Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nonviolent Soldier of Islam: Biografi Badshah Khan
Penulis: Eknath Easwaran
Penerjemah: Perwira Leo
Penerbit: Yogyakarta: Pustaka Bunyan
Tebal: xx + 332 halaman
Meski cukup mengenal Mahatma Gandhi (1869-1848), saÂya menduga sebagian besar dari kita kurang mengenal atau bahkan sama sekali tidak pernah mendengar nama Badshah Khan atau Abdul Ghaffar Khan (1890-1988). Ini patut disayangkan karena keduanya mewakili gerakan perdamaian yang diinspirasikan agama, yang kini hampir selalu diidentikkan dengan kekerasan.
Yang lebih menarik, mereka memeluk agama berbeda (Hindu dan Islam), yang di negeri asal mereka, anak Benua India, dikenal suka gontok-gontokan. Keduanya bahu-membahu, berkali-kali juga dipenjara, untuk meneguhkan perjuangan nirkekerasan melawan kolonialisme Inggris.
Walaupun Gandhi lebih tua hampir 20 tahun dari Khan, keduanya berkawan baik. Ketika lupa membawa kacamata, Khan suka meminjam milik Gandhi. Khan bertubuh tinggi besar dan kekar, Gandhi agak pendek dan ringkih. Keduanya secara teguh memegang prinsip anti-kekerasan.
Lahir dari keluarga ulama kaya di wilayah pegunungan di Peshawar, provinsi perbatasan Pakistan-Afganistan, Khan berasal dari suku Pushtun, yang terkenal berkarakter keras. Salah satu tradisi yang kokoh dipegang suku itu adalah menjaga kehormatan dengan membalas kesalahan dengan kesalahan setimpal. Tradisi ini sering menjebak kaum muslim Pushtun pada lingkaran kekerasan yang tak kenal ujung.
Ini tantangan berat buat Khan yang Gandhian. Ketika warganya meminta senjata kepadanya, dia bilang, "Saya akan memberi kalian satu senjata.… Itu adalah senjata yang diberikan Nabi (Muhammad)…. Senjata itu adalah kesabaran dan kejujuran. Jika kalian mengamalkan kesabaran dan kejujuran, kemenangan akan jatuh ke tangan kalian."
Kesuksesan Khan mengagumkan, menjadikannya singa Pushtun yang anti-kekerasan. Dia antara lain berhasil meyakinkan warganya dan membangun pasukan "Khudai Khitmatgar" (Tentara Allah), yang terdiri atas anak-anak muda Pushtun yang berdisiplin, sabar, dan teguh mempraktekkan perlawanan tanpa kekerasan.
Pada 1930-an, anak-anak muda Pushtun di atas sangat merepotkan pemerintah kolonial Inggris, yang menyebut mereka "Pasukan Baju Merah", sesuai dengan warna seragam mereka. Sepanjang dua tahun pertama sejak pasukan itu berdiri, banyak anggotanya mati tanpa perlawanan terhadap kesewenang-wenangan tentara Inggris. Tapi belakangan jumlah pendukungnya makin meningkat, mencapai ratusan ribu orang, yang akhirnya merontokkan moral penjajah mereka.
Kepada warganya, Khan juga mengajarkan prinsip hidup sederhana dan swasembada. Seraya itu, dia membangun sekolah dan panti asuhan buat anak-anak kurang beruntung. Kaum perempuan juga memperoleh perhatian khusus, karena Khan menempatkan mereka dalam posisi yang sejajar dengan laki-laki.
Dengan begitu, seperti pada Gandhi, prinsip kesederhanaan dan kesetaraan berjalan seiring dengan prinsip anti-kekerasan di dalam perang melawan imperialisme. Tapi, bagi kaumnya sendiri, nirkekerasan sebagai metode juga diarahkan untuk meredam kekerasan yang seperti melekat pada suku Pushtun.
Bagi Khan, yang meninggalkan kekayaan dan keluarganya untuk menegakkan keyakinannya, panggilan anti-kekerasan adalah ajaran pokok Islam. "Ini bukan ajaran baru. Ini sudah diikuti 14 abad lalu oleh Nabi (Muhammad) sepanjang masanya di Mekah," katanya suatu kali.
Wajar jika Khan sering dijuluki "Gandhi dari Perbatasan" (The Frontier Gandhi). Meski terdengar tak adil pada Khan sendiri, dalam beberapa kesempatan dia memang mengakui bahwa ia dipengaruhi Gandhi, berguru kepadanya, dan bekerja sama dengannya.
Di antara hanya sedikit karya kesarjanaan mengenai Khan, buku ini sering menjadi rujukan utama. Buku ini juga menjadi dasar pembuatan film dokumenter The Frontier Gandhi: Badshah Khan, A Torch of Peace (2008), yang suaranya diisi Om Puri, aktor legendaris India.
Penulis buku ini, seorang aktivis dialog antaragama dan pengagum Gandhi, sempat berjumpa dengan Khan dan jatuh hati kepadanya. Dia sengaja menulis buku ini agar pesan-pesan Khan didengar semua orang, apalagi dunia belakangan ini makin pikuk dengan aneka kekerasan.
Melihat kekerasan yang kian mendera tanah airnya sekarang, apakah Khan menyesal karena panggilannya seperti tak punya jejak? Saya tidak tahu. Tapi, menjelang wafatnya, dia sempat berucap, "Dari setiap upaya yang sungguh-sungguh, tak ada yang patut disesali. Lihat ladang di luar sana. Benih yang ditebar di sana harus tetap berada di dalam tanah untuk waktu tertentu, lalu ia akan tumbuh, dan pada saatnya akan melahirkan ratusan tumbuhan yang lain. Itu pula yang akan terjadi pada setiap upaya membawa kebaikan."
Meski di sana-sini terasa ada romantisasi terhadap Khan, yang sempat dua kali dinominasikan sebagai penerima Hadiah Nobel Perdamaian, karya terjemahan ini penting dibaca. Penyajiannya ringan dan bisa dipahami siapa saja. Apalagi, di Indonesia, nama Pushtun sempat terpuruk akibat terbawa-bawa kasus korupsi. Dengan membaca buku ini, mudah-mudahan kita jadi ingat kepada Pushtun yang lain: pesan-pesan damai Islam yang disampaikan Khan.
Ihsan Ali-Fauzi, Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi Yayasan Paramadina
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo