BELASAN pemuda Maluku dengan badan dibalur jelaga menari histeris sambil mengacung-acungkan tombak dan perisai di sisi ring. Mereka tak putus-putusnya bersorak menyemangati Nico Thomas. Di Istora Senayan, Jakarta, Sabtu malam pekan lalu, Nico menantang juara dunia kelas mini terbang IBF, Samuth Sithnaurepol. Dukungan heroik itu tak sia-sia. Di ronde pertama, Nico, yang terbakar oleh sorak-sorai, berhasil menggasak rahang Samuth dengan kombinasi pukulan hook kiri dan kanan di sudut netral. Akibatnya, Samuth sempat terduduk dan mendapat hitungan dari wasit Abraham Pacheco (AS). Teriakan Nico . . . Nico . . . Nico pun lalu membahana. Padahal, Istora Senayan cukup lengang karena cuma terisi seperempat dari kapasitas stadion yang bisa menampung lebih dari 10.000 orang. Sejak itulah penonton optimistis Nico bakal menangkan pertandingan. Apalagi di ronde ke-5, petinju kelahiran Ambon itu berhasil membuat lawannya sempoyongan dan mendapat hitungan dari wasit. Tapi Samuth tak kenal menyerah. Dia bangkit lagi dan meneruskan pertarungan. Malah petinju asal Bangkok itu, yang tak pernah duduk saat jeda, membalas dengan merobek alis kanan Nico di ronde ke-7. Sejak ronde itu Nico lalu agak jeri karena lukanya semakin menganga dan darah terus mengucur. Toh petinju yang dilatih Abu Dhori ini cukup siap menghadapi situasi. Tempo permainan pun kemudian menjadi lambat. "Saya instruksikan agar Nico bermain safe saja supaya lukanya tak terlalu membahayakan. Lagi pula, dia sudah unggul dalam mengumpulkan angka," kata Charles Thomas, kakak Nico, yang berperan sebagai pembantu pelatih di sudut ring. Memang, usai bel ronde ke-12 berdentang, tiga hakim menyatakan kemenangan telak untuk Nico Thomas. Luis Race (Hawaii dan Alec Villacampo (Filipina) memberikan angka 115-111, dan Hideo Arai (Jepang) memberi nilai 119-108. Semuanya untuk Nico. Langsung saja Wakil Presiden IBF, James Stevenson, melilitkan sabuk juara ke pinggang Nico. Dan, sabuk itu ternyata milik Elly Pical juara dunia kelas bantam yunior IBF -- yang memang khusus dipinjamkan. Lho? "Memang saya yang salah. Sabuk yang sudah saya siapkan tertinggal di AS," ujar Stevenson. Sabuk juara sebelumnya sudah dibeli secara resmi oleh Samuth untuk kenang-kenangan pribadi. Soalnya, Samuth sudah bermaksud mengundurkan diri dari dunia tinju seusai pertarungannya melawan Nico itu. "Saya sudah tua" kata petinju yang berusia 30 tahun itu, terus terang. Untuk pertandingannya yang terakhir ini, ia meraup bayaran sekitar Rp 70 juta. Sedangkan Nico, 23 tahun, mengantongi Rp 15 juta. Buat Nico, kemenangannya itu memupus keraguan dan rasa penasaran publik tinju di Indonesia selama ini. Pada pertandingan pertama, 23 Maret lalu, hasilnya seri. Dengan hasil itu Samuth sebagai juara bertahan tetap memegang sabuk kelas mini terbang IBF. Waktu itu kubu Nico emosional dan menganggap petinjunyalah yang pantas memenangkan pertarungan. Nico bahkan menangis. "Gelar saya dirampok," jeritnya. Namun, manajer Nico, Tinton Soeprapto, tak kurang akal. Ia langsung melobi kubu Samuth untuk pertarungan ulang dengan bayaran lebih besar. Ketika pertarungan pertama itu, Samuth hanya dibayar Rp 35 juta dan untuk pertarungan kedua pekan lalu ia menerima dua kali lipat. Tinton juga harus membayai US$ 3.000 sebagai uang kompensasi buat Eric Chavez (Filipina), penantang peringkat satu di kelas mini terbang IBF. Dengan uang itu pihak Chavez bersedia "minggir" sampai Agustus mendatang untuk bertarung melawan pemenang Nico vs. Samuth. Dan pihak IBF pun mau tak mau harus menyetujui pertarungan itu -- sekalipun Samuth sebenarnya menyalahi aturan karena tak mendahulukan pertarungan wajib (mandatory fight) melawan Chavez. Dengan bermodal kongkalikong itulah partai Nico vs. Samuth dapat digelar kembali hanya dalam waktu kurang dari tiga bulan. Ternyata, Nico memang lebih siap menghadapi pertarungan itu. Ia kini jauh lebih matang ketimbang penampilannya yang pertama. Body weaving-nya jalan dan pukulan upper cut-nya semakin ganas. Nico juga diinstruksikan untuk tidak bernafsu meng-KO lawan. "Cukup dengan strategi counter boxing saja. Mepet terus menjaga jarak dan jangan biarkan Samuth menjauh," tutur Abu Dhori. Penampilan Samuth sebaliknya. Malam itu, ia tampil tak seperti biasanya. Sekalipun menang jangkauan, pukulan jab-jab-nya tak lagi menyengat. Ia tak sehebat ketika membabat Little Pono di Bengkulu, 1986. Ia juga tak selincah ketika bertarung draw melawan Nico, Maret lalu. Konon, menurut sebuah sumber, pada pertarungan kedua ini panitia menyiapkan kanvas yang agak lembek. Maksudnya, untuk meredam kelincahan kaki Samuth yang biasanya terus bergerak hampir sepanjang ronde. Apa rencana kubu Nico? Tinton bermaksud mempertemukan anak buahnya itu dengan juara versi WBA, Bong Jung Kim (Korea Selatan). "Buat apa mempertandingkan Nico di kubu IBF? Penantangnya payah, enggak komersial," ujar Tinton. Tapi, kenapa Kim? Hitung-hitungannya begini. Rupanya, petinju Korea itu pernah dikalahkan Nana Suhana. Sedangkan Nana pernah ditaklukkan Nico. Dengan begitu, di atas kertas Nico tentu bakal menang lawan Kim. Tampaknya, pertarungan Nico vs. Bong Jung Kim hampir pasti akan digelarkan Agustus mendatang. Dan Tinton sudah menyiapkan proposal senilai Rp 260 juta. Siapa penyandang dana? "Ah, itu sih gampang," katanya, enteng. IBF rupanya tak bisa berbuat apa-apa. "Terserah Nico. Kalau dia kalah, gelarnya akan kami copot. Itu pernah kami lakukan terhadap Pical ketika kalah lawan Galaxy," kata Stevenson, mengingatkan. Nico sendiri hanya manggut-manggut mendengar rencana itu. "Terserah Bos Tinton. Saya kan hanya tinggal berantem saja," kata Nico yang didampingi ibunya, Mama Helena. Tapi, "Sekarang saya mau kawin dulu."Ahmed K. Soeriawidjaja. Liston P. Siregar, Bachtiar Abdullah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini