LEPAS suatu pertandingan percobaan wajah Coerver kelihatan
murung. Hari itu Jumat malam tanggal 12 Desember. Sore
sebelumnya calon Team Pre Olimpik PSSI baru saja mencatat
kemenangan menyolok 9--2 atas kesebelasan Porkam/Pertamina di
Stadion Pertamina, Cirebon. Tapi nampaknya skor itu tak menambah
kecerahan suasana. Soalnya bukan karena kemenangan tersebut
diraih lewat permainan yang kurang memuaskan. "Saya yakin
anak-anak masih dapat bermain 50 persen lebih baik dari yang
diperlihatkan tadi", katanya pada TEMPO. Lalu apa? Selagi para
pemain bersantap malam di Hotel Nusantara, Coerver mengatakan
bahwa dia mendapat interlokal dari Jakarta. Isinya cukup
mengejutkan, paling tidak bagi pelatih Belanda itu yang telah
mengatur jadwal pertandingan-pertandingan percobaan untuk
selanjutnya. "Kami diinstruksikan berangkat ke Surabaya pada
tanggal 15 Desember", katanya, "pada hal jauh-jauh hari telah
kami rencanakan keberangkatan ke Surabaya pada tanggal 17
Desember dan rencana itu telah disetujui Pak Bardosono".
Coerver nampak berat menerima kepuasan itu. Sejak dia menangani
ke-40 pemain pilihannya di Diklat Salatiga pada pertengahan
Nopember lalu sampai pertengahan Desember ini lawau Voest Linz
di Senayan, tak kurang dari 18 pertandingan percobaan dia
lakukan. Jadi pukul rata setiap kurang dari dua hari para calon
diuji dalam satu pertandingan. Karenanya Coerver menjanjikan
libur dua hari penuh di Ibukota lepas pertandingan lawan
kesebelasan dari Austria itu, sebelum beranjak ke seleksi
berikutnya. Malam itu juga dia berunding dengan pembantu umum
Hardono, yang juga nampak tak dapat mengerti akan perubahan
mendadak itu. Sementara itu Hendriks dan Ilyas Hadade, kedua
asisten pelatih Coerver lebih dulu telah berada di Jakarta
bersama sebagian besar pemain yang tidak diturunkan di Cirebon.
"Peduli amat, kita tetap berangkat ke Surabaya pada tanggal 17
Desermber, sesuai dengan rencana", kata Coerver memutuskan. Tapi
sempat dia bertanya: "Sesungguhnya siapa di pucuk pimpinan PSSI
yang berwenang mengatur perubahan itu?".
Team Pre Olimpik PSSI berangkat dari Cirebon dengan kereta
Gunung Jati jam 5.15 pagi dan tiba di Stasion Senen pada jam
9.30. Esoknya Minggu pagi, mereka melakukan latihan pemanasan di
"lapangan dalam" kompleks Senayan, menjelang pertandingan lawan
Voest Linz sorenya. "Kami akan berangkat ke Surabaya besok siang
dengan pesawat", katanya pada TEMPO meralat keputusannya di
Cirebon. Coerver agaknya mulai lembek. Apa alasannya tak mau dia
kemukakan. Tapi nampaknya dalam hal yang tidak prinsipil Coerver
mau berkompromi.
Selesai lawan Voest Linz PSSI kalah 0-1--Coerver bersama kedua
asisten pelatihnya Hendriks dan Ilyas mengumumkan nama ke-28
pemain pilihan tahap pertama dari seluruhnya 40 pemain. Dengan
catatan dua pemain belakangan: Eddy Sabenan yang masih cedera
dan Martin Djopari juga dari Jayapura yang belum sempat diuji,
masih dikasih peluang untuk masuk ke team inti, tergantung pada
kondisi mereka masing-masing. Dalam seleksi tahap kedua, menurut
rencana semula, di Jawa Tunur dan Sulawesi Selatan team Pre
Olimpik akan main di Surabaya dan Malang (17 - 21 Desember 1975)
dan di Ujung Pandang dan sekitarnya (22 Desember 1975 - 7
Januari 1976). Dengan perubahan jadwal tersebut tentu saja
terjadi pergeseran. Tapi yang hampir pasti, tanggal 8 Januari
mereka akan berada di Jakarta dengan nama ke-20 pemain team Pre
Olimpik Indonesia (plus nama team manager barangkali) mereka
akan berasrama di Kompleks Olahraga "Jaya Raya" Ragunan. Tanggal
12 Januari merupakan pertandingan percobaan terakhir lawan
Grasshoppers dari Swiss. Ke-28 pemain yang lolos dari seleksi
tahap pertama itu adalah: Sudarno, Ronny Pasla, Taufik (kiper)
Oyong Liza, Sutan Harhara, Widodo, A. Rani, Risnandar,
Burhanuddin, Suhatman, Hengki Haipon, Johannes Auri Harry
Muryanto (belakang) Junaedi Abdillah, Suaeb Rizal, Anjas
Asmara, Sofyan Hadi, Nobon, Hartono, Gusnul Yakin (tengah)
Iswadi Andi Lala, Risdianto, Waskito, Abdui Kadir, Hadi Ismanto,
Deddy Sutendi, Robby Binur (depan).
Meskipun Coerver sendiri nampaknya masih terombang-ambing dalam
menentukan ke-20 pemain inti, tapi jelas dia tidak mau dicampuri
orang lain. Misalnya sewaktu Pre Olimpik berhadapan dengan Voest
Lin pada tanggal 14 oesember lalu. Ketika Ketua Dewan Penasehat
Maladi dan Ketua Badan Team Nasional Pardede turun ke pinggir
lapangan dan Pardede terang-terangan minta Waskito diganti,
Coerver hanya menjawab singkat: "Itu urusan saya". (Lihat: Team
Pre Olimpik Di Mata Pardede). Malah Coerver menyerahkan pita
hijau kepada Waskito, menggantikan tugas kapten Iswadi yang
meninggalkan permainan karena cedera. Selama berlangsung
penggemblengan di Salatiga, hasil karcis dari
pertandingan-pertandingan percobaan di kota-kota sekitarnya oleh
Coerver dibagi rata kepada ke-40 pemain. "Dalam soal uang dia
sangat akurat', kata seorang pembantunya. "Kurang seratus perak
dia tagih". Konon serangkaian pertandingan itu dua juta rupiah.
Bagaimana Sekarang?
Coerver nampaknya berusaha keras mencangkok kebiasaan
profesionalisme ke dalam tubuh persepakbolaan di sini dalam
waktu sesingkat mungkin. Dia memegang kendali, memberi komando
dan secara tidak langsung menyadarkan para pemain bahwa
sepakbola adalah periuk nasi mereka. Dia bersikap los terhadap
para pemain, asal saja mereka dapat memperkembangkan kepribadian
ke arah disiplin diri yang positif. Satu hal yang ikut merundung
pikirannya adalah sistim kwalifikasi Pre Olimpik pertengahan
Pebruari tahun depan. "Mengapa dalam sistim setengah kompetisi
itu juara dan runner-up harus bertanding lagi untuk penentuan?
Mengapa tidak langsung saja juaranya masuk 16 besar? Kurang
yakinkah kita?" Coerver menilai bahwa PSSI tidak dapat
memanfaatkan keuntungan bermain di lapangan sendiri. Sistim yang
mula pertama diterapkan dalam turnamen Merdeka Games di Kuala
Lumpur beberapa bulan yang lalu itu dinilai sangat janggal.
Hanya memberi peluang lebih besar buat lawan untuk menyesaikan
diri. "Jauh-jauh hari telah saya saramkah supaya juaranya saja
langsung ke luar sebagai pemenang tanpa embel-embel pertandingan
penentuan. Dan saran itu telah disetujui. Tapi sekarang
bagaimana?"
Dan bagaimana sekarang? Adakah Coerver telah siap? Dari dua
pertandingan terakhir, lawan Porkam dan Voest Linz, nampaknya 80
persen kesebelasan inti telah membayang. Tapi penjaga gawang
Sudarno yang selama ini lebih sering dipasang beberapa kali
membuat kesalahan yang hampir sama: tangkapannya kurang lengket,
sehingga bola yang justru tidak sulit sering lepas. Hal ini
menempatkan peluang Taufik dan Ronny Pasla hampir sebesar
Sudarno. Back kanan Sutan Harhara hampir tak tergoyahkan. Tapi
untuk posisi back kiri Coerver belum menemukan orang yang tepat.
Di Cirebon dia mencoba Oyong Liza setengah permainan. Tempat
Oyong di poros halang diisi Widodo. Tapi sewaktu Oyong keluar
karena cedera, Johannes Auri ditugaskan mengambil alih back
kiri. Dan posisi ini bertahan bagi Auli dalam pertandingan lawan
Voest Linz sepanjang permainan. Meskipun dari pinggir lapangan
Coerver terus meneriaki Auri untuk memperbaiki posisinya dalam
ikut menyerang. Tak heran Eddy Sabenan dan Martin Djopari masih
diharapkan.
Kedua poros halang bukan tidak memusingkan. Suhatman hampir
pasti mendapat tempat sebagai poros pertama yang aktif menyapu
serangan lawan pada kesempatan pertama. Dia adalah hasil Diklat
satu-satunya yang lumayan dan menurut Coerver memiliki
kepribadian. Poros halang kedua nampaknya diperebutkan antara
Oyong Liza dan Widodo. Oyong lebih cepat dari Widodo, tapi
pemain ini menurut Coerver, kurang dapat mengorganisir
rekan-rekannya. KelemahanOyong terlihat dalam pertandingan
lawan Voest Linz. Karena terlalu banyak memperhatikan dan
mengatur rekan, sehingga dia lupa pada penjagaan sendiri. Namun
demikian Oyong dinilai lebih besar peluangnya dari Widodo.
Lebih-lebih dalam pertandingan di Senayan itu Widodo membuat
suatu kesalahan fatal. Dia gagal menghentikan bola. Fanatisme,
kecepatan dan permainan fors juga ada pada Oyong.
Di lini tengah cederanya Junaedi Abdillah memaksa Coerver
menurunkan Hartono. Yang terakhir ini tak syak lagi adalah
pemain yang paling "sempurna". Hartono punya gaya dan teknik
individuil lebih dari rekan lainnya. Dan tembakan kanan kiri pun
sama baiknya. Tapi dalam jalinan kerjasama regu ia agak malas.
Radius geraknya tidak seluas Junaedi. Ketrampilanl individuilnya
kurang efektif dalam membangun serangam. Memang dia menonjol dan
enak dipandang, tapi untuk dirinya sendiri. Kedua pemain tengah
lainnya Nobon dan Sofyan Hadi tak jarang silih berganti dengan
Gusnul Yakin dari Diklat. Tapi syarat 3 pemain tengah yang mau
"mati-matian mempertahankan setiap jengkal tanah dari serangan
lawan" nampaknya miring pada Nobon dan Sofyan, dibantu oleh
Suhatman yang biasa naik turun. Gusnul memang banyak beraksi,
tapi belum matang dalam menempatkan bola dan mengambil posisi.
Lebih cerah adalah harapan Hadi Ismanto, yang tidak jarang
dipasang sebagai penghubung ataupun sebagai penyerang .
Di lini depan Iswadi dan Risdianto hampir pasti. Kecuali di
sayap kiri masih diperebutkan antara Andi Lala, Waskito dan
Abdul Kadir. Yang terakhir ini belum pernah dicoba dalam
seleksi tahap pertama. Coerver rupanya berusaha keras untuk
memberi kesempatan yang adil bagi para pemain pilihannya.
Sehingga dalam proses seleksi terpelihara semangat kompetisif
yang tak kunjung padam. "Terus terang", kata Iswadi pada TEMPO,
"saya sendiri belum merasa siap terpilih. Sorry, bukan karena
saya tidak mau menolong kawan-kawan lainnya". Iswadi mengakui:
"Saya pertama harus menolong diri saya sendiri". Atas pertanyaan
siapakah ke-20 pemain yang bakal menjadi regu inti, Coerver
sendiri tidak dapat memastikan "Dari 40 pemain telah tersusun
10. Dari 30 ini saya memperkirakan 10 orang bisa diandalkan,
tapi 20 lainnya mempunyai nilai hampir sama". Dan ke-10 pemain
itu tak pula dia mau menyebut namanya. Mungkin inilah rahasia
sang coach yang hanya baru dapat diungkapkan pada waktunya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini