Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suatu pagi dua pekan lalu, Langit, seorang pemuda Surabaya, tengah menuju ke kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember di kawasan Sukolilo, Surabaya. Ia melihat mobil bak terbuka milik koperasi kampus yang bagian belakangnya dipasangi besi. Mahasiswa kerempeng itu tidak berjalan mengitari mobil yang sedang diparkir tersebut. Langit malah berlari, melompat menggapai besi itu, dan membuat salto berulang melewati mobil sebelum mendarat.
Tak cukup sampai di situ, ia lalu mengambil ancang-ancang di depan sebuah tembok setinggi tiga meter, nyaris dua kali tinggi tubuhnya. Langit kembali berlari dan hup... kaki kirinya menjejak sebuah kursi beton sebagai tumpuan. Dengan sedikit genjotan, tubuh Langit melenting menyamping. Kaki kanannya kemudian menjejak pilar gedung yang berjarak satu meter dari kursi beton.
Setelah zig-zag dengan lompatan kaki layaknya bintang laga Jackie Chan, tubuhnya kembali melenting hingga tangannya menggamit besi pembatas gedung tersebut. Lalu wusss... Langit melakukan gerakan lompat memutar 180 derajat seperti gaya atlet senam. Ia pun mendarat dengan posisi seperti berjongkok. Sempurna. ”Apa pun bisa dimanfaatkan,” kata mahasiswa yang pagi itu mengenakan kaus, celana longgar, dan sepatu kets tersebut dengan enteng.
Langit bukan pemuda biasa. Ia bintang kelompok anak muda Surabaya penggemar parkour, nama olahraga jumpalitan itu. Kelompok yang berdiri sejak setahun lalu itu diberi nama ScAPE , anggotanya kebanyakan mahasiswa dan alumni Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Di Malang, ada juga komunitas parkour, Play-on. Nama ini diambil dari bahasa Jawa, playon, yang artinya berlarian. Hanya beranggotakan 13 orang—enam di antaranya sudah tidak aktif—Play-on berdiri pada Januari 2006. Pendirinya Agus Purwanto atau populer dipanggil Brex, mahasiswa Universitas Negeri Malang Jurusan Seni dan Desain.
Agus mula-mula berlatih sendiri. Untuk mencari kawan, ia membuat brosur dan blog di Internet. Sepanjang 2006, Play-on berhasil merekrut anggota yang kebanyakan siswa sekolah menengah atas dan mahasiswa. Awalnya, mereka berlatih di halaman Taman Krida Budaya, Malang. Karena berseteru dengan penjaga, anggota Play-on terpaksa beralih ke tempat lain. Akhirnya mereka berlatih di Universitas Muhammadiyah Malang.
Sebulan sekali, anggota Play-on melakukan jamming atau pemanasan berkeliling Kota Malang. Dalam jamming ini, anggota berjalan kaki atau naik sepeda. Ketika menemukan sebuah tempat yang banyak obstacle—istilah parkour untuk obyek halang rintang—para anggota pun berlatih. Play-on berencana mengunjungi sekolah dan kampus di Kota Malang untuk merekrut anggota baru, sekaligus memberikan pemahaman yang benar tentang parkour.
Maklum, orang memang sering salah paham dengan parkour. ”Di kampung malah dijuluki olahraga maling,” kata Agus. Syukron, salah seorang anggota Play-on, misalnya, pernah bertengkar hebat dengan seorang tetangga karena dicurigai sebagai pencuri. Oon—demikian panggilannya—memang gemar melompati tembok dan berguling saat hendak membeli barang di warung. Syukron sebenarnya cuma ingin melatih gaya king kong vault, salah satu teknik parkour (lihat: ”Gerak Dasar Parkour”). Setelah dijelaskan, si tetangga itu mengerti. ”Saya tak pernah lagi dipanggil maling,” ujar Syukron.
Di Jakarta, komunitas parkour berdiri sejak Agustus 2007. Kini mereka rutin berlatih tiap Minggu di atap gedung parkir Taman Menteng, Jakarta Pusat. Sebelumnya, mereka berlatih malam hari di Taman Ria Senayan dan Gelanggang Olahraga Kuningan. Di Yogyakarta, komunitas serupa berlatih di taman Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Nama kelompoknya Nomaden Free-flow. Di Bandung, kelompok parkour memanfaatkan sudut kampus Institut Teknologi Bandung yang asri. ”Setiap Minggu pagi kami kumpul di Gerbang Utara ITB untuk berlatih,” ujar Mirza Syariif Mahmud Ahmad Pontoh atau kerap dipanggil Ais, penggiat parkour Bandung.
Semua ”kegilaan” itu bersumber dari film Yamakasi (2001), film garapan sutradara Prancis, Luc Besson, yang baru beredar di Indonesia pada 2003. Yamakasi adalah nama sebuah kelompok beranggotakan tujuh pemuda miskin keturunan pendatang di Paris. Mereka ahli berakrobat memanjat gedung-gedung tinggi, melesat melewati tangga, koridor, dan lorong sempit serta menyusup di antara pipa-pipa besi—di dunia nyata, mereka sudah berlatih parkour sejak berumur 15 tahun. Tujuh anak muda itu punya ritual memanjat Bleuets, gedung bertingkat 24 di kawasan timur Paris, dengan mata tertutup menjelang subuh. Tujuannya, mereka menatap matahari fajar di atap gedung.
Yamakasi memang punya pengaruh kuat di kalangan anak muda yang menontonnya. Sebab, selain adegan berlari, melompat, salto, serta gerakan akrobatik lainnya, cerita Yamakasi menebarkan semangat pemberontakan, kemandirian, serta keberanian. Cocoklah untuk anak muda yang suka tantangan. ”Lompatan antargedung yang berefek maut tapi tampil indah menimbulkan sensasi luar biasa,” ucap Muhamad Fadli, penggila parkour Jakarta. ”Apalagi olahraga itu modalnya cuma sepatu lari asal solnya tebal.”
Parkour dikembangkan oleh David Belle dan Sebastian Faucan dari Prancis pada akhir 1990-an. Olahraga ini berakar dari kegiatan halang rintang dalam dunia militer. David mendapatkan dasar-dasarnya dari sang bapak, Raymond Belle, seorang anggota militer Prancis. Yamakazi—berasal dari bahasa Lingala di Kongo, yang artinya jiwa dan badan manusia dengan daya tahan kuat—adalah nama kelompok parkour David dan Faucan.
Asal kata ”parkour” adalah parcours du combatant, yaitu pelatihan halang rintang militer. Huruf ”c” dalam parcours sengaja diganti menjadi ”k” untuk memperkuat pengucapan. Pelaku parkour disebut traceur, yang berarti cepat, mempercepat.
Kata ”parkour” diartikan sebagai bergerak atau pindah dari satu titik ke titik lain seefisien dan secepat mungkin. Halangan yang menghadang harus dilewati dengan kemampuan bergerak sesuai dengan karakter tubuh tiap-tiap pelaku. Jadi tidak ada gaya standar dalam berlari, melompat, vaulting (melompat dengan menggunakan tangan sebagai tumpuan), memanjat, dan yang lainnya. ”Yang penting harus latihan rutin, enggak bisa hanya modal nyali dan nekat,” kata Fadli. ”Mereka harus menemukan cara sendiri supaya enggak canggung,” ujar wartawan sebuah majalah audio ini.
Traceur yang cedera memang bukan cerita langka. Di beberapa negara maju, seperti Prancis dan Inggris, pemerintahnya tetap melarang aktivitas petualang parkour memanjat gedung pencakar langit. Ya, selain berbahaya bagi pelaku, mengganggu ketertiban umum.
Di sini memang belum ada yang seekstrem traceur seperti di Yamakasi. Namun, cedera sudah sering terjadi. Ais di Bandung, misalnya, pernah sobek lututnya dan mendapat enam jahitan. Keseleo adalah langganan traceur. Cedera gampang datang karena olahraga ini tak mengenal pakaian khusus atau alat pengaman, seperti helm.
Di Indonesia, kelompok traceur melatih diri secara otodidak berdasarkan bahan-bahan dari situs parkour internasional (www.parkour.net) dan YouTube. Mereka kemudian bertukar pengalaman dan teknik melalui situs lokal (www.parkourindonesia.web.id). Bahkan ada beberapa situs yang memberikan simulasi gerakan maya parkour. Berminat?
Arif A.K., Gabriel Wahyu (Jakarta), Kukuh S. Wibowo (Surabaya), Bibin B. (Malang), M. Syaifullah (Yogya), Rana Akbari (Bandung)
Gerak Dasar Parkour
Hingga kini, belum ada kesepakatan apakah parkour tergolong olahraga atau bukan. Dalam kegiatan ini, tidak ada peraturan, hierarki, dan kompetisi. Namun, ada yang memasukkan parkour sebagai olahraga lari gaya bebas (free style running). Apa pun orang mengkategorikannya, yang pasti ada 20 gerakan dasar parkour. Berikut ini beberapa di antaranya.
- Landing/mendarat: tekuk lutut dengan lentur setelah jemari kaki menyentuh tanah atau tempat mendarat. Jangan pernah mendarat dengan telapak kaki rata.
- Balance/keseimbangan: berjalan di sepanjang pelipiran obyek halang rintang, seperti pipa, bagian atas tembok.
- Vault/melenting: melentingkan tubuh dengan menggunakan satu tangan bertumpu pada obyek halang rintang.
- Underbar: melompat atau berayun di ruang di antara dua obyek halang rintang.
- Cat balance/keseimbangan kucing: merangkak seperti kucing di atas obyek halang rintang sempit, seperti atas tembok atau pagar.
- Tic tac: menjejakkan kaki pada tembok atau obyek lain agar bisa melenting dan menjangkau obyek yang lebih tinggi.
Sumber: Wikipedia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo