Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBELUM Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berakhir hidupnya, pejabatnya dibuat jadi lebih kaya. Besarnya rencana uang pesangon bagi pejabat BPPN adalah contoh dari hal yang kontroversial. Pertentangan pendapat timbul karena ada yang terasa melewati batas dan ada yang dirasakan tidak patut di situ. Pantaskah jumlah pesangon yang barangkali bisa menghabiskan Rp 350 miliar dan wajarkah BPPN diberi wewenang menetapkan sendiri berapa gaji dan pesangon baginya? Terlalu royal, terlalu kuasa. Selain karena tidak bisa menerima, reaksi protes juga timbul karena orang kaget lantaran sebelumnya tak pernah berpikir kemungkinan seperti itu begitu mudah bisa terjadi.
BPPN memang sebuah badan yang istimewa. Fungsinya khusus menyehatkan perbankan nasional. Masa kerjanya terbatas, lima tahun, tapi boleh diperpanjang bila diperlukan. Namun pemerintah sudah memutuskan mengakhiri tugas BPPN, sehingga akan dibubarkan akhir Februari ini. Dengan pembubaran itu, timbullah keharusan membayar uang pesangon. Karena BPPN bebas mengelola anggarannya, besarnya gaji dan pesangon praktis bisa ditetapkan sendiri. Masalahnya lalu terletak pada wajar tidaknya imbalan yang diputuskan akan dibagikan.
Mula-mula orang dikejutkan oleh jumlah Rp 350 miliar. Besar betul, sehingga seketika terkesan sebagai pemborosan, dan seakan-akan diputuskan dengan semau gue saja. Apalagi jika itu dibandingkan dengan pesangon di tempat lain yang sama-sama dibiayai dari keuangan negara. Tidak adil. Baru kemudian orang mengerti bahwa jumlah pesangon itu ada hubungannya dengan besarnya gaji. Gaji sebulan Ketua BPPN ternyata enam kali lipat gaji menteri atasannya, yaitu Rp 130 juta plus plus fasilitas lain, atau sama dengan dua kali yang diterima resmi Presiden RI. Kembali orang bertanya, mengapa bisa setimpang itu, siapa yang menetapkan demikian. Seolah-olah BPPN berada dalam orbit berbeda dari para pejabat penyelenggara negara lain, walaupun BPPN tidak lain adalah aparat negara juga.
Sebagaimana telah disinggung di atas, BPPN mengelola keuangannya sendiri. Sumber anggaran BPPN adalah dana yang dikuasainya dari hasil penyelesaian—artinya penjualan—dan pengelolaan aset dalam restrukturisasi yang ditanganinya. Penerimaan dari pengolahan aset itu dapat digunakan BPPN terlebih dahulu sebelum disetorkan ke negara, begitu kata Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999. Kewenangan memutar uang sendiri ini adalah pangkal dari masalah ketika BPPN menentukan sendiri gaji pejabatnya. Sumbernya bukan APBN, jadi tidak usah menyesuaikan dengan skala gaji pegawai negeri ataupun pejabat pemerintah lainnya. Mestinya, walau bukan bersumber pada APBN, yang tidak boleh dilupakan ialah uang yang dikuasainya adalah kekayaan negara jua, yang harus dipakai dengan bertanggung jawab.
Apa dasar pemberian imbalan yang relatif sangat tinggi itu? Pembelaan yang dikemukakan biasanya mendasarkan pada tanggung jawab BPPN mengelola uang dalam jumlah mahabesar dan nilai harta yang dapat dikembalikan; pada standar harga keahlian mereka dalam pasar tenaga profesional; pada perlunya gaji yang cukup untuk mencegah godaan korupsi. Semua mengandung alasan yang masuk akal, sekalipun tidak sepenuhnya berlaku.
Mengenai perbandingan dengan nilai harta yang dikembalikan, misalnya, jika dibandingkan dengan tarif debt collector yang biasanya minta imbalan minimum 10 persen dari hasil tagihan, seakan-akan BPPN berhak mendapat jauh lebih banyak karena jumlah aset yang diurus bernilai ratusan triliun rupiah. Namun perbandingan seperti ini terlalu menyederhanakan masalah, dan menyesatkan. Kinerja BPPN masih jauh dari memuaskan, karena nilai yang hilang atas kerugian negara jauh lebih besar. Lagipula, seperti yang menjadi perhatian Badan Pemeriksa Keuangan, kinerja BPPN harus diukur dari fungsi utamanya, yaitu penyehatan perbankan nasional; sudahkah itu tercapai, dan berapa biayanya?
Benarkah gaji besar itu menjamin mereka tidak korupsi? Banyak yang tidak menjawab langsung, hanya mengibaratkannya dengan kucing gemuk yang makanannya terawat baik, lalu dipercaya menjaga ikan bandeng di meja dapur. Kita tidak perlu menghabiskan waktu berdebat tentang apa kemungkinan yang terjadi. Kita juga tak ingin melanjutkan pergunjingan tentang praktek yang terjadi selama ini. Yang lebih penting ialah menilai bagaimana perilaku BPPN dalam memegang wewenang yang dipercayakan.
Pengadilan kasus perusahaan telekomunikasi Mannesmann yang sedang berlangsung di Dusseldorf, Jerman, adalah contoh yang walaupun tidak persis sama bisa kita ambil mengenai larangan melanggar kepercayaan yang diberikan oleh publik demi keuntungan yang tidak sepantasnya diambil. Bekas direktur Mannesmann, termasuk komisarisnya, dituntut karena dianggap telah melakukan breach of trust—mengingkari kepercayaan pemegang saham. Sebab, mereka menetapkan bonus terlalu tinggi baginya ketika perusahaan publik itu bubar karena diambil alih oleh perusahaan Inggris, Vodafone, tiga tahun lalu. Rencana jajaran kepemimpinan BPPN menetapkan pesangon yang terlalu besar juga bisa digolongkan sebagai breach of trust untuk memperkaya diri yang serupa.
Melakukan tindakan itu berarti melayani nafsu keserakahan, dengan mengubah asas to each according to his deed menjadi according to his greed. Yang harus mencegah ini terjadi ialah pemerintah, karena menurut PP 17/1999 pengakhiran fungsi BPPN serta akibat hukumnya akan ditetapkan dalam sebuah keputusan presiden. Dalam keputusan itulah harus dituangkan pembatasan pesangon yang masih layak diberikan. n
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo