SEKLOMPOK kecil mahasiswa Sinematografi LPKJ di Pelabuhan
Priok. Berbeda dengan mahasiswa lain yang biasanya menggunakan
buku, mereka (4 orang) cukup dengan kamera 8 mm. Lalu berbagai
jenis shot dilakukan terhadap kegiatan bongkar muat di
pelabuhan. Hasilnya adalah film Tanjng Prok. Ada suasana
pelabuhan: truk-truk mengangkut muatan kuli-kuli sibuk. Namun di
tengah kesibukan itu sendiri, tak luput dua burlh pelabuhan yang
duduk bermalas-malas sempat direkam dalam kamera.
Kelemahan film mini ini bukannya tak ada, kendati permainan
kamera cukup lumayan. Suasana bongkar muat itu sendiri belum
begitu ramai. Perpindahan shot sedikit lamban bahkan tak ada
kejutan yang diperlihatkan dalam kamera. Panning shot yang
berkali-kali justru memperlihatkan kelambanan. Padahal Priok
begitu hingar bingarnya. Dalam suara hingar bingar memang cukup
jelas tertangkap. Juga tidak diperlihatkan kapal-kapal yang
masuk dan merapat ke dermaga, sampai terjadinya proses bongkar
muat itu. Demikian pula suasana pos-pos pelabuhan, kegiatan
doane dan pergudangan memang masih kurang memadai. Tapi adegan
'salem tempel' kenek untuk dengan petugas keamanan boleh juga
dipuji pengambilannya.
Namun karya itu sendiri tetap utuh. Dan mahasiswa yang beroleh
bimbingan dari dosen mereka telah bekerja dengan tekun.
Misalnya, walau peralatannya serba minim, toh mereka berhasil
menciptakan (meralat pencampur suara dengan musik).
Film Tanjung Priok ukuran 8 m, sebenarnya menurut pengakuan Andi
Arnold--yang ikut menangani shooting - adalah bahan untuk
pembuatan film 35 mm tentang Tanjung Priok menjelang ditutupnya
sayembara pekan film mini, film 8 mm yang mereka buat bulan
Juli lalu nyaris terlupakan. Buru-buru diadakan sekedar editing
ulang. Dan atas kesepakatan bersama film Tanjung Prok itu
dikirim ke panitia sayembara atas nama "Sinema 8". Hasilnya
hadiah pertama.
Biro Konsultasi
Sinema 8 didirikan setelah festival film mini tahun 1973.
Rupanya di tengah kesibukan kerja praktek, ada mahasiswa yang
menyempatkan diri membuat film 8 mm tanpa bimbingan dosen. "Dari
sulit kami cetuskan kembali ide membentuk Sinema 8", ujar
Nurhadie Irawan, Ketua Senat Akademi Sinematografi. Selain itu
mereka memang sering terlibat dalam berbagai diskusi film dan
nonton film di Kine Klub.
Geraknya sementara terbatas di kalangan mahasiswa Sinematografi.
Tugas Sinema 8, tutur Nurhadie Irawan, adalah menyeleksi film
yang bakal diikut-sertakan dalam sayembara film mini. Film yang
memenuhi syarat diberi judul, diedit dan dicarikan musik yang
cocok. Film ini kemudian diatas namai karya Sinema 8. Tapi bila
yang punya film keberatan, boleh mengatas namakan dirinya
sebagai si pencipta. "Sebenarnya Sinema 8 tak lebih dari semacam
biro konsultasi terhadap mahasiswa Sinematografi yang membuat
film", kata Nurhadie. Film-film yang mereka buat ditangani oleh
mahasiswa sendiri dan tidak seorang dosen pun yang ikut campur
tangan. Mereka melepaskan diri dari berbagai tanggapan dosen.
Maksudnya tiada lain agar ide mahasiswa bisa berkembang dengan
sendirinya berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki.
Hampir semua film yang diikutkan dalam sayembara beroleh nomor.
Tapi sebagaimana yang diakui Nurhadie Irawan, masih belum
memuaskan Soalnya banyak anggota juri yang jadi dosen mereka
Makanya untuk tahun berikut diharap penjurian diserahkan saja
kepada orang di luar Akademi Sinematografi. Dan adakah
penjurian itu adil? "Bukan tanggung jawab kami", tukas
Nurhadie. Tapi D.A. Peransi, anggota juri dan sekaligus wakil
Dekan Akademi Sinematografi, mengatakan bahwa sekiranya dia tahu
persis karya-karya Sinema 8, maka penjuriannya akan lebih
diperketat Boleh jadi angkanya dikurangi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini