Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAGAK empat orang itu aneh. Tampak dari sosok mereka, keempatnya laki-laki. Tapi mereka mengenakan baju tenis pink, mondar-mandir pula di sekitar Arc de Triomphe, Paris. Polisi yang sedang berpatroli pun curiga. Malam-malam kok ada sekelompok orang bertingkah tak biasa. Padahal tidak ada karnaval. Siapa gerangan mereka?
Langsung saja polisi memberondong pertanyaan. Tak disangka, nama Ana Ivanovic ikut terseret. Padahal malam itu, Ana, petenis Serbia, tengah merayakan peristiwa besar dalam hidupnya, yakni meraih gelar grand slam pertamanya. Sabtu sore dua pekan lalu, dia mengempaskan petenis Rusia, Dinara Safina. Lantaran itulah, Ivanovic ditahbiskan sebagai petenis perempuan peringkat pertama.
Untunglah, semuanya salah paham belaka. Keempat orang itu ternyata Scott Byrnes, pelatih fisiknya; Sven Groeneveld, pelatih kepala; Marcin Rozpedski, kawan berlatihnya; dan si Milos Ivanovic, sang kakak. Mereka melakukan atraksi nekat tersebut sebagai nazar bila perempuan 21 tahun itu menjadi juara. ”Kalau jadi juara, kami sepakat lari-lari di sini memakai pakaian tenis Ana,” kata salah satu dari mereka. Persis seperti ending sebuah film, semuanya tertawa. Keempat orang itu langsung menuju restoran tak jauh dari tempat tersebut. Di sanalah mereka dan Ana merayakan kemenangan.
Pesta memang patut digelar. Prancis Terbuka merupakan satu dari empat turnamen kelas grand slam. Tiga lainnya adalah Wimbledon, Amerika Terbuka, dan Australia Terbuka. Petenis mana pun ingin menjadi yang terbaik di lapangan tanah liat itu. Hadiah utamanya pun yahud, 1,5 juta euro atau sekitar Rp 21,7 miliar. ”Ini mimpiku saat kecil,” kata Ana yang semringah saat menerima trofi.
Untung saja, upacara penghormatan juara Prancis Terbuka hanya dimeriahkan musik dan tepuk tangan penonton. Tidak ada pesta kembang api dan ledakan mercon. Sebab, cahaya api dan ledakan akan mengungkit trauma Ana, yaitu suatu malam pada 1999, dia dicekam ketakutan. Pesawat tempur milik pasukan Pakta Pertahanan Atlantik Utara, NATO, berputar-putar di langit Beograd, kampung halamannya.
Mereka berusaha menghentikan pasukan Serbia, negeri pecahan Yugoslavia, yang tak jua mau berhenti menyerang Kosovo. ”Bunyi bom itu sangat dekat. Dinding dan jendela pun bergoyang. Malam yang takkan pernah terlupakan seumur hidupku,” katanya. Selain mewariskan trauma, serangan malam itu menghancurkan lapangan tenis, tempatnya bermain. Sebagai gantinya, Ana bermain tenis di kolam renang kering yang ditinggalkan pemiliknya. Lawan mainnya adalah dinding kolam renang.
Tenis menjadi dunia yang mengasyikkan baginya. Dia kesengsem olahraga ini saat menonton Monica Seles mengayun raket di televisi. Mendadak sontak dia merengek kepada Miroslav dan Dragana, orang tuanya, meminta dibelikan raket dan sepatu. Oh ya, dia pun minta dipanggilkan pelatih.
Permintaan itu dituruti. Namun, untuk berkembang di negeri yang sedang berperang seperti Serbia sangat sulit. Sebaliknya, untuk pergi dari kampung halaman pun mustahil. Bandar udara Beograd ditutup. Alternatif lain, pergi dengan menumpang bus ke Budapest, ibu kota Hungaria. Selain perjalanannya sangat panjang, belum tentu dapat visa. ”Setiap orang menganggap orang Serbia jahat. Saya merasa tidak pernah diterima di mana-mana,” ujarnya.
Dewa penyelamat akhirnya tiba. Dan Holzman, pengusaha asal Swiss yang menaruh perhatian besar pada tenis, mendengar kabar kehebatan seorang remaja berusia 14 tahun. Tanpa banyak cakap, Holzman membawa Ana dan ibunya hijrah ke negerinya. Modal awal yang diberikan: laptop, telepon seluler, dan pinjaman lunak 250 ribu pound sterling atau sekitar Rp 4,5 miliar.
Dalam perjalanan, tim yang menggarap Ivanovic berhasil mengumpulkan komposisi orang di balik layar yang komplet. Mereka Sven Groeneveld, Greg Rusedski, dan Scott Byrnes. Mangkal di Basel, tim itu menyiapkan Ana menjadi petenis andal.
Langkahnya seperti kopi tubruk, yang langsung mantap. Pada 2004 dia nyelonong hingga ke final Wimbledon Junior, meski akhirnya kalah. Tapi kiprah berikutnya benar-benar mencorong. Sejak 2004, peringkatnya terus meningkat. Dari urutan ke-705 menclok ke peringkat ke-97. Setahun kemudian masuk 20 besar. ”Dia menggabungkan semua kemampuannya dengan baik di lapangan,” kata Tracy Austin, petenis legendaris asal Amerika Serikat.
Hasilnya tak hanya peringkat yang terus menanjak. Popularitas yang didapatkannya pun luar biasa. Wajah cantik khas Eropa Timur dan tubuhnya yang seksi menjadi magnet tersendiri. Satu buktinya, situs pribadinya pernah diakses hingga 40 juta pengunjung pada suatu saat.
Satu lagi, Ana muda sudah kaya luar biasa. Tahun lalu penghasilannya dari menggebuk bola kuning sudah mencapai lebih dari US$ 3 juta atau sekitar Rp 28 miliar. Ana pun bisa membayar masa remajanya yang hilang. Saban ada waktu, dia selalu berbelanja bersama sang mama. Namun, cita-citanya sebenarnya sederhana saja. ”Kelak aku akan berkeluarga dan tinggal di rumah mengurus anak dan suami,” katanya.
Irfan Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo