Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Jurus Untuk Lima Gelar

Persiapan-persiapan yang dilakukan pbsi menjelang kejuaraan dunia ii, hadirnya tokoh bulutangkis ferry sonneville dan tan joe hok untuk membenahi soal teknis para pemain. (or)

17 Mei 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIEM Swie King mulai memukau lagi. Tak ada pemain di pelatnas kini mampu merepotkannya. Malah tidak jarang kawannya berlatih diberi voor sampai beberapa angka supaya permainan jadi berimbang. " Kalau tidak begitu, ia bisa menurun lagi," kata Kepala Biro Pelatnas PBSI, Willy sudiman. Dalam berlatih, jika bisa meraih angka yang ditetapkan, ia mendapat insentif tertentu (antara lain tiket buat menonton bioskop) dari Eerry Sonneville. Di luar latihan, King berkonsultasi dengan psikolog Dahlan dari Universitas Indonesia. Ini dilakukannya tiap Sabtu. Semula dirinya susah tidur. "Sekarang ini saya sudah siap secara fisik maupun menral untuk bertanding," ujar King. Tampak ia akan menebus kekalahannya melawan Han Jian dalam dwilomba Indonesia-RRC di Singapura (Februari) dan Prakash Padukone pada turnamen All England di London (Maret). Posisi Sulit Lius Pongoh, pemain Piala Thomas 1979, juga memperlihatkan kemajuan pesat dalam soal teknis. Sekarang ia mantap dalam memotong pengembalian bola lawan dengan smash mematikan. Permainan di depan jaring maupun penempatan bolanya di pojok mulai akurat. "Melihat Lius sekarang, saya yakin ia bisa mencegat (Morten) Frost Hansen," komentar Christian Hadinata. Hansen dari Denmark adalah pemain tunggal kaliber dunia. Hendra Kartanegara (Tan Joe Hok) membenahi kelemahan Lius. Misalnya, hampir tiap malam Lius digenjotnya untuk melakukan pukulan-pukulan. Tugas Lius cuma mengembalikan bola yang ditempatkan oleh Bobby Ertanto, kawan berlatihnya yang sengaja diatur pada posisi sesulit mungkin. Pengembalian terbaiknya untuk 33 pukulan, sementara ini tercatat 49 detik dengan 1 bola mati. Hendra dan Ferry adalah bekas pemain Piala Thomas. Keduanya diminta PBSI untuk memperbaiki segi teknis para pemain menjelang Kejuaraan Dunia ke-2, yang akan berlangsung di Jakarta 26-31 Mei. Perubahan yang terjadi di pelatnas tidak hanya pada soal pembenahan teknis. Juga suasana bertukar. Dulu dipusatkan di gedung C, latihan kini dipindahkan ke Istora -- keduanya masih di Senayan, Jakarta. Para pemain dibikin terbiasa dengan ruang yang akan menjadi arena pertandingan sesungguhnya. Di mata Verawaty Wiharyo, selain perubahan tempat, kehadiran tokoh beken seperti Hendra dan Ferry juga mempengaruhi pemain. "Sekarang kami jadi lebih bersemangat, " katanya. Suasana pelatnas seperti sekarang pernah rerjadi menjelang perebutan Piala Thomas 1970 di Kuala Lumpur. Bagaimana dengan kemajuan pemain putri? Ivanna yang diandalkan tampak lebih lincah dan cekatan mencegat bola. Bahkan ketika menghadapi pemain putra, ia tak mengecewakan. Mohammad Jundi, bekas pemain nasional, misalnya, sering keteteran dibuat Ivanna. Verawaty, baik bermain tunggal maupun berpasangan dengan Imelda Wiguno, pun makin trampil. Kalau dulu sering terbawa arus permainan lawan, ia kini mulai bisa memegang kendali. "Dalam persiapan ini kami menginstruksikan para pemain jika lawan bisa diberi nol, harus diberi nol," kata Ferry. Waktu yang masih tersisa di pelatnas tampaknya akan dimanfaatkan terus untuk memoles teknik. Penekanan terutama diberikan pada kontrol, penguasaan bola, akurasi, dan lentu saja stamina. "Dulu yang begini ini jarang dilakukan," kara Willy. "Itulah sebabnya pemain kita dalam bertanding sering kehbakan." Di sektor fisik, seperti dikatakan pelatih Tahir Jide, perubahan mendasar tak banyak. "Kalaupun ada perbedaan, mungkin cuma dari dosisnya," ujar Tahir. "Dulu dosis latihan fisik memang lebih. Tapi itu sekarang disesuaikan dengan program latihan teknik." Jenis latihan fisik yang diberikannya tak berbeda dengan sebelumnya. Ada variasi latihan. Dulu main kasti, sekarang main sepakbola (lihat Pokok & Tokoh). Terjunnya Ferry dkk ke pelarnas, diakui Tahir, juga membedakan pola latihan dulu dan kini. "Risikonya, tentu ada," kata Tahir. "Kami harus mengikuti perkembangan setiap anak dan mengukur latihan mana (fisik atau teknik) yang harus diperbesar porsinya." Kondisi fisik pemain (10 putra dan 7 putri), menurut Tahir, tidak mengkhawatirkan. Termasuk Rudy Hartono, 30 tahun. "Dari evaluasi umum yang saya lakukan para pemain akan mencapai puncaknya dalam kejuaraan nanti," ucap Tahir. Indonesia berharap bisa memboyong kelima gelar yang diperebutkan. Bagi Prakash, juara All England 1980, dipersiapkan PBSI 2 pemain (Rudy dan Hadiyanto) untuk mencegatnya. "Saya berharap bisa mengalahkannya lagi," kata Hadiyanto. Skor dari 3 pertandingan internasional Hadiyanto melawan Prakash adalah 1-2. Di bagian putri, ganjalan bagi Ivanna dkk mungkin cuma dari pemain Jepang seperti Yoshiko Yonekura. Ia dalam Kejuaraan Terbuka di Swedia dan Denmark (Marcr) mengalahkan Ivanna. Kampiun All England 1980, Lene Koppen dari Denmark masih tangguh, tapi cuaca di Jakarta tak begitu bersahabat dengannya. Lima gelar buat Indonesia? Itu sekarang bukan mustahil, kendati dalam Kejuaraan Dunia 1977 di Malmoe, Swedia, hanya pasangan Tjuntjun/Johan Wahyudi yang memboyong gelar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus