Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA kali bertemu di final Prancis Terbuka, selama itu pula Roger Federrer tak berkutik. Bahkan pekan silam Rafael Nadal hanya butuh waktu dua jam kurang 12 menit untuk menghabisi lawan bebuyutannya itu. Pertandingan ditutup manis: 6-1, 6-3, 6-0. ”Ampun deh. Semestinya saya bisa menahan hingga bermain empat set, tapi dia luar biasa,” kata Federrer sambil menggeleng-gelengkan kepala. Roland Garros barangkali bukan milik Federrer.
Kemenangan ini memiliki arti luar biasa bagi Rafael Nadal, petenis 22 tahun. Gelar empat kali berturut-turut yang direbutnya menjadikannya petenis yang mampu menyamai rekor Bjorn Borg, petenis Swedia yang menjadi raja lapangan tanah liat selama 1978-1981.
Lapangan tanah liat adalah kesukaan Nadal. Siapa pun bertarung dengannya di arena tenis tanah liat siap-siap saja melongo. Pukulannya sangat sempurna. Kecuali saat kalah oleh Carlos Ferrero, petenis sekampungnya di Italia Terbuka lalu, Nadal selalu unggul.
Nadal tumbuh dari keluarga olahraga. Salah satu pamannya, Miguel Angel, adalah pemain sepak bola profesional yang pernah bermain di berbagai klub besar Spanyol, seperti Real Mallorca dan Barcelona. Angel bahkan terpilih menjadi pemain nasional Tim Matador.
Hingga usia 12 tahun sesungguhnya Nadal masih bimbang, pilih sepak bola atau tenis. Itu ada sebabnya. Di samping Angel, dia masih memiliki paman, yang juga atlet. Namanya Toni, yang petenis. Dia pula yang menularkan ”candu” olahraga pukul bola ini. Sejak itu pula dia menjadi pelatih sang keponakan.
Paman Toni pun ikut membentuk gaya permainan Nadal. Satu yang penting adalah gaya kidalnya. Semula Nadal bermain dengan tangan kanannya, tapi Toni menyuruhnya menggunakan dua tangan untuk backhand. Eh, ternyata tangan kiri Nadal lebih kuat. Sejak itulah pukulan tangan kiri Nadal menjadi senjata mematikan. Itu dibuktikan ketika dia baru berusia 14 tahun. Nadal sudah bisa menggulingkan Pat Cash, petenis legendaris dari Australia, dalam sebuah pertandingan eksibisi.
Sejak itu prestasinya moncer. Peringkatnya diam-diam menyodok ke papan tengah. Hingga akhirnya mata publik pun terbelalak ketika Nadal, yang saat itu masih sweet seventeen, lolos ke babak ketiga Wimbledon. Setelah sempat mandek karena cedera, Nadal kembali tancap gas. Berbagai gelar pun dia sabet.
Pada usia baru 22 tahun, Nadal sudah mendapatkan segalanya di lapangan tenis. Toh, itu belum cukup. Dia masih punya target penyempurna serentet prestasinya: medali emas Olimpiade Beijing, Agustus mendatang. ”Bermain di Olimpiade merupakan pengalaman yang berbeda. Siapa pun ingin menjadi pemenang di sana.”
IB
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo