DI Cirebon, 19 tahun lalu, ketika tenis belum mengangkat harkat
atlit Indonesia di gelanggang internasional seorang bocah sudah
mulai tergila-gila dengan olahraga ini. Ia bermain di samping
rumah dengan menggunakan raket yang terbuat dari papan dan tanpa
senar. Bola bekas dipakainya.
Atet Wiyono, bocah yang kini 27 tahun, menjadi pemain tenis yang
mengantarkan tim Indonesia ke tempat terhormat dalam Asian Games
VIII di Bangkok. Dari sana Desember lalu Atet memboyong medali
emas bersama Gondowijoyo, Yustejo Tarik, dan Hadiman untuk nomor
beregu. Juga ia memperuleh medali emas untuk nomor perorangan
Koleksi kontingen Indonesia masih ditambah lagi oleh pasangan
Yustejo Tarik/Hadiman. Dari keseluruhan 7 medali emas yang
diperebutkan dari lapangan tenis, 3 disabet oleh pemain-pemain
Indonesia.
Melihat penampilannya yang luar biasa, meraih 2 medali emas,
tidak heran kalau Atet dikagumi. Ia bahkan dijuluki lawan: Atet,
the magician. Seakan-akan penyunglap dengan pukulannya yang
membuat lawan terkecoh.
Adakah prestasl dalam AG menggugah minat masyarakat bermain
tenis Atet mungkin suatu pengecualian dari bocah yang
dijangkiti demam tenis. Jangankan di kampung, di Jakarta saja
pun kemenangan tim Indonesia itu belum sanggup mengangkat hasrat
orang untuk mengayun raket. Berbeda sewaktu tim Indonesia
meraih lagi Piala Thomas di Kuala Lumpur (1970), hampir semua
orang keranjingan bulutangkis. "Tenis belum memassal," kata
Ketua I Pelti, Sudjono.
Belum berakarnya olahraga tenis dimasyarakat, menurut Sudjono,
juga disebabkan kurangnya lapangan tenis. Di samping itu,
peralatannya pun cukup mahal. Raket yang bernilai sedang saja
sekitar Rp 15.000. Bolanya 1 kaleng, berisi 3 buah, sudah Rp
3.000. Belum lagi masalah pelatih. Dengan bulutangkis, orang tak
begitu memerlukan pelatih khusus, kecuali bila sudah menyangkut
prestasi.
Namun pengurus lapangan tenis OK di jalan silang Monas, Jakarta,
mengatakan kemenangan tim Indonesia di AG VIII ada pengaruhnya.
Sekarang ada sekitar 50 anak sekolah yang berlatih di sana,
dibanding dulu hanya 30. "Sekarang lapangan yang terasa kurang,"
kata Nizarwan dari OK itu. Untuk anak sekolah ini, OK memungut
biaya Rp 2.500 per jam, termasuk untuk pelatih, sewa lapangan,
dan honor pemungut bola. Untuk umum, Rp 3.500.
Minat masyarakat terhadap tenis memang tidak menggelenbung.
Tapi bukan berarti cabang olahraga ini tidak berkembang di
Indonesia. Pelatih Mien Gondowijoyo mengatakan dalam kejuaraan
tenis junior di Malang tahun lalu sedikitnya 800 putera dan
puteri ambil bagian. "Jumlah peserta sekian banyak cukup
menggembirakan," kata Mien.
Tapi, mengapa bibit baru tidak tampak muncul? "Dalam tenis,
munculnya seorang pemain baru tak bisa di-targetkan," ujar
Sudjono. "ntuk menjadi juara diperlukan waktu yang panjang." Ia
menerangkan di dunia tenis, seorang pemain yang berusia 30-an
baru dianggap matang. Berbeda dengan renang, di mana usia 23
tahun sudah dianggap tua.
Pembibitan?
Ny. Gondowijoyo menambahkan "Untuk spesialisasi pukulan saja,
sehingga stabil, dibutuhkan waktu bertahun-tahun." Christ Evert
atau Tracy Austin, pemain tenis puteri dari Amerika Serikat yang
sudah membuat kejutan di Wimbledon pada usia belasan tahun
dianggap kekecualian rupanya.
Lingkungan keluarga turut menentukan. Umumnya orang yang menjadi
juara, nasional maupun internasional, berasal dari kalangan
tenis juga. Di keluarga Sugiarto Wiyono, misalnya, sang ayah
mewajibkan Atet bermain tenis. Juga demikian pada keluarga
Nizarwan, yang membina salah seorang pemain inti dalam tim
puteri Indonesia ke AG VIII yaitu Ny. Elfia Tarik. Masih banyak
lagi keluarga tenis.
Tapi mengapa kita masih saja belurh mampu mengikuti Wimbledon
atau rerebutan Piala Davis, misalnya? Apalagi, menurut Mien,
dari segi teknik pemain Indonesia tidak kalah. Juga fisik tak
begitu menentukan. Buktinya, Atet yang berperawakan kecil
sanggup mengalahkan pemain terkuat Jepang, Nishio yang bertubuh
besar. "Kita kekurangan sparring partner dari luar negeri,"
jawah Mien.
KONI Pusat menyediakan biaya untuk melakukan lawatan ke berbagal
almamen di luar negeri. Namun biaya itu masih sangat terbatas.
Para pemain di Eropa tak begitu sulit untuk menimba pengalaman
di berbagai turnamen, karena jarak negeri mereka berdekatan.
Bagaimana kalau didatangkan saja pelatih asing? "Manfaat pelatih
asing itu cuma penyegaran saja," kata Mien.
Dengan segala kekurangan, pembibitan tetap berjalan terus.
Antara lain di sekolah khusus olahragawan di lagunan, Jakarta.
Juga melalui kelompok umur "Perkara pembibitan kita tak perlu
cemas," kata Sudjono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini