Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Kalau Anda Ikut Maraton ... ?

Para peserta lomba maraton banyak yang merasa tegang menjelang pertandingan karena jarak tempuh 45 km. Ada yang pingsan, ada yang ngompol, tapi sang juara, Ian Imang berhasil menempuh 2.49 "53".

28 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IAN Imang, seperti diakuinya, hanya bisa tidur 4 jam sebelum turun ke perlombaan 45 km. Diduga 204 peserta yang lain juga tegang memikirkan jarak yang kalaupun ditempuh dengan mobil akan memakan waktu 1 jam. Ketika para pelari dilepas pagi itu, 22 Juli, dari garis start di Silang Monas, cuaca Jakarta menyenangkan. Dari barisan belakang Ian Imang mengejar saingan kuatnya, Yacob Atarury, juara ke-2 lomba maraton nasional. Ia "menarik" beberapa lawannya yang lain ketika mendaki di km 3 Dukuh tas, dan di tanjakan Slipi. "Ini taktik saya untuk melemahkan lawan," katanya. Menyelesaikan jarak sejauh ini, siapa yang tak mendoakan turunnya hujan. Tapi begitu matahari naik, langit menjadi cerah. Beberapa pelari, yang semula meniru gaya Bill Rodgers dengan sarung tangannya, mulai melepaskan benda yang tak bakal berguna lagi itu. Bersama mereka turut pula Martin Aleida, wartawan TEMPO. Kisahnya: Pada km 7, seorang atlit puteri dan seorang wanita berusia lebih dari 40 menyusul dari belakang. Ia diikuti suaminya (?) . . . dengan VW merah. Melambaikan Tangan Pos pertama di Km 107 tersedia minuman teh pahit atau manis dan segentong besar air pengguyur. Saya mengambil segelas air putih. Untuk pelari yang lambat seperti saya, maraton ini memang bukan tempatnya. Sejak mendekati bundaran Grogol atau pada Km 17, saya dan beberapa pelari lain sudah disia-siakan. Kendaraan umum tak lagi minggir memberikan jalan. Bus dan truk mulai menjepit kami ke sisi kanan jalan. Hidung mulai disumbat kotoran knalpot. Melewati Pasar Jembatan Jeling, seorang penjual sayur melambaikan seikat bayam. "Udah, pinggir dulu Pak!" katanya. Ketika memasuki daerah Pluit, dari arah yang berlawanan muncul Ian Imang. Dengan perkasa dia berlari sendirian dengan kawalan motor. Ia melambaikan tangan kepada saya. Di belakangnya sekitar seratus meter, menyusul Tjia Tjeng San dari Tegal dengan kaki telanjang. Kemudian seorang pemuda yang iseng mengikuti perlombaan ini menyampaikan info "Kak, di depan ada yang pingsan." Sementara itu dari kali di kanan jalan mulai mengambang rupa-rupa bau, bercampur dengan aroma dari sebuah pabrik minyak kelapa. Melintasi daerah Pluit, pelari yang tercecer ini menekan perasaan. Hansip yang berjaga di tiap tikungan sudah ogahan menunjukkan jalan. Jarak 25 Km sudah terlewati. Waktu tempuh saya 2 jam 23 menit. Beberapa puluh pelari menyerah di sini. Keluar dari Pluit, saya berlari dalam jarak sekitar satu jam lebih di belakang Ian Imang. Saya seperti anak ayam yang ditinggalkan induknya. Sepeda motor memotong jalan seenaknya. Mendekati bundaran Grogol, saya terhalang oleh barisan anak-anak. Kendaraan di bundaran Grogol makin menghambat. Lepas dari situ saya teringat Ian Imang ketika mengikuti seleksi 28 Km. Karena makan rujak kemarinnya, di Grogol ini ia melompat ke dalam got dan sempat nongkrong 3 menit di situ. Sekarang tak mungkin nongkrong lagi, karena sepanjang got penuh barisan pelajar. Menjelang Km 35, kaki terasa perih Ian mendenyut. Air yang direguk pada pos berikutnya tak menolong. "Ya Allah," seorang pelari berbaju hijau mengucap sambil melewati saya. Di depan, seorang jongkok dan melepaskan sepatu. Ia tinggalkan sepatu tersebut di pinggir jalan. Di Km 40? "Pokoknya jarak maraton hanya tinggal 2 km," saya menghibur diri, padahal sudah lesu sekali. Dan di gedung Arthaloka, 3 km menjelang finish, di luar sadar mengucur air hangat di pisak celana. Sudah 30 tahun saya tak ngompol. Saya sampai di finish 4 jam 40 menit, beberapa puluh meter saja di depan Mia Ismangun nyonya yang berumur lebih dari 35 tahun. Saya kagum pada wanita setua dan sehebat itu. Ketika itu Ian Imang (waktu 2 jam 9 menit 53 detik) sudah menerima hadiah untuk kepahlawanannya. Ia unggul 3 menit dari Yacob. Di antara sekian banyak hadiah, tiket pp Jakarta-Honolulu masih jadi tandatanya buat anak Larantuka ini. "Kalau dijual 'kan lumayan untuk anak isteri saya," katanya. Sehari-hari ia menggantungkan hidupnya pada sebuah motor ojek.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus