KASUS Suap dan Kasus Pungli di Jalan Raya dan Penyebabnya serta Konsepsi Penanggulangannya di Polda Jawa Barat''. Itulah topik sebuah seminar di Bandung, Selasa pekan lampau. Penyelenggaranya bukan sembarang instansi, tapi justru pihak paling berwenang di jalan raya, yakni Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Barat. Di mimbar terbuka itu pula tidak kurang dari Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat, Mayor Jenderal Madra S. Maningadi, yang mengungkapkan sebanyak 214 anggotanya tertangkap basah ketika melakukan pungutan liar (pungli) di jalan raya. Perangai yang mencoreng kening polisi ini, menurut Madra dalam sambutannya, dihimpun dari hasil ''Operasi Bersih'' selama setahun ini. Budaya yang merusak citra polisi ini dijaring oleh anggota polisi di bagian intel yang menyamarsebagai sopir truk dan bus. Kata Madra, data jelek itu memang belum termasuk dark number yang luput dari liputan operasi tadi. Sekalipun begitu, jumlah 214 dari 16.200 polisi di Provinsi Jawa Barat tergolong tertinggi jeleknya jika dibandingkan dengan jajaran kepolisian daerah lainnya di Indonesia. Tilik saja data polisi ''buruk'' di Jawa Timur, yang diperkirakan sekitar 200 orang yang baru ketahuan. Sementara itu, menurut angka nasional, dari 170.000 polisi, sempat dicatat hanya 192 polisi yang ketahuan tanpa malu-malu berpungli-ria. Kebanyakan anggota polisi yang nekat itu, menurut ahli sosiologi hukum dari Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Profesor Satjipto Rahardjo, adalah mereka dari tingkatan bintara. Artinya, mereka itu dari jajaran yang berpangkat mulai dari sersan dua hingga mereka yang menyandang pembantu letnan satu. Dan melihat tingkat keterlibatan mereka itu, Satjipto pun setengah bertanya, ''Adakah ini berhubungan dengan tradisi setor ke atasan?'' Kemudian, ia juga merasa heran: kenapa jumlah oknum pelaku yang dari tamtama secara konstan justru lebih sedikit ketimbang oknum pelaku dari bintara? Toh Satjipto Rahardjo melihat itu terjadi bukanlah semata-mata karena ulah si oknum polisi saja. ''Kejadian penyuapan tidak bisa dilihat sebagai suatu yang berdiri sendiri,'' katanya. Karena itu, agar polisi tidak terus enak bertoleransi pada penyimpangan, salah satu upaya mengatasinya, menurut dia, adalah dengan meningkatkan penda- patan para hamba wet itu. Selama ini, karena penghasilannya dirasakan tidak mencukupi, ada yang rajin menggaruk di jalan raya. Apalagi kalau si bawahan itu melihat keadaan oknum atasannya bahkan mencolok, tidakkah itu pertanda bahwa dia memang harus lebih rajin siang dan malam menunggu di jalan raya. Dan uang hasil pungli itu, sebagaimana data yang dipaparkan Kolonel Agus Sarman dari Markas Besar Kepolisian RI, biasanya dikutip oleh anggota Sabhara (Samapta Bhayangkara) dan PJR (Patroli Jalan Raya) dari kendaraan beban, seperti truk gandeng dan truk pasir. Sedangkan dari para sopir bis, tambah Agus lagi, dipungut pungli oleh polisi lalu lintas di tingkat kepolisian resor (polres) di kabupaten dan polda (provinsi). Cara punglinya, menurut rincian Agus Sarman, bisa dilakukan langsung lewat tangan, disuruk dalam dompet surat-surat si sopir, ataupun melalui korek api dan bungkus rokok -- dilempar sopir yang melajukan kendaraannya dan Pak Polisi menadah tangannya di pinggir jalan. Uangnya itu sih memang tidak seberapa, yaitu Rp 500 sampai Rp 5.000, tetapi tidak merasamalu itu yang terus menjadi bahan gunjingan. ''Semua orang membicarakannya, mulai dari penarik becak sampai pejabat tinggi,'' ujar Kepala Dinas Penerangan Kepolisian Daerah Jawa Barat, Letnan Kolonel Istanto Judihardjo, kepada Taufik Abriansyah dari TEMPO. Citra negatif dan tingkah laku tercela oknum polisi itu boleh jadi terus berkejaran. Yang jelas, menurut Mayor Jenderal Madra, kini tidak kurang-kurangnya pimpinan Polri berupaya memperbaiki mental anggotanya. Caranya, yaitu di antaranya dengan kembali mendidik mereka yang nakal itu selama sebulan. Dan terapi ini pula yang kini sedang dilakukan oleh Mayor Jenderal Emon Rivai Arganata, Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur, terhadap 95 anggotanya (lihat Perilaku). Namun begitulah, seperti diakui Madra, terapi itu belum kunjung membuahkan hasil bagus. ''Ibarat mengarungi lautan luas,'' katanya. Dan pungli tetap merebak bak virus AIDS. Kapolri Jendral Kunarto memang pernah mengatakan, untuk membentuk polisi ideal, tidak cukup hanya lewat pendidikan. Selain bibitnya mesti bagus, perlengkapan dan gajinya juga harus baik. Lebih dari itu, sebenarnya tingkah laku polisi pungli tak bisa begitu saja dipisahkan dari kondisi objektif masyarakat. Di masyarakat, menurut Satjipto, juga terjangkiti polusi sosial. Entah karena membudayanya suap atawa tip maupun reaksi masyarakat yang menganggap pungli bukanlah kejahatan serius. Sebab itu, hampir semua pembicara di seminar yang dihadiri sekitar 150 orang dari kalangan penegak hukum, perguruan tinggi, dan jajaran perhubungan itu sepakat bahwa soalnya bukan hanya masalah mental polisi. Tapi juga faktor kesadaran hukum masyarakat. ''Tanpa adanya dukungan masyarakat, suap polisi itu sulit diberantas,'' kata Istanto. Bagaimana prospek reaksi dan partisipasi masyarakat kelak? Yang jelas, seminar itu sudah mengangkat problema polisi, yang posisinya sangat dekat dengan masyarakat sebagai pengayom keamanan sipil. Jadi, sangat lumrah jika masyarakat menumpukan harapannya kepada polisi sebagai pelindung. Namun, sementara itu ada sebagian masyarakat memberikan peluang kepada polisi untuk makan suap. Dan seperti disinggung seorang pembicara dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Romli Atmasasmita, sebagian polisi juga ikut menyesuaikan diri dengan kebiasaan suap atau menerima tip. Ed Zoelverdi dan Happy Sulistiadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini