Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Lika-Liku Menuju Team Pre ... Lika Liku Menuju Team Pre ...

Pelatih wiel coerver memilih 40 pemain di diklat salatiga. setiap calon diuji dalam satu pertandingan. nama ke -20 pemain inti team pre olimpik diumumkan 8 januari. semangat kompetitif dipupuk terus. (or)

27 Desember 1975 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEPAS suatu pertandingan percobaan wajah Coerver kelihatan murung. Hari itu Jumat malam tanggal 12 Desember. Sore sebelumnya calon Team Pre Olimpik PSSI baru saja mencatat kemenangan menyolok 9--2 atas kesebelasan Porkam/Pertamina di Stadion Pertamina, Cirebon. Tapi nampaknya skor itu tak menambah kecerahan suasana. Soalnya bukan karena kemenangan tersebut diraih lewat permainan yang kurang memuaskan. "Saya yakin anak-anak masih dapat bermain 50 persen lebih baik dari yang diperlihatkan tadi", katanya pada TEMPO. Lalu apa? Selagi para pemain bersantap malam di Hotel Nusantara, Coerver mengatakan bahwa dia mendapat interlokal dari Jakarta. Isinya cukup mengejutkan, paling tidak bagi pelatih Belanda itu yang telah mengatur jadwal pertandingan-pertandingan percobaan untuk selanjutnya. "Kami diinstruksikan berangkat ke Surabaya pada tanggal 15 Desember", katanya, "pada hal jauh-jauh hari telah kami rencanakan keberangkatan ke Surabaya pada tanggal 17 Desember dan rencana itu telah disetujui Pak Bardosono". Coerver nampak berat menerima kepuasan itu. Sejak dia menangani ke-40 pemain pilihannya di Diklat Salatiga pada pertengahan Nopember lalu sampai pertengahan Desember ini lawau Voest Linz di Senayan, tak kurang dari 18 pertandingan percobaan dia lakukan. Jadi pukul rata setiap kurang dari dua hari para calon diuji dalam satu pertandingan. Karenanya Coerver menjanjikan libur dua hari penuh di Ibukota lepas pertandingan lawan kesebelasan dari Austria itu, sebelum beranjak ke seleksi berikutnya. Malam itu juga dia berunding dengan pembantu umum Hardono, yang juga nampak tak dapat mengerti akan perubahan mendadak itu. Sementara itu Hendriks dan Ilyas Hadade, kedua asisten pelatih Coerver lebih dulu telah berada di Jakarta bersama sebagian besar pemain yang tidak diturunkan di Cirebon. "Peduli amat, kita tetap berangkat ke Surabaya pada tanggal 17 Desermber, sesuai dengan rencana", kata Coerver memutuskan. Tapi sempat dia bertanya: "Sesungguhnya siapa di pucuk pimpinan PSSI yang berwenang mengatur perubahan itu?". Team Pre Olimpik PSSI berangkat dari Cirebon dengan kereta Gunung Jati jam 5.15 pagi dan tiba di Stasion Senen pada jam 9.30. Esoknya Minggu pagi, mereka melakukan latihan pemanasan di "lapangan dalam" kompleks Senayan, menjelang pertandingan lawan Voest Linz sorenya. "Kami akan berangkat ke Surabaya besok siang dengan pesawat", katanya pada TEMPO meralat keputusannya di Cirebon. Coerver agaknya mulai lembek. Apa alasannya tak mau dia kemukakan. Tapi nampaknya dalam hal yang tidak prinsipil Coerver mau berkompromi. Selesai lawan Voest Linz PSSI kalah 0-1--Coerver bersama kedua asisten pelatihnya Hendriks dan Ilyas mengumumkan nama ke-28 pemain pilihan tahap pertama dari seluruhnya 40 pemain. Dengan catatan dua pemain belakangan: Eddy Sabenan yang masih cedera dan Martin Djopari juga dari Jayapura yang belum sempat diuji, masih dikasih peluang untuk masuk ke team inti, tergantung pada kondisi mereka masing-masing. Dalam seleksi tahap kedua, menurut rencana semula, di Jawa Tunur dan Sulawesi Selatan team Pre Olimpik akan main di Surabaya dan Malang (17 - 21 Desember 1975) dan di Ujung Pandang dan sekitarnya (22 Desember 1975 - 7 Januari 1976). Dengan perubahan jadwal tersebut tentu saja terjadi pergeseran. Tapi yang hampir pasti, tanggal 8 Januari mereka akan berada di Jakarta dengan nama ke-20 pemain team Pre Olimpik Indonesia (plus nama team manager barangkali) mereka akan berasrama di Kompleks Olahraga "Jaya Raya" Ragunan. Tanggal 12 Januari merupakan pertandingan percobaan terakhir lawan Grasshoppers dari Swiss. Ke-28 pemain yang lolos dari seleksi tahap pertama itu adalah: Sudarno, Ronny Pasla, Taufik (kiper) Oyong Liza, Sutan Harhara, Widodo, A. Rani, Risnandar, Burhanuddin, Suhatman, Hengki Haipon, Johannes Auri Harry Muryanto (belakang) Junaedi Abdillah, Suaeb Rizal, Anjas Asmara, Sofyan Hadi, Nobon, Hartono, Gusnul Yakin (tengah) Iswadi Andi Lala, Risdianto, Waskito, Abdui Kadir, Hadi Ismanto, Deddy Sutendi, Robby Binur (depan). Meskipun Coerver sendiri nampaknya masih terombang-ambing dalam menentukan ke-20 pemain inti, tapi jelas dia tidak mau dicampuri orang lain. Misalnya sewaktu Pre Olimpik berhadapan dengan Voest Lin pada tanggal 14 oesember lalu. Ketika Ketua Dewan Penasehat Maladi dan Ketua Badan Team Nasional Pardede turun ke pinggir lapangan dan Pardede terang-terangan minta Waskito diganti, Coerver hanya menjawab singkat: "Itu urusan saya". (Lihat: Team Pre Olimpik Di Mata Pardede). Malah Coerver menyerahkan pita hijau kepada Waskito, menggantikan tugas kapten Iswadi yang meninggalkan permainan karena cedera. Selama berlangsung penggemblengan di Salatiga, hasil karcis dari pertandingan-pertandingan percobaan di kota-kota sekitarnya oleh Coerver dibagi rata kepada ke-40 pemain. "Dalam soal uang dia sangat akurat', kata seorang pembantunya. "Kurang seratus perak dia tagih". Konon serangkaian pertandingan itu dua juta rupiah. Bagaimana Sekarang? Coerver nampaknya berusaha keras mencangkok kebiasaan profesionalisme ke dalam tubuh persepakbolaan di sini dalam waktu sesingkat mungkin. Dia memegang kendali, memberi komando dan secara tidak langsung menyadarkan para pemain bahwa sepakbola adalah periuk nasi mereka. Dia bersikap los terhadap para pemain, asal saja mereka dapat memperkembangkan kepribadian ke arah disiplin diri yang positif. Satu hal yang ikut merundung pikirannya adalah sistim kwalifikasi Pre Olimpik pertengahan Pebruari tahun depan. "Mengapa dalam sistim setengah kompetisi itu juara dan runner-up harus bertanding lagi untuk penentuan? Mengapa tidak langsung saja juaranya masuk 16 besar? Kurang yakinkah kita?" Coerver menilai bahwa PSSI tidak dapat memanfaatkan keuntungan bermain di lapangan sendiri. Sistim yang mula pertama diterapkan dalam turnamen Merdeka Games di Kuala Lumpur beberapa bulan yang lalu itu dinilai sangat janggal. Hanya memberi peluang lebih besar buat lawan untuk menyesaikan diri. "Jauh-jauh hari telah saya saramkah supaya juaranya saja langsung ke luar sebagai pemenang tanpa embel-embel pertandingan penentuan. Dan saran itu telah disetujui. Tapi sekarang bagaimana?" Dan bagaimana sekarang? Adakah Coerver telah siap? Dari dua pertandingan terakhir, lawan Porkam dan Voest Linz, nampaknya 80 persen kesebelasan inti telah membayang. Tapi penjaga gawang Sudarno yang selama ini lebih sering dipasang beberapa kali membuat kesalahan yang hampir sama: tangkapannya kurang lengket, sehingga bola yang justru tidak sulit sering lepas. Hal ini menempatkan peluang Taufik dan Ronny Pasla hampir sebesar Sudarno. Back kanan Sutan Harhara hampir tak tergoyahkan. Tapi untuk posisi back kiri Coerver belum menemukan orang yang tepat. Di Cirebon dia mencoba Oyong Liza setengah permainan. Tempat Oyong di poros halang diisi Widodo. Tapi sewaktu Oyong keluar karena cedera, Johannes Auri ditugaskan mengambil alih back kiri. Dan posisi ini bertahan bagi Auli dalam pertandingan lawan Voest Linz sepanjang permainan. Meskipun dari pinggir lapangan Coerver terus meneriaki Auri untuk memperbaiki posisinya dalam ikut menyerang. Tak heran Eddy Sabenan dan Martin Djopari masih diharapkan. Kedua poros halang bukan tidak memusingkan. Suhatman hampir pasti mendapat tempat sebagai poros pertama yang aktif menyapu serangan lawan pada kesempatan pertama. Dia adalah hasil Diklat satu-satunya yang lumayan dan menurut Coerver memiliki kepribadian. Poros halang kedua nampaknya diperebutkan antara Oyong Liza dan Widodo. Oyong lebih cepat dari Widodo, tapi pemain ini menurut Coerver, kurang dapat mengorganisir rekan-rekannya. KelemahanOyong terlihat dalam pertandingan lawan Voest Linz. Karena terlalu banyak memperhatikan dan mengatur rekan, sehingga dia lupa pada penjagaan sendiri. Namun demikian Oyong dinilai lebih besar peluangnya dari Widodo. Lebih-lebih dalam pertandingan di Senayan itu Widodo membuat suatu kesalahan fatal. Dia gagal menghentikan bola. Fanatisme, kecepatan dan permainan fors juga ada pada Oyong. Di lini tengah cederanya Junaedi Abdillah memaksa Coerver menurunkan Hartono. Yang terakhir ini tak syak lagi adalah pemain yang paling "sempurna". Hartono punya gaya dan teknik individuil lebih dari rekan lainnya. Dan tembakan kanan kiri pun sama baiknya. Tapi dalam jalinan kerjasama regu ia agak malas. Radius geraknya tidak seluas Junaedi. Ketrampilanl individuilnya kurang efektif dalam membangun serangam. Memang dia menonjol dan enak dipandang, tapi untuk dirinya sendiri. Kedua pemain tengah lainnya Nobon dan Sofyan Hadi tak jarang silih berganti dengan Gusnul Yakin dari Diklat. Tapi syarat 3 pemain tengah yang mau "mati-matian mempertahankan setiap jengkal tanah dari serangan lawan" nampaknya miring pada Nobon dan Sofyan, dibantu oleh Suhatman yang biasa naik turun. Gusnul memang banyak beraksi, tapi belum matang dalam menempatkan bola dan mengambil posisi. Lebih cerah adalah harapan Hadi Ismanto, yang tidak jarang dipasang sebagai penghubung ataupun sebagai penyerang . Di lini depan Iswadi dan Risdianto hampir pasti. Kecuali di sayap kiri masih diperebutkan antara Andi Lala, Waskito dan Abdul Kadir. Yang terakhir ini belum pernah dicoba dalam seleksi tahap pertama. Coerver rupanya berusaha keras untuk memberi kesempatan yang adil bagi para pemain pilihannya. Sehingga dalam proses seleksi terpelihara semangat kompetisif yang tak kunjung padam. "Terus terang", kata Iswadi pada TEMPO, "saya sendiri belum merasa siap terpilih. Sorry, bukan karena saya tidak mau menolong kawan-kawan lainnya". Iswadi mengakui: "Saya pertama harus menolong diri saya sendiri". Atas pertanyaan siapakah ke-20 pemain yang bakal menjadi regu inti, Coerver sendiri tidak dapat memastikan "Dari 40 pemain telah tersusun 10. Dari 30 ini saya memperkirakan 10 orang bisa diandalkan, tapi 20 lainnya mempunyai nilai hampir sama". Dan ke-10 pemain itu tak pula dia mau menyebut namanya. Mungkin inilah rahasia sang coach yang hanya baru dapat diungkapkan pada waktunya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus