Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Enak Dibanding dan Perlu

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan sebagian gugatan Tomy Winata terhadap Koran Tempo. Keputusan yang mengandung banyak keganjilan dan harus dilawan.

1 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUSEUM Rekor Indonesia (Muri) tampaknya akan segera mendapat koleksi baru. Itulah Surat Keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengabulkan sebagian gugatan pencemaran nama baik Tomy Winata terhadap Koran Tempo, Selasa pekan lalu. Isinya, antara lain, penetapan ganti rugi senilai satu juta dolar Amerika Serikat. Sebuah rekor nasional dalam perkara pers di Indonesia.

Tentu bukan hanya rekor itu saja yang menyebabkan dokumen hukum ini layak disimpan di Muri. Maklum, museum yang didirikan humoris Jayasuprana 14 tahun silam ini tak hanya dipenuhi berbagai catatan rekor nasional yang umum, melainkan juga beragam perilaku dan kegiatan yang tak biasa, yang menurut sang pendiri—yang menyebut dirinya sebagai ahli kelirumologi—"unik, langka, dan kreatif". Maka banyaknya keanehan dalam keputusan kasus Tempo ini juga jadi unsur penunjang.

Simaklah beberapa keganjilan "keputusan satu juta dolar" yang diterima Koran Tempo itu. Kendati menyangkut pemberitaan, majelis hakim tak menggubris Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam pertimbangannya. Pendapat saksi ahli dari Dewan Pers, lembaga yang diamanatkan untuk mengawasi pers oleh undang-undang, juga tak terlalu dihiraukan. Selain itu, besarnya ganti rugi—entah mengapa—dinyatakan dalam mata uang dolar Amerika. Bahkan, ini yang paling penting, masalah "kepentingan umum" dalam pemberitaan karya jurnalistik sama sekali tak disebut. Padahal Pasal 1376 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata jelas-jelas mengatakan, "…maksud untuk menghina tidak dianggap ada jika perbuatan tersebut dilakukan untuk kepentingan umum…."

Kepentingan umum adalah alasan utama mengapa profesi jurnalis dilahirkan. Itu sebabnya Pasal 6 Undang-Undang Pers antara lain menyatakan bahwa peran pers nasional adalah "melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang menyangkut kepentingan umum". Adalah tidak mungkin menjalankan peran pengawasan dan kontrol apabila setiap pemberitaan yang dirasa menghina oleh seseorang dinyatakan melawan hukum, oleh karena itu dikenai sanksi pidana maupun perdata.

Tapi majelis hakim Jakarta Selatan, pemegang wewenang di pengadilan, telah menjatuhkan keputusannya. Karena itu, suka atau tidak suka, tetap harus dihormati. Apalagi jika kita sepakat dengan pepatah lama yang mengatakan fiat justitia ruat caelum (biar langit runtuh, hukum tetap ditegakkan). Maka perlawanan terhadap vonis yang dirasa tidak adil ini memang harus tetap melalui jalur hukum yang tersedia. Antara lain dengan meminta para hakim di pengadilan yang lebih tinggi melakukan pengujian (eksaminasi) atas keputusan yang dianggap bermasalah itu.

Kami yakin, para hakim di pengadilan yang lebih tinggi pasti mempunyai pemahaman yang lebih luas tentang peran pers di masyarakat yang demokratis. Karena itu, berbagai keganjilan dalam keputusan di tingkat pengadilan negeri ini dapat diluruskan, hingga cukup satu dokumen hukum saja yang perlu dipajang di Muri. Yang mungkin akan diberi catatan khas kelirumologi sebagai keputusan hukum yang "Layak Dibanding dan Perlu". n

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus