KINI hampir tidak terdengar keluhan dari industriawan pakaian
jadi. Berbeda dengan banyak pengusaha lain, adanya Kenop 15
rupanya memberi angin bagi mereka untuk mengekspor. Pasarannya
terbentang mulai Australia, Jepang, Eropa Barat sampai Amerika.
Jumlahnya tidak terbatas. "Kondisi ini betul-betul harus
dimanfaatkan," kata A. Baramuli, Dir-Ut PT Pacific Star yang
memproduksi pakaian jadi jean di Tambun Bekasi.
PT Pacific Star sampai kewalahan menerima pesanan luar negeri.
Harganya pun cukup menarik. "Kita sudah teken kontrak penjualan
sampai Oktober 79," ucapnya. Adanya rangsangan ekspor pakaian
jadi itu juga diakui oleh Frans Seda, bekas Menteri Perhubungan
dan Dubes RI di Brussels, yang kini Komisaris Utama pabrik
pakaian jadi PT Narisa di kawasan Bonded Warehouse Indonesia
(BWI) Tanjung Priok. "Tapi kalau harga-harga di dalam negeri
naik, tidak tahulah nasib kita nanti," kata Seda.
PT Narisa memproduksi baju pria dan wanita serta baju bocah.
Diresmikan 2 hari sebelum keluarnya Kenop 15, Menteri
Perdagangan dan Koperasi Radius Prawiro datang memberi sambutan.
Bahan bakunya berupa tekstil seluruhnya impor karena "tekstil
dalam negeri kurang memenuhi persyaratan untuk konsumen luar
negeri." Menjelaskan bidang usahanya yang baru ini Seda melihat
pembuatan pakaian jadi bukan hanya sekedar jahit menjahit. "Kita
tidak bisa dagang seperti kaki lima: dorong gerobak bawa barang
dan tawarkan, tapi harus mengkaji lebih dulu jalur-jalur
pemasarannya," katanya pada A. Margana dari TEMPO.
Manipulasi Label
Seda maupun Baramuli melihat masa depan ekspor pakaian jadi asal
Indonesia "amat cerah". Indonesia belum terikat pada sistim
kwota seperti yang dialami Singapura misalnya. Namun 1979
menurut Baramuli industri pakaian dalam negeri mau mencoba
mempergunakan tekstil lokal sebagai bahan bakunya. "Jika
berhasil target ekspor pakaian jadi US$ 300 juta pada 1980 akan
tercapai." Kini ekspor pakaian jadi Indonesia termasuk batik
sekitar US$ 30 juta. Suatu jumlah yang belum apa-apa
dibandingkan ekspor pakaian jadi Taiwan dan Hongkong yang
masing-masing sekitar US$ 1 milyar setahun.
Ketidakmampuan Indonesia untuk bersaing menurut Naafii Ketua
GPEI dan direktur dari Poleko Group yarg antara lain memiliki
Pacific Star, dimanfaatkan Singapura. Di antara Asean, Indonesia
masih bebas kwota, sedang Singapura tak punya kwota lagi. Maka
ngara tetangga itu melakukan manipulasi dengan mencantumkan
made in Indonesia pada labelnya untuk diekspor. "Akibat
manipulasi label itu Indonesia dirugikan," kata Seda.
Maka jalan yang bisa ditempuh antara lain "mengalirkan" pakaian
jadi buatan Indonesia ke negara yang telah mengenal made in
Indonesia hasil manipulasi itu. Dewasa ini para produsen pakaian
jadi Indonesia hanya membuat pakaian yang laku di negara sasaran
yang dituju. Untuk labeling mereka menyesuaikan diri dengan
permintaan yang paling besar. Kata Seda "Labeling kita lakukan
di sini sesuai dengan selera pembeli. Tapi membuat disain
sendiri belum berani."
Namun 8 Januari ini, Menperdagkop Radius Prawiro mengeluarkan
peraturan yang melarang labeling ekspor pakaian jadi yang
diproses di BWI. "Itu baik sekali," komentar Frans Seda. Menurut
Seda ada 4 manfaat yang bisa diperoleh dari larangan itu: "lebih
menyehatkan dan meningkatkan industri pakaian jadi di dalam
negeri, meningkatkan nama baik Indonesia di luar negeri dan
menghilangkan penyalahgunaan sertifikat asal Indonesia. Juga
untuk mecegah penggunaan kwota Indonesia oleh negara lain yang
sudah punya kwota, seperti dilakukan Hongkong itu."
Kini Hongkong tidak punya kwota lagi. Tapi industri pakaian jadi
di koloni Inggeris itu terus berproduksi. Belum lama ini duane
Kerajaan Inggeris di London menahan pakaian jadi senilai US$ 19
juta dan mengusut beberapa perusahaan konfeksi di Hongkong.
Pakaian jadi itu memakai cap made in Indonesia dan anehnya
dilindungi sertifikat asal Indonesia. Ada yang menduga
sertifikat itu dipalsukan di Hongkong. "Barangkali cuma kapalnya
lewat pantai Indonesia tapi pakaian jadi itu sendiri dibuat dan
berasal dari Hongkong," kata Seda. Tapi menurut harian Hongkong
Standard pekan lalu, sertifikat asal Indonesia itu diperoleh
eksportir pakaian jadi Honkong dari pejabat Indonesia dengan
hanya mengeluarkan biaya US$ 24 per lusin.
Perputaran modal kerja industri pakaian jadi bisa 5-7 kali
setahun. Kalau misalnya modal yang diperlukan Rp 100 juta maka
omzetnya bisa Rp 500 juta setahun. Ini mungkin dicapai kalau
saja prosedur mendapatkan kredit dan mnekspor barang berjalan
lumayan. " Tapi kalau mental pejabat kita masih tetap seperti
sebelum Kenop 15," ucap bekas Menteri Keuangan Frans Seda,
"ekspor pakaian jadi tidak akan berkembang."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini