Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ditiup Angin Kenop

PT. Pasific Star dan PT. Narisa mengalami perkembangan dalam usaha ekspor pakaian jadi, prospeknya amat cerah tapi belum mampu bersaing dengan taiwan, Hong Kong dan Singapura. (eb)

20 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KINI hampir tidak terdengar keluhan dari industriawan pakaian jadi. Berbeda dengan banyak pengusaha lain, adanya Kenop 15 rupanya memberi angin bagi mereka untuk mengekspor. Pasarannya terbentang mulai Australia, Jepang, Eropa Barat sampai Amerika. Jumlahnya tidak terbatas. "Kondisi ini betul-betul harus dimanfaatkan," kata A. Baramuli, Dir-Ut PT Pacific Star yang memproduksi pakaian jadi jean di Tambun Bekasi. PT Pacific Star sampai kewalahan menerima pesanan luar negeri. Harganya pun cukup menarik. "Kita sudah teken kontrak penjualan sampai Oktober 79," ucapnya. Adanya rangsangan ekspor pakaian jadi itu juga diakui oleh Frans Seda, bekas Menteri Perhubungan dan Dubes RI di Brussels, yang kini Komisaris Utama pabrik pakaian jadi PT Narisa di kawasan Bonded Warehouse Indonesia (BWI) Tanjung Priok. "Tapi kalau harga-harga di dalam negeri naik, tidak tahulah nasib kita nanti," kata Seda. PT Narisa memproduksi baju pria dan wanita serta baju bocah. Diresmikan 2 hari sebelum keluarnya Kenop 15, Menteri Perdagangan dan Koperasi Radius Prawiro datang memberi sambutan. Bahan bakunya berupa tekstil seluruhnya impor karena "tekstil dalam negeri kurang memenuhi persyaratan untuk konsumen luar negeri." Menjelaskan bidang usahanya yang baru ini Seda melihat pembuatan pakaian jadi bukan hanya sekedar jahit menjahit. "Kita tidak bisa dagang seperti kaki lima: dorong gerobak bawa barang dan tawarkan, tapi harus mengkaji lebih dulu jalur-jalur pemasarannya," katanya pada A. Margana dari TEMPO. Manipulasi Label Seda maupun Baramuli melihat masa depan ekspor pakaian jadi asal Indonesia "amat cerah". Indonesia belum terikat pada sistim kwota seperti yang dialami Singapura misalnya. Namun 1979 menurut Baramuli industri pakaian dalam negeri mau mencoba mempergunakan tekstil lokal sebagai bahan bakunya. "Jika berhasil target ekspor pakaian jadi US$ 300 juta pada 1980 akan tercapai." Kini ekspor pakaian jadi Indonesia termasuk batik sekitar US$ 30 juta. Suatu jumlah yang belum apa-apa dibandingkan ekspor pakaian jadi Taiwan dan Hongkong yang masing-masing sekitar US$ 1 milyar setahun. Ketidakmampuan Indonesia untuk bersaing menurut Naafii Ketua GPEI dan direktur dari Poleko Group yarg antara lain memiliki Pacific Star, dimanfaatkan Singapura. Di antara Asean, Indonesia masih bebas kwota, sedang Singapura tak punya kwota lagi. Maka ngara tetangga itu melakukan manipulasi dengan mencantumkan made in Indonesia pada labelnya untuk diekspor. "Akibat manipulasi label itu Indonesia dirugikan," kata Seda. Maka jalan yang bisa ditempuh antara lain "mengalirkan" pakaian jadi buatan Indonesia ke negara yang telah mengenal made in Indonesia hasil manipulasi itu. Dewasa ini para produsen pakaian jadi Indonesia hanya membuat pakaian yang laku di negara sasaran yang dituju. Untuk labeling mereka menyesuaikan diri dengan permintaan yang paling besar. Kata Seda "Labeling kita lakukan di sini sesuai dengan selera pembeli. Tapi membuat disain sendiri belum berani." Namun 8 Januari ini, Menperdagkop Radius Prawiro mengeluarkan peraturan yang melarang labeling ekspor pakaian jadi yang diproses di BWI. "Itu baik sekali," komentar Frans Seda. Menurut Seda ada 4 manfaat yang bisa diperoleh dari larangan itu: "lebih menyehatkan dan meningkatkan industri pakaian jadi di dalam negeri, meningkatkan nama baik Indonesia di luar negeri dan menghilangkan penyalahgunaan sertifikat asal Indonesia. Juga untuk mecegah penggunaan kwota Indonesia oleh negara lain yang sudah punya kwota, seperti dilakukan Hongkong itu." Kini Hongkong tidak punya kwota lagi. Tapi industri pakaian jadi di koloni Inggeris itu terus berproduksi. Belum lama ini duane Kerajaan Inggeris di London menahan pakaian jadi senilai US$ 19 juta dan mengusut beberapa perusahaan konfeksi di Hongkong. Pakaian jadi itu memakai cap made in Indonesia dan anehnya dilindungi sertifikat asal Indonesia. Ada yang menduga sertifikat itu dipalsukan di Hongkong. "Barangkali cuma kapalnya lewat pantai Indonesia tapi pakaian jadi itu sendiri dibuat dan berasal dari Hongkong," kata Seda. Tapi menurut harian Hongkong Standard pekan lalu, sertifikat asal Indonesia itu diperoleh eksportir pakaian jadi Honkong dari pejabat Indonesia dengan hanya mengeluarkan biaya US$ 24 per lusin. Perputaran modal kerja industri pakaian jadi bisa 5-7 kali setahun. Kalau misalnya modal yang diperlukan Rp 100 juta maka omzetnya bisa Rp 500 juta setahun. Ini mungkin dicapai kalau saja prosedur mendapatkan kredit dan mnekspor barang berjalan lumayan. " Tapi kalau mental pejabat kita masih tetap seperti sebelum Kenop 15," ucap bekas Menteri Keuangan Frans Seda, "ekspor pakaian jadi tidak akan berkembang."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus