ORANG macam apa Wiel Coerver ini? Di negeri Belanda bekas
Coach "Feyenoord" ini terkenal sebagai orang yang suka membela
kepentingan pemain. Sehingga pernah dia berkonfrontasi dengan
pengurus sebuah perkumpulan. Ketika pertanyaan yang kurang ramah
itu diajukan padanya, dia coba mengelak. "Tidak benar. Saya
justru ingin menjalin hubungan baik antara pemain dan pengurus",
jawabnya. Di mata Bert Sumser, coach atletik Jerman yang sedang
berada di Indonesia, Coerver dinilai punya kelas tersendiri.
"Terus terang bukan karena dia sesama rekan dan berasal dari
Eropa, maka saya memujinya", komentar Sumser pada TEMPO. "Saya
kenal baik dia, saya kenal baik Sepp Herberger, Helmut Schoen.
Saya tahu siapa Rinus Michels itu dan banyak lagi coach-coach
ternama di Eropa. Dan saya pun pernah menjadi pemain sepakbola.
Tapi sekali lagi saya katakan di sini, Coerver tidak di bawah
mereka. Bahkan dalam soal-soal kemanusiaan Coerver melebihi
mereka. Itulah sebabnya saya menilai dia lebih baik dari
rekan-rekannya yang lain". Hebat betul pujian Sumser. Tapi itu
di Eropa.
Sikap ABS
Di Indonesia? Pagi-pagi Coerver bikin perkara. Dengan Bardosono
diributkan soal penentuan pemain. Lewat pers dia menyinggung
perasaan orang dengan menyebut-nyebut sikap pemain dan coach
Indonesia seperti "kacung". Meskipun kemudian dia menerangkan,
yang dikecam sesungguhnya adalah sikap membungkuk-bungkuk "ABS"
asal bapak senang. Pendeknya dia berhadapan dengan suatu kondisi
yang tidak berkenan dengan adat profesionalnya. Di lain pihak,
sikap yang "bermusuhan" itu nampaknya bukan tidak menimbulkan
semacam pofessional shock (kejutan profesional) bagi sementara
pimpinan dan suporter PSSI. Tapi agaknya sang waktu lambat-laun
melapangkan jalan ke titik pertemuan. Coerver berusaha
menyesuaikan diri dengan pihak pimpinan PSSl pun tidak lagi mau
menjamah hal-hal yang prinsipil merupakan prerogatif sang
pelatih - termasuk penunjukan seorang team manager untuk regu
Pre Olimpik lndonesia.
Dalam praktek sehari-hari tugas dan wewenang Coerver pada
dasarnya tidak berbeda denan seorang team manager di Inggeris.
Katakanlah Ramsey, misalnya--coach dan manager dirangkap seorang
diri. Tapi mengapa Coerver masih membutuhkan seorang team
manager di sampingnya? "Bahasa soal pertama", katanya. "Saya
ingin seorang team manager yang dapat berkomunikasi dengan
pemain dan tentu saja orang itu bisa diterima pemain, bukan asal
tunjuk". Setelah mengulang kembali syarat-syarat seorang team
manager seperti yang pernah dikemukakan tempo hari (TEMPO, 15
Nopember 1975), dia harap team manager itu dapat menyadarkan dan
membangkitkan semangat pemain. Lawan kesebelasan Korea Utara
yang dianggap paling berat misalnya, manager itu harus membantu
mengembangkan kepribadian yang mantap pada diri setiap pemaim
Manager itu harus juga dapat mengangkat semangat Anjas misalnya.
'Anjas mengapa kamu kelihatan terpekur saja'. Saya ingin Anjas
digembleng begitu rupa, sehingga ia berani bersikap menantang
terhadap Iswadi misalnya. Hey Iswadi, kamu jangan sok keren! Apa
yang kamu bisa lakukan saya pun bisa'. Saya ingin semua pemain
berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Sama-sauna membicarakan
masalah di dalam dan di luar lapangan permainan".
Sayang Dia Malas
Coerver menambahkan: "Anda boleh kumpulkan coach-coach dunia
seperti Helenio Hererra, Helmut Schoen, Rinus Michles di pinggir
lapangan, tapi begitu peluit wasit memberi tanda pertandingan
dimulai, mereka tokh tidak bisa berbuat apa-apa. Para pemainlah
yang menentukan. "Selama proses seleksi berlangsung, Coerver pun
merasa bahwa dia "terlampau banyak menuntut dari pemain, pada
hal yang mereka terima hanya sedikit". karenanya dia ingin
seorang manager itu bisa menyadarkan, korban yang mereka berikan
tidak siasia. "Dan yang tak kurang penting adalah memberi
pengertian kepada 9 pemain cadangan yang terpaksa duduk di
pinggir tanpa mengurangi motivasi mereka untuk menang".
Masih dalam rangkaian faktor-fakto psikologis, Coerver
menunjuk pada Kapten Oyong Liza. "Dia seorang pemain yang baik.
Tapi yang diberikan di lapangan kelihatannya tidak lebih dari
seorang pegawai negeri yang menjalankan tugas rutine. Dia kurang
berinisiatif untuk berbicara dan memimpin rekan-rekannya".
Mengenai Risdianto Coerver memuji setinggi langit. "Pemain ini
cerdik. Risdianto punya banyak mata: di depan, di samping dan di
belakang, akan di bila dibandingkan dengan Nico Jansens yang
dibeli heyelloord satu juta gulden. saya nilai 3 kali lipat
harganya. Cuma sayang dia malas. Dan saya harap bantuan seorang
manager untuk mengatasinya".
Kebiasaan berbicara antara pemain dan pers menjelang suatu
turnamen juga ingin Coerver galakkan. Di Eropa, kata Coerver,
kebiasaan itu sangat menolong membakar semangat pemain. Ketika
diterangkan bahwa kebiasaan itu belum berkembang di sini, karena
di samping takut kalau-kalau diserang pers dan juga para pemain
memang dilarang membicarakan persoalannya ke luar oleh pimpinan
PSSI, Coerver nampak tidak dapat menerima. "Bagaimana bisa
diharapkan dari pemain untuk membicarakan masalah mereka kalau
sehari-hari saja mereka dilarang membuka mulut? Saya ingin para
wartawan nanti menanyakan para pemain sebanyak mungkin problim
mereka. Siapa misalnya team manager yang mereka anggap paling
cocok. Tanyalah mereka!".
Siapa manager yang bakal mendampingi Coerver itulah vang belum
terungkapkan. Dia tidak mau mengemukakan pilihannya sekarang.
"Tunggu nanti kalau sudah kami di Ragunan", katanya. Nampaknya
Coerver berusaha ber tindak bijaksana untuk tidak menyinggung
perasaan pimpinan PSSI. Lebih lebih pernah tersiar bahwa tokoh
bola yang diincarnya itu adalah "orang luar". Dugaan tidak
bergeser jauh dari tokoh Frans Hutasoit, Ketua Jayakarta yang
markasnya di Kompleks Olahraga "Jaya Raja". Konon kabarnya pihak
pimpinan PSSI--demi kepentingan nasional pun telah mengadakan
pendekatan dengan unsur "Trio Plus" dun telah minta kesediaan
Hutasoit untuk secara tidak langsung ikut menggembleng regu Pre
Olimpik Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini