, dan hilang nafsu makan. Gejala pada tahap kronis, terjadi pembekakan pada organ tubuh yang diserang.

Sejak parasit masuk ke tubuh, cacing filariasis, menurut Primal, diperkirakan bisa bertahan dalam tubuh manusia selama lima tahun. Karena itu, pemerintah dan WHO menganjurkan agar obat antifilariasis diminum simultan selama lima tahun dengan sekali telan tiap tahun. WHO sejak 2002 mencanangkan filariasis lenyap pada 2020.

Filariasis sampai saat ini belum bisa disembuhkan. Tapi penderita dengan gejala akut, menurut Primal, masih bisa ditolong. Caranya, minum tablet DEC dosis 6 miligram setiap hari. ”Pengobatan itu diberikan selama 12 hari, terus diulang 1-6 bulan jika diperlukan,” katanya. Sedangkan obat lainnya, Fermekin, hanya berguna untuk membunuh mikrofilaria.

DEC lebih direkomendasi karena berfungsi membunuh cacing filariasis dan anak-anaknya yang disebut miokrofilariasis. Sedangkan Albendazol seperti obat cacing biasa. ”Karena itu, jika ada efek samping obat itu bisa memicu kematian, harus diselidiki dengan cara otopsi oleh forensik,” kata Primal.

Dalam pengobatan massal, menurut Primal, aturan dosis bisa dikesampingkan. Menurut edaran brosur yang dikeluarkan pemerintah, obat itu dilarang untuk anak berusia di bawah dua tahun, ibu hamil dan menyusui, penderita jantung, diabetes, darah tinggi, pasien dengan alergi tertentu, orang yang sakit berat, dan anak balita bergizi buruk. ”Dalam kondisi sehat, penyakit dasarnya harus terkendali,” katanya. Dalam pengobatan massal, petugas kesehatan tentu bakal kesulitan jika harus memeriksa kondisi kesehatan warga satu per satu.

Efek samping obat, menurut Primal, bisa juga disebabkan oleh kematian parasit. Tubuh akan bereaksi terhadap cacing filaria yang mati karena sistem kekebalan tubuh yang terangsang melawan cacing. Dalam kasus umum, seperti di Kabupaten Bandung, efek samping itu menimbulkan rasa mual, muntah, pusing, hingga sesak napas, terutama pada penderita asma. Banyaknya orang yang ke rumah sakit setelah pengobatan karena cara memakan obat yang salah. ”Harusnya satu per satu, jangan tenggak sekaligus, seperti dilaporkan petugas kesehatan,” katanya.

Pernyataan Primal di atas bisa salah. Di Depok, daerah lain yang terkenal dengan endemi kaki gajah, menurut petugas kesehatan di Pusat Kesehatan Masyarakat Kecamatan Grogol, Depok, warga sering menenggak obat sekaligus. ”Tak ada kejadian berakibat kematian. Kami sudah lima kali mengadakan pengobatan massal. Obat itu seperti Combantrin (obat cacing),” ujarnya.

Namun, sebelum jatuh korban lebih banyak, pekan lalu Departemen Kesehatan menghentikan sementara pemberian secara massal obat antikaki gajah di Kabupaten Bandung, tapi tidak di daerah endemik lainnya. Pemerintah, lewat Komisi Ahli Antifilariasis, menurut Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan, Budihardja, menyelidiki kasus korban kematian di Kabupaten Bandung itu. Hasilnya, menurut Ketua Komisi, Profesor Purwantyastuti, warga meninggal karena penyakit lain, jantung dan stroke. Menteri Endang juga berjanji melanjutkan program tersebut, secara hati-hati, dan memperbaiki kekurangannya.

Ahmad Taufik, Anwar Siswadi (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus