BERABAD-abad yang lalu ada seorang yang cemas terhadap demokrasi. Namanya Sokrates. Hidup di abad ke-5 Sebelum Masehi, di Kota Athena yang waktu itu mengizinkan orang bicara bebas, Sokrates justru melihat bencana apa yang akan terjadi ketika setiap orang punya cukup kebebasan. Demokrasi memberikan hak kepada tiap orang untuk bicara dan berbuat sekehendak hatinya. Maka, rezim atau politeia semacam ini tak mengutamakan pengendalian diri. Dalam demokrasi, kata Sokrates, orang bebas menampik untuk diperintah atau memerintah. Segala aturan terbalik: si bapak bertingkah seakan-akan dia si anak, si guru takut murid, dan si murid tak mengacuhkan si guru. "Bahkan keledai dan kuda pun tak mau minggir bila ketemu manusla. " Sudah tentu Sokrates melebih-lebihkan "kegilaan" demokrasi: ia mengucapkan semua itu di depan Adeimentos yang tidak suka humor. Sebab, Sokrates toh tahu bahwa demokrasi di Athena punya aturannya sendiri. Bukti nyata ialah bahwa demokrasi ini juga yang menangkap Sokrates dan menghukumnya mati, dengan tuduhan, seperti dikemukakan dalam Pengadilan Sokrates I.F. Stone, filosof itu terlibat dengan orang-orang yang mengancam demokrasi. Tetapi di balik cemoohnya yang berlebihan, Sokrates memang tetap lebih menghargai aristokrasi ketimbang demokrasi. Dalam pengertian Sokrates, aristokrasi adalah rezim yang diarahkan ke kebaikan dan kebajikan. Yang berkuasa bukan sembarang orang, melainkan para filosof. Dan di bawah kekuasaan mereka ini, (tak jelas benar bagaimana mereka dapat sampai berkuasa, sebab ini cuma teori, bukan sejarah) kebebasan tak diumbar seperti nafsu. Rasa cemas Sokrates, rasa gamang melihat kebebasan orang banyak, memang tak mudah diabaikan. Juga berabad-abad kemudian. Di Beijing, beberapa hari yang lalu, saya mendengar seorang berkata, "Apa yang terjadi setelah demokrasi meledak di Eropa Timur membuat kami berpikir tentang akibat kebebasan." Ia bukan seorang anggota Partai Komunis. Ia seorang cendekiawan. Ia tahu apa yang terjadi setelah di Tiananmen, setahun yang lalu, sejumlah demonstran ditembaki tentara. Gerak-gerik rakyat kembali diawasi. Hak menulis bebas diperciut, dan hak berkumpul, kecuali untuk indoktrinasi, jadi nol. Tapi cendekiawan setengah baya di depan saya itu telah melihat, lewat siaran TV, bagaimana kebebasan yang kini dinikmati orang di Uni Soviet dan Yugoslavia dan Rumania tak menyebabkan kesulitan hilang. Bahkan berkecamuk. Konflik-konflik mengeras dan perang dan perpecahan mulai terdengar berletupan. Di balik semua itu memang ada kebebasan. "Tapi apa arti kebebasan tanpa kearifan dan tanpa kebajikan?" Pertanyaan ini seakan-akan terucap dari mulut kenalan saya di Beijing itu, yang -- meskipun ia sendiri merasa tercekik -- tetap mengecam cendekiawan seperti Fang Lizhi yang menuntut hak-hak demokrasi bagi rakyat Cina seperti di Barat. Sebuah gugatan yang klasik, tentu saja: gugatan itulah yang tersirat dalam kritik Sokrates terhadap demokrasi, dan kembali tercetus 200 tahun yang lalu, setelah Revolusi Prancis meletus, dengan teriak "kebebasan, persamaan, persaudaraan". Edmund Burke, pemikir politik dan bekas anggota parlemen Inggris, adalah orang yang berbicara atas nama tradisi Inggris. Burke, yang menganggap bahwa esensi moralitas bukanlah memilih, melainkan mengendalikan diri, ogah menyaksikan apa yang terjadi di Prancis itu. Baginya, demokrasi yang sempurna adalah "hal yang paling memalukan di dunia". Rakyat tak bisa memerintah. Rakyat hanya elemen pasif, bukan "orang-orang yang aktif dalam negara". Tapi apa alternatifnya? Aristokrasi? Siapa pun setuju bahwa sebuah negeri harus diperintah oleh sejumlah orang yang terlatih dan bijaksana. Saya juga setuju bahwa berbicara atas nama suara rakyat terkadang melahirkan bentuk-bentuk "populisme" yang mengerikan misalnya terbitnya semangat mengganyang minoritas Yahudi di Jerman Nazi, mengganyang orang hitam di AS bagian selatan, dan menggusur keturunan Turki di Bulgaria kini. Tetapi, bagaimanapun, orang pada akhirnya butuh suatu sistem di mana tak ada orang yang dijatuhi hukuman hanya karena berbeda pendapat, di mana tak ada orang yang kehilangan tanah dan rumah hanya karena yang kuat dan kuasa menghendakinya, di mana, seperti kata pepatah Melayu, "raja adil raja (dapat) disembah, raja lalim raja (dapat) disanggah". Kalau kita sebut sistem macam itu dengan nama "demokrasi", masih cemaskah Bapak, ya Sokrates? Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini