Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Juara tanpa Doping

Di pegunungan Nairobi, stamina dan determinasi Chris Froome diasah. Di pegunungan Mont Ventoux, gelar juara Tour de France ia genggam.

28 Juli 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENYUM Chris Froome mengembang saat berdiri di atas podium, Ahad pekan lalu. Pria asal Inggris kelahiran Kenya ini baru saja dinobatkan sebagai juara edisi ke-100 lomba balap sepeda paling menantang dan prestisius di dunia: Tour de France. Dari bidikan lensa kamera televisi terlihat jelas pancaran sinar matanya begitu puas. Ia seperti baru saja lepas dari beban berat yang menghantuinya selama tiga pekan terakhir.

Ya, itulah tiga pekan yang menjengkelkan Froome, karena berlomba di bawah pelototan mata curiga panitia lomba. ­Froome ingat ia mesti menjalani 20 kali tes doping. Hasilnya negatif semua!

Dominasinya di lomba sepanjang 3.404 kilometer dari Porto-Vecchio hingga Champs-Élysées ini memang mengundang pertanyaan. Banyak yang membandingkannya dengan pembalap Amerika Serikat, Lance Armstrong. Hampir semua orang tahu, pemegang tujuh gelar juara Tour de France ini belakangan terbukti terlibat skandal doping.

Kemenangan Froome memang spektakuler. Selisih waktunya dengan peringkat kedua Nairo Quintana dari Kolombia cukup mencolok, yakni 4 menit 20 detik. Ini selisih waktu terbesar kedua setelah kemenangan Armstrong pada 2004. Ketika itu, Armstrong unggul enam menit atas pesaing terdekatnya, Andreas Kloden, dari Jerman.

"Sungguh menyedihkan. Ini membuat saya tidak nyaman," kata Froome. Lalu ia curhat, betapa para pembalap sudah harus tidur di pegunungan, jauh dari rumah berminggu-minggu, dan menjaga kebugaran tubuh agar tetap fit, eh, tetap dicurigai melakukan doping. "Beda saya dengan Armstrong adalah dia melakukan doping, saya tidak. Titik!" ujarnya jengkel.

Froome boleh saja mangkel. Tapi Tour de France kali ini memang berlangsung di bawah pengawasan ketat guna menangkal penggunaan obat-obatan terlarang. Setiap pembalap yang menonjol, terutama juara etape, harus menjalani rangkaian tes doping. Total ada tes 90 jenis obat terlarang yang wajib dilewati. Penyelenggara rupanya masih trauma dengan skandal besar yang melibatkan Lance Armstrong.

Maka, ketika hari-hari yang menekan itu berlalu, betapa plong hati Froome. Di Champs-Élysées, ia menaiki panggung dengan penuh rasa kemenangan. Froome resmi menjadi juara baru Tour de France. Tak terbantahkan lagi!

Kebahagiaan Froome bahkan merambat jauh hingga ke Nairobi, ibu kota Kenya. Maklum, inilah tanah kelahirannya. Di sana orang berpesta menyambut pencapaian putra terbaiknya itu—meski kini Froome sudah berganti kewarganegaraan menjadi warga negara Inggris. Foto Froome menghiasi halaman depan beberapa surat kabar edisi esoknya. "Tour King Froome", demikian judul utama koran setempat.

Nairobi jelas tak akan pernah lepas dari kenangan Froome. Adalah jalanan menanjak di pegunungan Nairobi yang membuat stamina dan determinasinya terbentuk. Ketika itu, usianya masih belia. Awalnya Froome hanya iseng-iseng berlatih setiap akhir pekan. Lalu dia bergabung dengan klub sepeda gunung Safari Simbaz, yang didirikan David Kinjah. Juara 10 kali balap sepeda nasional Kenya ini akhirnya menjadi mentornya. "Dia sumber inspirasi saya," kata Froome.

Jangan bayangkan klub ini memiliki peralatan komplet. Semua serba terbatas. Tapi, di tangan Kinjah, Froome mendapatkan apa yang dibutuhkan seorang pembalap tangguh. "Kinjah membuka mata saya: bukan sepeda bagus yang membuat se­seorang menjadi pembalap tangguh, melainkan berlatih keras! Itu saja."

Maka inilah rutinitas Froome remaja. Setiap pulang sekolah, ia menggowes sepedanya di dataran tinggi Nairobi. Kota ini terletak di ketinggian 1.795 meter dari permukaan laut, sehingga hanya menyimpan oksigen tipis. Tapi semua itu justru membikin stamina Froome terbentuk. Tubuhnya semakin kuat, begitu pula kaki-kakinya.

Pada usia 14 tahun, Froome pindah ke Afrika Selatan mengikuti orang tuanya, Jane, warga Inggris kelahiran Kenya, dan Clive, mantan atlet nasional hoki Inggris. Ia sempat mengenyam pendidikan di Jurusan Ekonomi University of Johannesburg selama dua tahun. Tapi kecintaannya pada sepeda di atas segalanya. Froome pun meninggalkan kampus.

Namun kini dia tak lagi bertengger di sepeda gunung. Froome mengganti tunggangannya dengan sepeda untuk balap jalan raya. Sebuah tayangan televisi lalu membakar semangatnya. Saat itu disiarkan duel pembalap Amerika, Lance Armstrong, dan Ivan Basso dari Italia di pegunungan Alpen dalam rangkaian Tour de France. Adrenalinnya bergolak. Froome bisa merasakan atmosfer pegunungan dan sorak penonton yang memadati jalan raya. "Wow, saya ingin melakukan hal seperti itu suatu hari nanti!" bisik hati Froome, yang saat itu berusia 17 tahun.

Impian mesti diwujudkan. Maka pada 2007, saat berumur 22 tahun, Froome memutuskan menjadi pembalap sepeda profesional. Ia memulai karier dengan memperkuat tim Afrika Selatan Konica Minolta. Setahun berikutnya, ia diperkenalkan pada tim Barloworld oleh Robbie Hunter agar bisa tampil di Tour de France. Pada penampilan perdana ini, Froome hanya mampu finis di urutan ke-84 klasemen akhir.

Namun, dalam beberapa lomba berikutnya, prestasi Froome kian moncer. Kinerjanya yang mengkilap menarik perhatian pelatih tim nasional balap sepeda Inggris, Rod Ellingworth. Pria inilah yang lalu menawarinya untuk membela tim Inggris. Froome setuju, dan pada 2008 ia resmi memegang paspor Inggris. "Saya memang lahir di Kenya dan pernah membela Kenya, tapi saya lebih merasa sebagai orang Inggris," ujar Froome.

Setelah itu, prestasi Froome melejit. Bersama tim Sky, ia sukses merebut posisi runner-up di kejuaraan Vuelta a Espana. Pada Tour de France 2012, ia nyaris menjadi juara, jika tak dihalangi oleh kebijakan tim. Saat itu, memasuki etape ke-11 dari Albertville menuju La Toussuire yang penuh tanjakan, Froome melepaskan diri dari rombongan besar. Ia unggul jauh dari para pesaingnya. Tapi lantaran peluang rekan setimnya, Wiggins, lebih besar untuk menjadi juara umum, Froome diperintahkan memperlambat sepedanya. Ia mesti menunggu rombongan besar yang dipimpin Wiggins. Froome nurut.

Tapi tahun ini ia tak terbendung. Memang sempat muncul perdebatan di tubuh tim Sky soal siapa yang dijagokan menggondol gelar juara. Peluang Wiggins dan Froome sama-sama besar. Dan alamlah yang lalu memutuskan. Hanya beberapa hari menjelang lomba, Wiggins mengalami cedera lutut. Ia harus mundur dari lomba, dan Froome yang dijagokan!

Froome tak menyia-nyiakan peluang. Di akhir lomba, ia mampu membuktikannya. Pada 21 Juli lalu, Froome, yang mengawali kecintaannya pada balap sepeda di pegunungan Nairobi, melengkapi perjalanan panjangnya dengan sebuah senyum berkembang di jalan penuh sejarah di Paris, Champs-Élysées. Sang raja tanjakan berhasil menaklukkan puncak kejayaan balap sepeda dunia, Tour de France.

Firman Atmakusuma (Tourdefrance, Foxnews, USAtoday, Telegraph)


Antara Kenya dan Inggris

Kemenangan Chris Froome pada akhirnya menyisakan rasa masygul bagi sebagian orang di Kenya, tanah kelahirannya. "Mengapa kita membiarkan dia pergi? Sekarang sukses itu menjadi milik Inggris," tulis Allan Buluku, sub-editor olahraga di Daily Nation, salah satu koran besar di Kenya.

Adapun David Kinjah, juara nasional 10 kali balap sepeda Kenya, hanya bisa menggerutu. "Jika saja tidak ada perselisihan tak perlu dengan induk organisasi balap sepeda kami, semestinya sekarang kami melihat seorang warga negara Kenya meraih kemenangan besar di Tour de France," katanya kepada Daily Nation.

Froome semula memang warga negara Kenya. Pada 2006, di Commonwealth Games—pesta olahraga negara-negara bekas koloni Inggris—di Melbourne, Australia, Froome masih membela Kenya. Begitu pula di Road World Championships di Salzburg, Austria, pada tahun yang sama.

Entah apa penyulutnya, Froome lalu terlibat konflik dengan pengurus induk organisasi balap sepeda Kenya. Menurut Kinjah, konflik itu seharusnya tak perlu terjadi. Tapi inilah yang memicu Froome akhirnya memilih menjadi orang Inggris, mengikuti darah ayahnya. Dan ia sukses di tanah air keduanya itu.

Toh, kejayaan Froome sebagai orang Inggris tak menyisakan rasa benci pada mereka yang pernah dekat dengannya di Kenya. Pada hari kemenangan Froome itu, Kinjah dan beberapa rekannya ikut merayakan sukses dengan cara bersepeda mengelilingi Kota Nairobi.

"Kami tetap bangga kepadanya," tulis Buluku di Daily Nation.

FA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus