ADA catatan khusus untuk SEA Games XV Kuala Lumpur yang berakhir Kamis pekan ini: paling mahal, paling meriah, dan paling banyak mendatangkan protes. Tuan rumah, yang kabarnya sudah menghabiskan 41 juta dolar Malaysia, memang ngotot untuk meraih gelar juara umum. Sayang, ambisinya itu tak diimbangi prestasi atletnya di lapangan. Yang ada di gelanggang justru menampakkan perwasitan yang merugikan tim tamu. Bukan SEA itu pun menjadi "pesta protes" . Insiden "berat" pertama terjadi di Gedung Lembaga Letrik Negara, Kuala Lumpur, tempat cabang tenis meja dipertandingkan. Dalam final tunggal putri, Jumat pekan lalu, Rossy Pratiwi Dipoyanti bertanding melawan pemain tuan rumah Leong Mee Wan. Sejak sebelum pertandingan, Noeryanto, manajer tim Indonesia, sudah mengingatkan panitia agar pertandingan dipimpin wasit dari negara netral. Mr. Yap Yong Yih, wasit kehormatan yang juga ketua asosiasi tenis meja Malaysia, dalam technical meeting sudah memastikan bahwa wasit final tunggal putri itu berasal dari Singapura. Ternyata, yang muncul Goh Kun Tee dari Malaysia. Dalam partai final beregu putra melawan Malaysia -- sebelum final tunggal putri -- pelatih Indonesia Rusli Kamarudin sudah beberapa kali melancarkan protes. Perlakuan wasit aneh. Pemain ganda berbicara pada rekannya sebelum serve saja sudah ditegur. Mengelap meja yang ketetesan keringat juga dilarang. Ulah curang wasit semakin menjadi-jadi di final tunggal putri. Set pertama, ketika kedudukan 17-16 untuk Rossy, sebuah reli panjang terjadi. Mee Wan mengangkat bola ke sisi kanan Rossy. Atlet rupawan asal PTM Sanjaya, Kediri, ini menggebuk dengan forehand spin yang kuat. Bola berputar dan dengan tipis membentur garis putih di belakang bidang permainan Mee Wan. Masuk. Tapi wasit Goh Kun Tee mengangkat tangan kanannya: out! Rossy, anak Bandung yang lahir tahun 1972, langsung memprotes sembari menangis. Noeryanto beserta beberapa ofisial menyerbu masuk lapangan. Mereka tampak berdebat sengit dengan wasit Goh. Ketua Umum PB PTMSI, yang menyaksikan langsung jalannya pertandingan, segera menyuruh Rossy dan ofisial Indonesia meninggalkan gelanggang. Dan kemenangan otomatis diraih Mee Wan. "Belum pernah seumur hidup saya terhina seperti ini. Rasanya, kepala ini sudah diinjak-injak. Bagaimana bisa sabar. Kalau sudah begini, jiwa kompeni saya keluar," kata Ali Said dengan nada tinggi. Ali Said, yang juga Ketua Mahkamah Agung itu, segera memerintahkan Indonesia mengundurkan diri dari tunggal putri. "Saya minta maaf pada pimpinan kontingen atas kebijaksanaan yang saya ambil ini," tutur Ali Said tegas. Lenyaplah harapan menyapu bersih 7 emas tenis meja, seperti di SEA Games Jakarta dua tahun lalu. Tim Indonesia yang dilatih dua pelatih Korea Utara ini akhirnya hanya meraih 4 emas. Namun, pengunduran diri Indonesia itu disesalkan banyak pihak di Kuala Lumpur. Termasuk oleh Yap Yong Yih, yang juga Ketua Komisi Teknik Badan Tenis Meja Internasional (ITTF). Ia menganggap tindakan "merempuh" (menyerang) wasit itu sebagai pelanggaran serius. Lebih lagi, katanya, salah seorang ofisial Indonesia merampas dan membanting lencana ITTF si wasit ke lantai. Cabang taekwondo juga ramai. Ahad lalu, dalam final kelas menengah, taekwondoin Indonesia Lamting didiskualifikasi. Pemegang medali emas SEA Games XIV Jakarta itu dipersalahkan memukul bagian leher Toh Soon Kok dari Singapura. Dalam suatu serangan, Soon Kok terjatuh dan mengerang kesakitan semban memegangl lehernya. Semula, Wasit Chin Mee Keong -- lagi-lagi dari Malaysia --menghukum Lamting dengan kyong-go -- pengurangan setengah angka. Tapi, setelah Soon Kok tak bangkit lagi dan ditandu ke luar lapanan, Mee Keon setelah berembuk dengan juri -- menyatakan diskualifikasi untuk Lamting. Soon Kok dinyatakan menang. Kubu Indonesia pun berang. Pelatih Alex Haryanto membanting botol berisi air mineral di depan wasit. "Lamting seharusnya menang KO," teriak M. Panggabean. pelatih tim Indonesia lainnya. Menurut Panggabean, sesuai dengan peraturan World Taekwondo Federation (WTF), karena wasit mengurangisetengah angka Lamting, pertandingan seharusnya diteruskan. "Tapi wasit tidak menghitung, malah memutuskan pemain Singapura yang menang," ujar Panggabean gusar. Peluang Malaysia menang lewat wasit agaknya besar di cabang ini. Dari 15 wasit yang bertugas, delapan orang berasal dari Malaysia. Tim taekwondo Indonesia akhirnya menyatakan menarik diri dari sisa nomor pertandingan yang ada di hari Ahad itu. Taekwondoin Anis Dewi, yang masuk final kelas menengah, terpaksa menyerahkan medali emas cuma-cuma lada Lau Choo Boon dari Malaysia. Namun, Senin pekan ini pimpinan kontingen Indonesia Soeweno mengimbau agar atlet taekwondo melanjutkan nomor sisa. Karena baru Jefri Triadji di kelas nyamuk yang menyumbang emas dari 15 nomor yang dipertandingkan. Perolehan taekwondo ini memang jauh di bawah target 6 emas dari KONI usat. Protes di taekwondo tak cuma datang dari Indonesia. Amnat Possawong, pelatih kepala taekwondo Muangthai, menyesalkan keputusan wasit Malaysia, N. Kalanayagan, yang "mengalahkan" atlet Muangthai Ponti Kaewthumrong, ketika melawan Dante Dena dari Filipina. Tim tamu lainnya yang menarik diri dari lapangan adalah Filipina, di cabang tenis. Penyebabnya juga sama: perwasitan yang "miring", lebih menguntungkan tuan rumah. Yang juga menarik adalah kasus pemain sepak bola Robby Darwis. Pada 11 Juli lalu, stopper terbaik Indonesia yang dikontrak FA Kelantan itu dikartumerahkan dalam pertandingan Liga Semi-Pro Malaysia. Dalam pertandingan pertamanya itu bekas pemain Persib Bandung ini dituduh memukul Wasit Hamzah Sebot. FAM (PSSI-nya Malaysia) kemudian melarang Robby main sampai akhir kompetisi, Desember nanti. Namun, dalam technical meeting SEA Games XV, semua negara peserta setuju Robby memperkuat Indonesia. Tak ada masalah. Tiba-tiba, 21 Agustus lalu -- hanya setengah jam sebelum Indonesia melawan Brunei -- manajer tim Nirwan Bakrie menerima teleks FIFA. Isinya: Robby dilarang main. Kontan saja Sekum PSSI Nugraha Besoes menuduh FAM "main belakang" dengan melaporkan kasus Robby ke FIFA. Paul Mony Samuel, Sekretaris FAM, belakangan menampik tuduhan itu. "FIFA tahu karena laporan AFC (Federasi Sepak Bola Asia)," alasan Mony. Sebagai perbandingan, pemain depan Malaysia Dollah Saleh. Ia juga mendapat kartu merah di kompetisi klub Negara Bagian Selangor, dua minggu sebelum SEA Games dimulai. Ketika itu Dollah memukul seorang pemain lawan ketika bertanding di Negara Bagian Selangor. Namun, Selangor tak melaporkan kasus ini ke FAM. Soalnya, Selangor berkepentingan memakai Dollah dalam kompetisi Liga Semi-Pro. Rupanya, kasus Dollah ini "lolos" dari pengamatan AFC yang bermarkas di Kuala Lumpur. Dollah pun boleh main mewakili Malaysia, sementara Robby, yang kontraknya juga diputuskan FA Kelantan, tak boleh main. Nasib buruk Robby adalah juga nasib buruk sepak bola. Indonesia tak berhasil mempertahankan medali emas sepak bola yang direbutnya di SEA Games XIV Jakarta. Pada semifinal melawan Singapura Senin pekan ini, tim Indonesia kalah tipis 0-1. Di babak pertama Indonesia sudah bermain dengan 10 orang, karena Iwan Setiawan dikartumerahkan wasit. Walau begitu, masih tetap bermain imbang. Gol tunggal Singapura dicetak Fandi Ahmad dengan mudah, karena pemain belakang Indonesia mengira bekas pemain Niac Mitra Surabaya itu berdiri off side. Lebih menyesakkan lagi karena gol itu terjadi di menit terakhir babak kedua. Mau tahu wasit yang memimpin pertandingan? Dari Malaysia, Wan Rashid Wan Jaafar. "Kalau kalah lewat fair play, tak apa-apa, tapi wasitnya sudah berat sebelah," begitu Sekum PSSI Nugraha Besoes mengecam. "Ini sudah nasib, mau apa lagi," sambung Nirwan D. Bakrie, manajer tim. Medali emas sepak bola yang bergengsi dan ditaruh pada penutupan SEA Games itu akhirnya diperebutkan Singapura dan Malaysia. Kesebelasan tuan rumah menang atas Muangthai, juga 1-0, pada semifinal. Di arena bulu tangkis, tim Indonesia pun "dikerjain". Dalam final beregu putra Ahad lalu, Pelatih Tahir Djide sempat mencak-mencak ketika berlangsung partai tunggal pertama, Eddy Kurniawan melawan Foo Kok Keong dari Malaysia. Bola lob Foo yang jelas-jelas keluar lapangan dinyatakan masuk, dan Eddy kalah 18-17. Akhirnya, emas di regu putra ini memang direbut Malaysia -- pertama kali sepanjang sejarah keikutsertaan Indonesia dalam SEA Games sejak 1977. Beruntunglah, Susi dkk. bisa meraih emas beregu putri. Walau begitu, toh Indonesia masih mampu merebut gelar juara umum. Memang, di beberapa cabang terjadi pasang surut prestasi. Karena itu, menjadi menarik untuk dikaji, bagaimana sesungguhnya kekuatan tim ini untuk berbicara di tingkat Asia -- tak cuma di tingkat Asia Tenggara. Di cabang atletik, misalnya, target 8 emas memang terlampaui. Inilah hasil persiapan selama satu setengah bulan di Jerman Barat. Walaupun meraih 10 emas -- dari 44 cabang yang dilagakan -- prestasi Indonesia itu masih harus "dipompa" untuk beraksi di tingkat Asia. Mardi Lestari peraih dua emas nomor sprint -- mencatat 10,40 detik untuk 100 meter -- masih harus lari lebih cepat. Mardi harus bersaing dengan Talal Mansoor dari Qatar, pemegang medali emas Asian Games X Seoul tahun 1986, yang mengukir 10,30 detik. Di Olimpiade Seoul 1988, Mardi mencatat 10,32 detik. Kabarnya, sepulang latihan dari Jerman Barat, Mardi pernah menembus 10,21 detik di Senayan. Rekor Asia masih dipegang Li Tao dari Cina dengan 10,26 detik. Di nomor 200 meter, di Beijing nanti Mardi yang mencatat 21,0 detik di Kuala Lumpur akan ditantang Jang Jae Kun dari Kor-Sel, yang memegang rekor Asia dengan 20,41 detik. Eduardus Nabunome, yang meraih emas 5.000 meter dengan 14 menit 33,18 detik, masih tertinggal dari Jong Yoon Kim, yang berlari 13 menit 50,63 detik dan meraih emas di AG Seoul. Di 10.000 meter, Eduardus dengan 30 menit 42,93 detik masih lebih lambat dari waktu terbaiknya, 29 menit 15,0 detik. Apalagi dibandingkan peraih emas AG Seoul, Masanari Shintaku dari Jepang, dengan 28 menit 26,74 detik. Pelari maraton putri Suryati, yang memecahkan rekor SEA Games dengan 2 jam 45 menit 42,0 detik, masih lebih lambat dibanding pemegang emas AG Seoul Eriko Asai dari Jepang, dengan 2 jam 41 menit 03 detik. Pelempar lembing Frans Mahuse, yang mendapat emas Kuala Lumpur dengan 72,10 meter, masih di bawah rekornas Timotius Ndiken dengan 75,44 meter. Di Asian Games Seoul, Kazuhiro Mizoguchi mencatat 76,60 meter. Juliana Effendi, yang meraih emas dengan lemparan cakram 47 meter, jauh di bawah Xue Mei Hou dari Cina, yang merebut emas dengan 59,28 meter. Di cabang renang, target 6 medali emas tak bisa dicapai. Elfira dkk. cuma mampu mengumpulkan separuhnya. Padahal, tim renang putra Indonesia sempat berlatih dua bulan di Stanford, Palo Alto, AS. Mereka ditangani Richard Quik, yang pernah menjabat pelatih kepala tim AS ke Olimpiade Seoul 1988. Sedang tim putri berguru ke Foothill College, AS. Di Kuala Lumpur, Elfira Rosa Nasution gagal mengungguli Nurul Huda Abdullah dalam perjumpaan di 6 nomor. Elfi bahkan tak satu pun meraih medali emas. Mengapa kita gagal? "Target kita bukan di sini, tapi Olimpiade Barcelona 1992," kata Othman Siregar, pelatih renang Indonesia. Target yang masih di anganangan, bila diingat di tingkat Asia saja kita masih tertinggal. Ukur saja catatan waktu Wirmandi Sugriat, yang meraih emas 200 meter gaya dada dengan 2 menit 23,82 detik. Irman, nama panggilan Wirmandi, masih harus mengayuh lebih kuat untuk mencapai 2 menit 20,07 detik, yang dicatat Kenji Watanabe, yang meraih emas AG Seoul 1986. Melihat hasil di SEA Games Kuala Lumpur, beberapa cabang tampaknya punya kans di Beijing nanti. Misalnya angkat besi (di Kuala Lumpur dapat 10 emas) anggar (7 emas), karate (7 emas), panahan (4 emas), dan judo (10 emas). Juga dari cabang tenis dan bulu tangkis, asal Tintus dkk. dan Icuk dkk. tak tergelincir lagi seperti di Kuala Lumpur.Toriq Hadad (Jakarta), Ahmed K.S., Rudy Novrianto, Arif B. Siregar, dan Ekram H.A. (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini