SEPERTI harga BBM, ukuran rol kini naik. Sampai di lutut. Dan
rok mini dirampilkan lagi sebagai salah situ mode pakaian 1980.
Tapi para penggemar mode di Indonesia tidak hanya berpikir
tentang pantas tidaknya mode-mode itu -- juga harganya "hampir
tak masuk akal."
Itulah yang terlihat pada saat sebelas orang peragawati dari
Federasi Perancang Mode & Busana Jadi Prancis selama 4s menit di
Hotel Borobudur 2 & 3 Mei lalu. Mereka memperagakan 107 potong
pakaian pagi, pakaian petang dan malam hari ciptaan 14 perancang
di Paris. Suatu pertunjukan menarik hasil kerjasama perusahaan
penerbangan Prancis UTA, Lembaga Kanker Indonesia dan Hotel
Borobudur Inter-Continental.
Rumah-rumah mode di Paris seperti Christian Dior, Pierre
salmain atau Lanin, biasa merahasiakan busana apa saja yang
sedang mereka rancangkan setiap menjelang pergantian musim. Tapi
dalam waktu yang bersamaan, biasanya mereka menyelenggarakan
pameran di rumah mode masing-masing.
Lewat federasi resmi ini, para perancang busana juga bersatu
untuk memamerkan rancangannya terutarna untuk konsumsi luar
negeri seperti di Hotel Borobudur itu. Dengan tema. Spring in
Paris, rombongan dari Paris ini berpameran di Tokyo, Manila,
Bangkok, Jakarta dan Singapura. Segala sesuatunya tampak
direncanakan dengan rapi. Misalnya kepada setiap hotel yang akan
menyelenggarakan pameran ini jauh hari sebelumnya diminta agar
panjang alur panggung (catwalk) yang akan dipakai para
peragawati memamerkan pakaian dibuat sama. Dengan demikian
langkahlangkah peragawati akan menyatu dengan irama musik yang
telah terekam.
Koleksi busana musim semi ini bisa bertahan lebih lama untuk
kawasan yang beriklim tropis. Modelnya cukup sederhana tetapi
anggun. Selain itu, ada beberapa perubahan dalam hal model untuk
tahun ini. Seperti panjang rok kini tidak lagi penyapu betis
cukup sampai di lutut saja. Rok mini bahkan telah mulai
disajikan lagi, walaupun tampaknya di Indonesia kurang mendapat
sambutan.
Bukan Pasaran
Perancang Nina Ricci dan Emanuel Ungaro mencoba mengembalikan
model yang pernah populer sekitar 20 tahun yang lalu sackdress
alias baju model karung. Sedangkan ban pinggang yang besar (dan
mengkilat itu) tidak terlihat lagi.
Dior melengkapi busana paginya dengan topi model pet pelaut.
Tapi rok model pleats rupanya masih dipertahankan. Ini terdapat
pada deux-piecenya Chanel, Balmain atau Ricci. Givenchy bahkan
tetap gemar akan rumbai-rumbai di ujung rok atau seputar leher.
Cardin telah mengkombinasikan bentuk leher gaya Mao dengan leher
bulat yang saling bisa dicopot.
Bagi mereka yang menggemari celana, modelnya tidak banyak
berubah. Ujung celana tetap menciut, sedangkan bagian pinggul
tidak lagi longgar atau diperlonggar.
Warna yang cukup dominan ialah putih dan hitam meskipun terdapat
pula biru tua, jingga atau warna lembut seperti abu-abu. Dior
dan Balmain bahkan mengkombinasikan warna hitam dengan hijau
atau hitam dengan merah darah. Sementara itu, kain dengan pola
kembang tampaknya kurang mendapat perhatian.
Pasang Merk
Bagaimana kemungkinan pasaran busana itu di Indonesia? "Jakarta
atau Indonesia, memang bukan arena pasaran mereka," kata Nyonya
Atina Norman Sasono yang atas nama Lembaga Kanker Indonesia
menyelenggarakan malam dana dengan harga karcis Rp 50.000/orang.
"Betul, Indonesia belum jadi pasaran kami," ujar Denise Dubois,
koordinator federasi perancang mode itu, "tapi kami merasa
berkepentingan untuk pasang merk di kawasan ini." Tambahnya lagi
"Juga agar kawasan ini tidak dikuasai busana-busana bikinan
Hanae Mori." Perancang Jepang seperti Kenzo dan Mori memang
telah berhasil merebut pasaran mereka di Eropa.
Secara resmi, di Jakarta belum ada toko yang mengageni hasil
dari salah satu perancang terkenal Paris itu. Kalau toh ada --
dan itu bisa didapat di toko mewah -- cuma sekedar barang
titipan. Atau barang palsu -- misalnya Cardin jahitan Singapura
atau buatan Kebayoran Lama.
Jangan tanya harga busana asli bikinan Dior, Balmain atau
sebangsanya ini. Dalam pameran ini, harga terendah untuk sehelai
busana, bisa mencapai 5.000 francs, sekitar 3/4 juta rupiah. "Di
samping tak semua mode pantas untuk Indonesia, juga harganya
hampir tak masuk akal," komentar seorang nyonya yang menyaksikan
pertunjukan malam itu.
Lembaga Kanker Indonesia malam itu berhasil mengumpulkan
sumbangan uang kontan sejumlah Rp 40.800.000, termasuk hasil
penjualan barang-barang kristal asal Austria. Uang itu menurut
Nyonya Umar Wirahadikusuma, Ketua Lembaga Kanker Indonesia,
sebagian akan disumbangkan kembali ke Yayasan Penderita
Anak-anak Cacat (YPAC) Cabang Jakarta dan Bank Mata. Paling
tidak untuk sekedar menaikkan anggaran uang makan anak-anak
cacat asuhan YPAC yang selama ini hanya Rp 125 tiap anak per
hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini