Semakin lengkap kegagalan PBSI dari Kopenhagen, Denmark. Setelah Indonesia gagal mempertahankan Piala Sudirman, kini tak sebuah pun juara diperoleh dari kejuaraan dunia. DI pinggir lapangan Broendby Hall Kopenhagen, Denmark, Sabtu lalu, Rudy Hartono kelihatan risau, seraya mendesis pelan, "Ujung tombak kita sudah dihabisi hari ini." Dua juara All England asal Indonesia Ardy Wiranata dan Susi Susanti, yang baru kalah dari Tan Jiuhong dan Zhao Jianhua di semifinal, juga murung. Mata Susi Susanti bahkan memerah, ia baru meluapkan tangis. Rudy Hartono, juara delapan kali All England dan juara dunia 1980, seakan mau berkata, kalau ujung tombak saja sudah rontok, rasanya berat berharap dari yang lain. Feeling Rudy benar. Di final, Sarwendah Kusumawardhani, runner-up All England lalu, dan Alan Budi Kusuma, akhirnya takluk di tangan Tan Jiuhong dan Zhao Jianhua. Lengkaplah kesedihan kubu Indonesia di Broendby Hall: tak sebuah pun gelar juara dunia bisa direbut setelah Piala Sudirman lepas dari genggaman seminggu sebelumnya. Sesungguhnya, prestasi ini sama saja dengan di kejuaraan dunia dua tahun lalu di Istora Senayan Jakarta. Tak satu pun gelar disabet. Namun, di Istora, Piala Sudirman direbut dengan menaklukkan Korea Selatan di final. Kalau dibandingkan sukses Ardy dan Susi di All England yang baru lalu, inilah penurunan yang tajam. Bahkan menjadi ironis karena di semifinal Piala Sudirman, Indonesia menggebuk Cina dengan 3-2 -- Ardy menang atas Zhao, Susi menggulung Jiuhong. Betapa cepat angin berbalik. Ketua Bidang Pembinaan PBSI M.F. Siregar berkata kepada koresponden TEMPO Bambang Purwantara di Kopenhagen bahwa pemain kita kurang ofensif dan kurang inisiatif. "Ada kecenderungan defensif dan menunggu matinya lawan," kata Siregar, orang renang yang pindah ke bulu tangkis. Lalu, kalau sudah ketinggalan angka, pemain kita seperti mati akal. Cina dan Korea Selatan sudah lama memainkan bulu tangkis agresif -- menekan lawan sejak awal pertandingan. Alan Budi Kusuma, yang menyerang Zhao Jianhua di final, akhirnya juga defensif setelah smes menyilang Zhao kerap membuatnya melongo. Tak bisa dipungkiri, permainan menyerang menuntut stamina prima. Rata-rata stamina pemain Indonesia, menurut sebuah sumber TEMPO, di bawah Korea Selatan dan Cina. Park Joo-bong, misalnya, terus-menerus mampu melancarkan smes dahsyatnya meski bermain rangkap, baik di Piala Sudirman maupun Kejuaraan Dunia. Park merebut gelar ganda putra dan ganda campuran di Kopenhagen. Dibandingkan Rudy Gunawan, yang juga main rangkap, contohnya, jelas stamina Park masih jauh di atas. Di Pelatnas Senayan Jakarta, soal latihan stamina ini memang tengah jadi perdebatan. Ada kubu pelatih yang berpendapat, latihan di dalam lapangan (in-court training) harus lebih banyak dari latihan fisik di luar lapangan. Ada yang berpendapat sebaliknya. Pada zaman Tahir Djide menangani fisik pemain bulu tangkis, porsi latihan di luar lapangan memang sangat berat. Pemain diharuskan mengitari Stadion Utama Senayan sampai puluhan kali. Icuk Sugiarto, anak asuh Tahir, sebagai contoh, baru merasa mantap bertanding setelah melahap jatah beberapa kilometer berlari. "Mazhab" in-court training ini dianut pelatih asal Cina Tong Sin Fu. Susahnya, penelitian yang mendalam soal porsi latihan untuk tiap atlet itu belum dilakukan di Senayan. Walhasil, kini sang pelatihlah yang berimprovisasi tentang soal jatah latihan anak buahnya walau PBSI sebenarnya punya ahli pembentukan kondisi fisik, yaitu M.F. Siregar sendiri. Bukankah soal latihan fisik ini urusan Litbang PBSI? Lembaga inilah yang lagi-lagi banyak disorot sistem kerjanya. Siregar memang mengirim tiga kamera perekam ke Kopenhagen, tapi entah bagaimana hasil rekaman itu diolah nantinya. Karena, kata sumber TEMPO, "Para pelatih masing-masing punya data." Diskusi rutin antarpelatih, kabarnya, juga seret. Dengan kondisi seperti sekarang, agak sukar diharapkan Indonesia bisa memelopori lagi lahirnya sebuah "gaya" baru bulu tangkis. Gaya permainan yang sekarang dikenal sebagai speed and power dimulai oleh Liem Swie King. Kemudian ditiru dan ternyata dikembangkan oleh Cina, sampai lahir Yang Yang dan Zhao Jianhua. Korea Selatan kemudian memoles gaya ini lebih tajam, terutama di sektor ganda. Sebaliknya, sektor ganda Indonesia justru sekarang yang terlemah. Namun, ada penyebab lain lagi, menurut Christian Hadinata. Ada anggapan ganda masih kurang prestisius. Maestro ganda Indonesia itu kini menyiapkan delapan pasangan muda untuk persiapan Olimpiade Barcelona. Salah satunya adalah Bagus Setiadi/Imay Hendra yang keluar sebagai juara ketiga di Kopenhagen. "Secara psikologis, mengatur diri sendiri lebih mudah daripada main berdua," kata Christian. Dahulu, faktor psikologis inilah yang benar-benar digarap sampai lahir pasangan tangguh, Christian/Ade Chandra. Soal-soal di luar lapangan pun diperhatikan. Christian Hadinata, yang berasal dari Bandung sampai perlu dipondokkan di rumah Ade Chandra di Jakarta, agar ada kontak batin antara mereka. Lebih mengenaskan nasib ganda campuran. Imelda Wiguna, sebagai pelatih ganda campuran, kabarnya hanya mendapat jatah sekali seminggu untuk melatih anak buahnya. Sebab, pemain yang dilatihnya juga merangkap main tunggal atau ganda putra dan putri. Artinya, di Pelatnas Senayan belum ada pemain yang mengkhususkan diri untuk ganda campuran. Inilah yang segera akan dibenahi M.F. Siregar, sepulang dari Kopenhagen. Masih ada waktu untuk Piala Thomas, Uber, dan Olimpiade Barcelona 1992. Asal diingat, negeri lain juga ngotot. Korea Selatan, contohnya, sudah menyiapkan bonus US$ 900 sebulan untuk seumur hidup bagi peraih emas di Barcelona. Toriq Hadad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini