Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

JURUS INDAH 'Capoeira'

Seni bela diri capoeira menebarkan daya tarik karena gerakannya atraktif dan indah.

1 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DITINGKAHI tabuhan atabaque (gendang Angola), dua lelaki muda itu bergerak lincah. Tubuh mereka seolah melayang di langit Jakarta. Dengan hanya bertumpu pada satu tangan, kedua kakinya sungguh terampil bergerak dan berputar-putar bagaikan baling-baling. Sepintas, gerakan mereka mirip tarian break dance. Kalau tangan yang dipakai sebagai tumpuan digeser, kedua lelaki itu benar-benar seperti terbang.

Gerakan yang indah itu disaksikan TEMPO pada sore yang cerah di Parkir Timur Senayan, Rabu dua pekan silam. Yoga Ardian dan Volland, dua orang anggota klub Capoeira de Jakarta, sedang melatih jurus au batido ala capoeira. Capoeira? Ya, inilah olahraga bela diri asal Brasil yang belakangan mulai digandrungi anak-anak muda di Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia. "Saya tertarik belajar capoeira karena gerakan akrobatiknya," ujar Yoga, 19 tahun. Ia baru belajar serius sejak empat bulan lalu.

Aksi jungkir balik tersebut lalu dipadukan dengan jurus bensao. Mereka berdiri berhadapan. Yoga mengangkat kaki kanannya ke samping kanan tubuh untuk kemudian menyabetkannya ke wajah lawan. Volland berkelit gesit dengan membuat gerakan kayang. Tendangan Yoga pun menembus ruang kosong.

Setelah berlatih 15 menit memamerkan kelincahannya, Yoga dan Volland minggir. Giliran Jilly dan seorang temannya maju ke tengah arena. Mereka memperagakan jurus ginga (kuda-kuda). Kaki digerakkan ke depan dan belakang secara bergantian. Tangan digerakkan ke depan dan belakang. Badan mereka sedikit membungkuk. Dasar gerakannya mirip samba. Tapi, kata Jilly, capoeira dan samba tak sama. "Orang yang menguasai samba belum tentu bisa capoeira, tapi yang menguasai capoeira pasti bisa samba," tuturnya.

Keindahan menjadi salah satu daya tarik capoeira, yang memadukan seni, bela diri, musik, dan filosofi. Sejak masuk ke Indonesia lima tahun silam, olahraga ini segera menebarkan daya tarik. Capoeira menjadi alternatif untuk diet karena membakar banyak kalori. "Badan jadi lebih lentur dan enggak gampang sakit," kata anggota Capoeira de Jakarta, Rauf Andar Adipati.

Menurut pemilik Capoeira de Jakarta, Jilly Likumahuwa, 28 tahun, saat ini paling sedikit sudah ada empat kelompok pencinta seni bela diri tersebut di Indonesia, yakni di Jakarta, Yogyakarta, Bandung, dan Surabaya. Awalnya, mereka belajar secara autodidak setelah melihat aksi menawan aktor laga Hollywood, Mark Dacascos, dalam film Only the Strong (1993), yang menampilkan keindahan capoeira.

Kata capoeira sendiri berarti rumput yang rendah. "Jadi, yang menguasai capoeira diharapkan lebih rendah hati, menghindari permusuhan," kata Jilly, perempuan mungil yang secara khusus belajar capoeira selama tiga bulan di Brasil pada 1996 dan 1997.

Dalam sejarahnya, mula-mula capoeira berkembang di kalangan budak asal Afrika yang diboyong oleh penjajah Portugal ke Brasil pada sekitar tahun 1590. Para budak itu menciptakan gerakan kaki dan tangan untuk membela diri dari siksaan para tuan dan buat melindungi diri dari sesama budak. Setelah menguasai capoeira, para budak berani melakukan pemberontakan. Capoeira kemudian menjadi senjata dan simbol kebebasan mereka. Setelah bebas, mereka membentuk kelompok dan tinggal di gunung-gunung.

Pada 1890-an, ketika Brasil sudah merdeka, beberapa capoeirista (pelaku capoeira) memegang jabatan penting di pemerintahan. Karena merasa terancam, pemerintah Brasil lalu membentuk satuan polisi khusus untuk mengawasi mereka. Namun, cara itu dianggap tak efektif. Pemerintah kemudian membuat undang-undang yang melarang capoeira. Setiap capoeirista yang ketahuan akan diasingkan. Peraturan itu masih berlaku hingga 1920.

Para pencinta capoeira tak pendek akal. Mereka menyulap seni bela diri menjadi tarian rakyat. Di kampung-kampung yang tersembunyi, mereka mempertahankan agar tradisi itu tetap hidup.

Kebangkitan capoeira terjadi pada 1937. Saat itu Manuel dos Reis Machado atau lebih dikenal dengan Mestre Bimba, salah seorang pendekar penting capoeira, menerima undangan Presiden Getulio Dornelles Vargas untuk menampilkan kebolehannya. Setelah sukses menggelar pertunjukan, Bimba kembali ke kampung halamannya di Kota Salvador. Dengan restu pemerintah, ia membuka sekolah capoeira pertama di Brasil. Kini capoeira menjadi olahraga nasional yang dipelajari di sekolah dasar hingga perguruan tinggi dan akademi militer.

Capoeira mulai masuk Indonesia pada Oktober 1999, ketika Universitas Gadjah Mada (UGM) kedatangan dua mahasiswa asal Australia, Simon dan Naomi Hermawan. Mereka sedang ikut program pertukaran pelajar selama dua bulan. Di sela kegiatannya, kedua mahasiswa ini berlatih capoeira di Graha Sabha Permana dan boulevard UGM.

Gerakan atraktif yang mereka tampilkan rupanya mengundang perhatian, tak terkecuali Yudhi Handoyo dan Sugeng Prasetyo. Dua pionir capoeira yang kini memimpin Capoeira Jogya Club (CJC) itu sebelumnya sudah tertarik setelah menonton aksi Mark Dacascos. "Kehadiran Simon dan Naomi adalah berkah buat kami, karena yang mereka mainkan hampir sama dengan yang kami lihat di film," kata Sugeng, juru bicara CJC.

Sesudah Simon dan Naomi pulang kampung, mau tak mau Yudhi dan kawan-kawan mesti belajar sendiri. Mereka belajar dengan berbagai cara, termasuk berkonsultasi dengan para pakar capoeira di mancanegara melalui e-mail. Informasi yang diperoleh kemudian dipelajari dan dikembangkan sendiri. Mereka juga menyusun metode belajar sendiri. "Memang susah mengembangkan dan belajar capoeira tanpa ada orang yang mengajari secara langsung," kata Yudhi, Ketua CJC.

Belajar capoeira sebenarnya tak terlalu mahal. Capoeira de Jakarta, yang punya 200 anggota, menarik uang pendaftaran Rp 100 ribu dengan iuran bulanan Rp 150 ribu. Di CJC, yang punya anggota aktif 70 orang, lebih murah. Biaya pendaftaran Rp 25 ribu dan iuran bulanan hanya Rp 15 ribu. "Kita enggak cari untung. Kalau anggotanya tambah banyak, bisa lebih murah," kata Jilly.

Sore itu, Jilly dan kawan-kawan mengakhiri sesi latihan dengan membentuk roda (lingkaran). Di tengahnya, dua orang memasang sikap jogo. Mereka berjongkok dengan sikap siaga menghadapi pertarungan. Setelah itu, aksi menawan kembali diperagakan secara bergantian. Capoeirista lainnya menari diiringi ketipak atabaque nan rancak.

Sapto Yunus, Syaiful Amin (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus