Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Maju Tanpa Demam

Atet Wiyono berhasil meraih 2 medali emas dalam Asean Games VIII. Minat masyarakat terhadap tenis belum meningkat karena faktor biaya pelatih, peralatan yang mahal dan minimnya lapangan tenis.(or)

20 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Cirebon, 19 tahun lalu, ketika tenis belum mengangkat harkat atlit Indonesia di gelanggang internasional seorang bocah sudah mulai tergila-gila dengan olahraga ini. Ia bermain di samping rumah dengan menggunakan raket yang terbuat dari papan dan tanpa senar. Bola bekas dipakainya. Atet Wiyono, bocah yang kini 27 tahun, menjadi pemain tenis yang mengantarkan tim Indonesia ke tempat terhormat dalam Asian Games VIII di Bangkok. Dari sana Desember lalu Atet memboyong medali emas bersama Gondowijoyo, Yustejo Tarik, dan Hadiman untuk nomor beregu. Juga ia memperuleh medali emas untuk nomor perorangan Koleksi kontingen Indonesia masih ditambah lagi oleh pasangan Yustejo Tarik/Hadiman. Dari keseluruhan 7 medali emas yang diperebutkan dari lapangan tenis, 3 disabet oleh pemain-pemain Indonesia. Melihat penampilannya yang luar biasa, meraih 2 medali emas, tidak heran kalau Atet dikagumi. Ia bahkan dijuluki lawan: Atet, the magician. Seakan-akan penyunglap dengan pukulannya yang membuat lawan terkecoh. Adakah prestasl dalam AG menggugah minat masyarakat bermain tenis Atet mungkin suatu pengecualian dari bocah yang dijangkiti demam tenis. Jangankan di kampung, di Jakarta saja pun kemenangan tim Indonesia itu belum sanggup mengangkat hasrat orang untuk mengayun raket. Berbeda sewaktu tim Indonesia meraih lagi Piala Thomas di Kuala Lumpur (1970), hampir semua orang keranjingan bulutangkis. "Tenis belum memassal," kata Ketua I Pelti, Sudjono. Belum berakarnya olahraga tenis dimasyarakat, menurut Sudjono, juga disebabkan kurangnya lapangan tenis. Di samping itu, peralatannya pun cukup mahal. Raket yang bernilai sedang saja sekitar Rp 15.000. Bolanya 1 kaleng, berisi 3 buah, sudah Rp 3.000. Belum lagi masalah pelatih. Dengan bulutangkis, orang tak begitu memerlukan pelatih khusus, kecuali bila sudah menyangkut prestasi. Namun pengurus lapangan tenis OK di jalan silang Monas, Jakarta, mengatakan kemenangan tim Indonesia di AG VIII ada pengaruhnya. Sekarang ada sekitar 50 anak sekolah yang berlatih di sana, dibanding dulu hanya 30. "Sekarang lapangan yang terasa kurang," kata Nizarwan dari OK itu. Untuk anak sekolah ini, OK memungut biaya Rp 2.500 per jam, termasuk untuk pelatih, sewa lapangan, dan honor pemungut bola. Untuk umum, Rp 3.500. Minat masyarakat terhadap tenis memang tidak menggelenbung. Tapi bukan berarti cabang olahraga ini tidak berkembang di Indonesia. Pelatih Mien Gondowijoyo mengatakan dalam kejuaraan tenis junior di Malang tahun lalu sedikitnya 800 putera dan puteri ambil bagian. "Jumlah peserta sekian banyak cukup menggembirakan," kata Mien. Tapi, mengapa bibit baru tidak tampak muncul? "Dalam tenis, munculnya seorang pemain baru tak bisa di-targetkan," ujar Sudjono. "ntuk menjadi juara diperlukan waktu yang panjang." Ia menerangkan di dunia tenis, seorang pemain yang berusia 30-an baru dianggap matang. Berbeda dengan renang, di mana usia 23 tahun sudah dianggap tua. Pembibitan? Ny. Gondowijoyo menambahkan "Untuk spesialisasi pukulan saja, sehingga stabil, dibutuhkan waktu bertahun-tahun." Christ Evert atau Tracy Austin, pemain tenis puteri dari Amerika Serikat yang sudah membuat kejutan di Wimbledon pada usia belasan tahun dianggap kekecualian rupanya. Lingkungan keluarga turut menentukan. Umumnya orang yang menjadi juara, nasional maupun internasional, berasal dari kalangan tenis juga. Di keluarga Sugiarto Wiyono, misalnya, sang ayah mewajibkan Atet bermain tenis. Juga demikian pada keluarga Nizarwan, yang membina salah seorang pemain inti dalam tim puteri Indonesia ke AG VIII yaitu Ny. Elfia Tarik. Masih banyak lagi keluarga tenis. Tapi mengapa kita masih saja belurh mampu mengikuti Wimbledon atau rerebutan Piala Davis, misalnya? Apalagi, menurut Mien, dari segi teknik pemain Indonesia tidak kalah. Juga fisik tak begitu menentukan. Buktinya, Atet yang berperawakan kecil sanggup mengalahkan pemain terkuat Jepang, Nishio yang bertubuh besar. "Kita kekurangan sparring partner dari luar negeri," jawah Mien. KONI Pusat menyediakan biaya untuk melakukan lawatan ke berbagal almamen di luar negeri. Namun biaya itu masih sangat terbatas. Para pemain di Eropa tak begitu sulit untuk menimba pengalaman di berbagai turnamen, karena jarak negeri mereka berdekatan. Bagaimana kalau didatangkan saja pelatih asing? "Manfaat pelatih asing itu cuma penyegaran saja," kata Mien. Dengan segala kekurangan, pembibitan tetap berjalan terus. Antara lain di sekolah khusus olahragawan di lagunan, Jakarta. Juga melalui kelompok umur "Perkara pembibitan kita tak perlu cemas," kata Sudjono.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus