ADA tontonan baru di stadion Gelanggang Mahasiswa Kuningan, Jakarta, Ahad pekan lalu. Tontonan yang bisa merusak rumput stadion ini adalah supercross, dan acaranya disebut ''Supercross Pan Pacific 1992''. Ini olah raga di atas motor, mirip motocross, tapi kekuatan mesinnya lebih sempurna. Beda lainnya: motocross dilombakan di lapangan terbuka, sedangkan supercros digelar di dalam stadion. Dengan demikian penonton bisa menikmati kehebatan para pembalap, baik selagi menyalip, meloncati gundukan, atau terjungkal di track. Menonton motocross kan tak bisa melihat begitu kecuali dari helikopter, misalnya. Tapi, di Amerika, ini bukan tontonan baru. Di situ sudah berkembang sejak tahun 1970-an. Supercross disukai karena melambangkan kejantanan dan keberanian. Di atas sirkuit buatan itu, pembalap harus cerdik, cermat, dan sigap. Julukan buat jagoan olah raga ini pun seram-seram. Damon Bradshaw, juara Amerika belahan timur, misalnya, dijuluki ''Binatang Buas dari Timur''. Guy Cooper yang jagoan jumping dijuluki ''Penguasa Udara''. Sayangnya, ''Binatang Buas'' dan ''Penguasa Udara'' itu tak tampil di Jakarta. Crosser Amerika yang mengikuti kejuaraan Supercross Pan Pacific 1992 ini adalah Todd Dehoop. Toh tetap saja asyik. Malah, saking ''mengasyikkannya'', pada kelas 250 CC, crosser dalam negeri memilih mundur. Mereka lebih baik menjadi penonton daripada ikut berlaga dan dijadikan ejekan. Apalagi delapan pembalap asing berlomba. ''Kan lebih baik menonton, biar bisa melihat teknik mereka,'' kata seorang pembalap dalam negeri. Adalah Suwadi Jarot Atmaja alias Bedor yang menyulap stadion itu menjadi sirkuit. Ia mencari tanah merah sebanyak 1.600 meter kubik untuk dimasukkan ke dalam karung, lalu ditumpuk-tumpuk untuk menciptakan rintangan. Lantas, track itu dilapisi terpal plastik. Panjang lintasan 650 meter, dengan jumlah gundukan 24 buah setinggi 0,8 meter. Table top ada satu, dibuat setinggi 2 meter. Kemudian ada pula sebuah table top mini setinggi 1,8 meter. Maka, begitu peserta start, stadion yang dipenuhi sekitar 10 ribu penonton itu jadi marak. Pada nomor puncak kelas 250 CC, Todd Dehoop dan Peter Melton dari Australia yang memimpin. Mengendarai Suzukinya, Dehoop berpacu atraktif di udara. Sekali loncat, tiga gundukan setinggi 1 sampai 1,6 meter dilalap Dehoop dengan sempurna. Sayang, pada putaran kedua ia terjatuh. Posisinya segera saja diambil alih Melton, yang mengendarai Yamaha YZ. Melton tak terkejar sampai finis, dan menyabet gelar juara. Sudah kalah, Dehoop masih mengkritik sirkuit buatan Bedor ini. ''Rintangannya masih terlalu ringan dibandingkan dengan yang ada di negara lain. Di sini tidak ada tanjakan setinggi 3 meter,'' katanya. Kritiknya bisa diterima. Soalnya, pada nomor 125 CC (lap 20) Dehoop menjadi juara, disusul Melton. Pada nomor itu, dari sembilan pembalap dalam negeri, hanya tiga yang menyentuh finish. Mereka adalah Pieter Tanujaya (urutan ke-7), Frans Tanujaya (urutan 10) dan Rony Karno (urutan 12). Sedangkan Johny Pranata, yang disebut-sebut jagoan Indonesia, bernasib sial. Ia tak bisa melanjutkan lomba karena jatuh hingga mesinnya rusak. ''Saya berusaha menghindari peserta yang jatuh di depan saya, tapi saya sendiri ikut terjatuh. Dan kopling motor saya rusak,'' kata Johny, yang mempunyai julukan ''Kucing'' itu. Julukan itu ia peroleh karena memang pernah mengikuti kejuaraan supercross di Amerika. Namun, secara umum yang membedakan pembalap Indonesia dengan pembalap asing adalah nyali. Sebagian besar pembalap kita kurang berani mengambil gundukan dengan loncatan, berbeda dengan pembalap asing yang mampu menyikat tiga-empat gundukan sekali tancap. Maka, tak usah heran jika dari pinggir lapangan, penonton berteriak mencemooh: ''Penakut! Penakut!'' Dari segi teknik pun pembalap kita keteter. Jika mau menikung, misalnya, crosser lokal mengambil dari sudut dalam. Memang, pengambilan begitu terasa efektif dari segi jarak, tapi karena ini bukan sirkuit semacam Sentul, maka tak ada kamusnya dalam olahraga supercross. Sebab, begitu membelok akan menghadapi gundukan yang membutuhkan kekuatan mesin. Dan kekuatan itu bisa didapat jika mengambil tikungan dari bagian luar. Ketua panitia pelaksana, Dolly Indra Nasution, melihat kurangnya pengalaman dan latihan yang jadi pangkal sebab. Di mata Dolly, kondisi fisik pembalap pun kurang mendukung. ''Kalau perlu ikut latihan militer, biar fisiknya kuat,'' kata Dolly. Olah raga ini tumpuan utamanya pada kekuatan tangan. Crosser dari Amerika, Dehoop, cuma bilang, ''Peserta tuan rumah punya peluang, hanya kurang pengalaman.'' Nah, pengalaman itulah yang kini telah dipetik. Tapi, adakah pada masa mendatang mereka bisa memberikan perlawanan? Masih belum jelas. Para pembalap menginginkan lomba supercross seperti ini diramaikan lebih dulu agar sejajar dengan lomba motocross. WY
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini