Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Magnet Uang Atlet Cina

Li Na menjadi atlet perempuan terkaya kedua tahun ini berkat kontrak sponsor. Kepribadian dan potensi pasar negaranya menjadi kunci.

22 Agustus 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berada di Toronto, Kanada, Li Na serasa di negeri sendiri. Besar sekali jumlah komunitas Cina di sana. Ketika petenis putri berusia 29 tahun itu bertanding dalam turnamen Rogers Cup dua pekan lalu, mereka berbondong ke stadion untuk mendukungnya. Gembirakah Kakak Li—begitu sapaan hormatnya—dengan situasi itu? "Saya tak memikirkannya karena sama sekali tak membantu penampilan saya di lapangan."Inilah dampak buruk memiliki pendukung berlimpah tapi kadang terlalu antusias: berteriak gaduh sepanjang pertandingan, yang justru merusak konsentrasi Li. Tentu saja, ada banyak sisi lain yang positif. Salah satunya dari segi sponsorship. Juara tunggal putri Prancis Terbuka itu bak magnet berjalan bagi para pengiklan karena jumlah pemujanya.

Pada tahun ini petenis berperingkat enam dunia itu setidaknya sudah mengikat kontrak sponsor senilai US$ 42 juta (sekitar Rp 357,6 miliar) dengan tujuh perusahaan, antara lain Mercedes-Benz (mobil Jerman), Rolex (jam Swiss), dan Haagen-Dazs (es krim Amerika Serikat). "Seharusnya bisa deal dengan lima yang lain, tapi Li tak punya waktu," kata agennya, Max Eisenbud, bangga.

Semua kontrak itu untuk jangka tiga tahun. Artinya, dalam setahun penghasilan Li di luar pertandingan mencapai sekitar US$ 14 juta. Menurut majalah Forbes, dari semua atlet perempuan di segala cabang olahraga, uang yang dikumpulkan Li cuma kalah oleh ratu tenis Rusia, Maria Sharapova, US$ 25 juta.

Memang, penghasilan seorang atlet tidak selalu berbanding lurus dengan kinerja di lapangan. Sharapova selalu terkaya dalam tujuh tahun terakhir, dan kemungkinan untuk tahun kedelapan pada tahun ini, meski terakhir kali dia menjuarai grand slam adalah pada Australia 2008.

Jumlah pendapatan Li sepanjang 2010 hanya di peringkat kedelapan atlet perempuan segala cabang. Tahun ini, dari uang hadiah sebagai runner-up Australia Terbuka, juara Prancis Terbuka, dan match fee laga-laga lain, perempuan dari Provinsi Hubei, Cina, ini berhasil mengumpulkan US$ 3,227 juta (sekitar Rp 27,5 miliar). Dalam lima bulan, uang hadiah yang dia koleksi hampir setara dengan uang hadiah yang dia kumpulkan dalam 11 tahun sebelumnya.

Meski begitu, jumlah uang hadiah miliknya belum apa-apa bila dibanding dengan yuan, dolar, dan euro yang dia peroleh dari kontrak sponsor. Sementara Sharapova memiliki keindahan fisik sebagai daya untuk menarik pihak sponsor, Li mempunyai rakyat Cina sebagai magnetnya.

Sebagai negeri dengan jumlah penduduk terbanyak sejagat, 1,3 miliar jiwa, Republik Rakyat Cina adalah pasar raksasa. Menurut perhitungan Federasi Perlengkapan Olahraga Cina, negeri itu memiliki potensi pasar bagi perlengkapan olahraga tak kurang dari US$ 6 miliar atau sekitar Rp 51 triliun! Setiap tahunnya tumbuh 14 persen.

Potensi itu telah disadari benar oleh pengelola kompetisi bola basket Amerika, NBA. Mendirikan kantor perwakilan di sana sejak 1980, NBA telah lama memasarkan jersey dan pernak-pernik berbau bola basket Amerika. Produsen asing mulai gencar menyerbu dunia olahraga Cina sejak awal 2000-an, seiring dengan penyelenggaraan Olimpiade Beijing 2008. Mereka mensponsori tim dan atlet olahraga Cina pada pekan olahraga sejagat itu.

Perusahaan Cina tak mau kalah. Mereka mengambil jurus sebaliknya: mensponsori atlet dunia dari negara lain. Perusahaan apparel Li Ning, misalnya, menjadi sponsor pribadi bagi atlet bola basket NBA, Shaquille O’Neal, pada 2006. Perusahaan sepatu Anta menjadikan petenis putri Serbia, Jelena Jankovic, sebagai ikon mereka. Adapun Xtep mensponsori klub sepak bola Inggris, Birmingham City.

"Cina tetap pasar utama kami," kata Jim Xu, CEO produsen perlengkapan olahraga Peak, yang menjadi mitra turnamen-turnamen tenis putri internasional. "Mensponsori kompetisi olahraga internasional bertujuan menaikkan citra kami di dunia internasional. Pada gilirannya, itu berimbas pada citra kami di dalam negeri." Ini jurus menyerang keluar, menjaring ke dalam.

Sekitar dua dasawarsa lalu, dunia olahraga Cina bak hutan belantara bagi pihak luar: gelap, tapi kerap mengagetkan karena selalu menghasilkan atlet hebat. Sistem pembinaan yang sepenuhnya dalam kontrol negara membuat perkembangan atlet Cina sulit diamati dari luar, termasuk oleh produsen asing yang ingin merambah Cina.

Keterbukaan dimulai pada awal 2000-an. Atlet bola basket Yao Ming menjadi salah satu pioner bagi era itu saat bergabung dengan NBA pada 2002. Selama sembilan musim—sebelum menyatakan pensiun pada bulan lalu akibat cedera berkepanjangan—atlet berbadan menjulang itu berhasil menuai US$ 300 juta dari sponsorship, antara lain Coca-Cola, Visa, dan Reebok. Kedatangan Yao Ming meningkatkan penghasilan NBA sebesar tujuh persen. NBA meraup banyak uang dari kontrak sponsor dengan perusahaan Cina.

Yao memiliki citra menawan: piawai di lapangan, murah hati di yayasan sosial. Dia juga lancar berbahasa Inggris. Daya tarik semacam ini juga ada pada diri Liu Xiang. Dalam Olimpiade Athena 2004, Liu mendulang emas pada lari gawang 110 meter yang menjadi medali emas pertama sepanjang sejarah Cina di cabang atletik Olimpiade. Dia juga berjaya di banyak kompetisi.

Nike, Coca-Cola, Visa, dan banyak merek internasional menjadikan Liu sebagai mata panah mereka untuk membidik Cina pada pertengahan 2000-an. Sialnya, saat Olimpiade diselenggarakan di tanahnya sendiri, 2008, pria yang kini berusia 28 tahun itu justru cedera karena salah posisi start. Toh, para pengiklan tak lari darinya.

Figur Li Na lebih kuat dibanding keduanya—apalagi kini Yao Ming telah pensiun. "Lari gawang (Liu) tak sepopuler lari jarak pendek di atletik, dan bola basket (Yao) populer di Amerika tapi tidak terlalu populer di Eropa," kata Niger Currie, direktur agen pemasaran Brand Rapport. "Adapun tenis (Li) menjangkau seluruh dunia."

Bagi para produsen, Li memiliki nilai kuat pada cabang yang dia geluti dan pada kepribadiannya. Tenis bukan cabang tradisi Cina, semacam bulu tangkis, tenis meja, dan loncat indah. Tenis bahkan belum populer di Cina saat Li masih kuliah, pada awal 2000-an. Sampai sekarang pun penonton Cina menikmati tenis selayaknya menonton sepak bola dengan berteriak-teriak sepanjang permainan, sesuatu yang "tabu" di dunia internasional.

Li juga simbol kebebasan. Dia menyukai hal-hal yang tak lazim bagi masyarakatnya: merajah tato di dadanya, menggonta-ganti warna rambut, kerap tampil mesra dengan suaminya, Jiang Shan. Sang suami adalah mantan rekan sesama atlet tenis. Pada awal tahun ini Jiang sempat menjadi pelatih bagi istrinya selama beberapa bulan. Tapi, karena prestasinya turun, Li "memecat" Jiang sebelum Prancis Terbuka.

Dan Li dianggap berani melawan. Bersama tiga rekan petenis putri, Li menyatakan keluar dari sistem pembinaan negara pada 2008 dan menyatakan diri profesional. Sebelumnya dia harus menyetor 65 persen penghasilannya untuk Federasi Tenis Cina. Sekarang, semua uang menjadi miliknya. Tentu saja, konsekuensinya, dia sendiri yang membiayai seluruh kegiatan tenisnya.

Perempuan bertinggi badan 172 sentimeter ini lancar berbahasa Inggris, gemar melempar humor saat wawancara, dan tak segan merogoh kocek untuk kegiatan amal. Hilang Yao, terbitlah Li sebagai ujung tombak pemasaran produk internasional di Cina. "Dia satu-satunya atlet kami yang kami izinkan memasang logo lain di pakaiannya," kata Terry Rhoads, mantan direktur pemasaran perusahaan apparel asal Amerika, Nike.

Segala sepak terjangnya kini menjadi perhatian publik negaranya. Saat Li mengalahkan petenis Italia, Francesca Schiavone, di final Prancis Terbuka, 116 juta penduduk Cina menyaksikannya dari layar kaca. Dalam penyerahan trofi, dia mengucapkan terima kasih kepada orang tuanya, pelatih dan timnya, juga para sponsornya. Li melupakan satu tradisi lama: mengucapkan terima kasih kepada pemerintah Cina.

Andy Marhaendra (NY Times, AFP, Guardian)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus