PROFESINYA tak lagi bakal menyedihkan. Klub non-amatir yang
terhimpun dalam Liga Sepakbola Utama (Galatama) telah meniupkan
angin segar bagi pelatih nasional, Sinyo Aliandu, 39 tahun. Ia
dikontrak oleh klub Tunas Jaya dengan bayaran Rp 400.000 per
bulan mulai Januari ini.
Jika dibandingkan dengan apa yang diterimanya sewaktu melatih
tim nasional, angka penghasilan itu memang sedap. Di PSSI, ia
hanya mendapat honorarium Rp 150.000 per bulan. Maka ia memilih
dunia Galatama. "Melihat prospek yang baik dari Galatama, saya
yakin bahwa orang bisa hidup dari melatih," ujar Sinyo.
Berasal Flores, Sinyo memulai karier di lapangan hijau sejak
kecil. Pada usia 18 tahun, ia menjadi pemain inti bond Perseden,
Denpasar. Tiga musim kemudian, ia digaet oleh Persebaya,
Surabaya. Tahun 1963, ia bergabung dengan Persija, Jakarta, yang
membawanya ke dalam tim nasional. Ia bermain untuk PSSI dari
1964 sampai 1969. Sesudah itu ia mencoba menjadi pelatih.
Pernah dibimbing oleh drg. Endang Witarsa, Mangindaan, almarhum
Tony Poaknik, dan Detmar Kramer, pelatih Federation
Internat10nale de Football Issociation (FIFA) dari Jerman
Barat, ia mengasuh klub Indonesia Muda, Tunas Jaya dan
Jayakarta. Dalam putaran kompetisi Persija (1975-1978), ia
berhasil mengantar Jayakarta ke tangga juara. Dari penanganannya
yang terhitung lumayan di berbagai klub itu Sinyo diangkat pula
untuk melatih Persija dan PSSI. Ia bahkan diberi kepercayaan
untuk mengasuh tim Pra Piala Dunia bersama Tony Pogaknik. Tim
ini kesandung di Singapura. Pebruari 1977, PSSI menempati urutan
ke4 dari 5 peserta Pra Piala Dunia itu, di bawah Hongkong,
Singapura. dan Malaysia.
Sinyo diberi kepercayaan menangani tim nasional bukan hanya
karena pengalamannya di dalam negeri. Ia juga belajar di Sekolah
Pelatih IFA di Kuala Lumpur selama 3 bulan pada tahun 1974. Dua
tahun kemudian, ia berkesempatan pula untuk memperdalam cara
melatih, sekaligus mempelajari manajemen sepakbola profesional
di Inggeris dan Eropa Barat. "Melihat pengalamannya itu, Tunas
Jaya membayar Sinyo selayaknya, kata Beniardi dari pimpinan
klub itu.
Wewenang Besar?
Adakah itu berarti bahwa Tunas Jaya harus menjadi juara
kompetisi Galatama7 "Mereka tidak menentukan demikian," jawab
Sinyo. "Suatu keberhasilan tidak seluruhnya tergantung dari
seorang pelatih. Tapi harus ditopang pula oleh kemampuan, bakat,
kesehatan, dan kehidupan pribadi pemain, serta organisasinya
sendiri."
Jalan untuk mengangkat klub Tunas Jaya bagi Sinyo, ayah dari 3
orang putera, bukan tak lapang. Beniardi sendiri sudah
memikirkan faktor sampingan yang disebut Sinyo tadi. Untuk 21
pemain non-amatir Tunas Jaya, ia kini mengeluarkan biaya Rp 1,25
juta sebulan. "Kalau nanti mereka diasramakan ongkosnya sekitar
Rp 2,5 juta," cerita Beniardi. Gaji pemainnya nanti bergerak
dari Rp 100.000 sampai Rp 150.000 sebulan. Dan mereka akan
digembleng 8 x 2 jam seminggu. Bagi Sinyo pribadi, kontrak
penting sekali. Dia ingin bekerja sesuai dengan hak dan ke
wajibannya. "Saya menyarankan agar masalah teknis di lapangan
diserahkan sepenuhnya seperti pelatih-pelatih di Eropa,"
katanya.
Keinginan untuk mendapat wewenang yang besar sebagai pelatih,
juga menggoda Endang Witarsa, 62 tahur. Tapi -- berbeda dengan
pelatih asuhannya, Sinyo -- Witarsa mengatakan ia tak mau
dibayar atau dikontrak. "Saya hanya ingin mengukur kemampuan
saja. Witarsa kini menggarap klub Warna Agung yang non-amatir.
Di situ dia mendapat peluang besar buat bekerja secar
profesional pula. Ia bisa melatihnya pagi, siang, dan sore hari
selama 5 atau 6 kali seminggu. Sedang di klub amatir seperti
UMS, baginya sulit untuk diterapkan sistim itu. "Paling banter 2
atau 3 kali seminggu, itupun hanya sore hari saja," lanjut
Witarsa. "Sebab mereka harus mencari nafkah pula."
Witarsa mengaku menjalankan praktek sebagai dokter gigi hanya
untuk iseng-iseng. Tapi kenapa menolak untuk mengeduk uang lewat
kepandaian melatih? "Kalau semua pelatih menjadi profesional,
klub-klub sepakbola bisa bangkrut, dong," alasannya. Ketika di
PSSI ia hanya mau menerima uang saku bila ke luar negeri saja --
$ 5 sehari -- sama dengan pemain.
Pensiunan dosen Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
ini mengawali kecintaan pada sepakbola sebagai pemain di Malang.
Kemudian ia main di Surabaya sambil kuliah di FKG. Ia lupa dalam
klub apa ia bergabung. "Yang pasti, saya adalah pemain
gelandang," kata Witarsa yang berjodoh dengan teman sekuliahnya,
drg. Kartika. Endang ini mengaku memetik nama Witarsa dari bekas
pemain Persib, Bandung, Aang Witarsa -- orang Sunda asli.
Warna Agung yang ditanganinya itu mengeluarkan Rp 7 juta untuk
biaya rutin setiap bulannya. "Kalau bukan orang yang gila bola,
mana mungkin mau mengeluarkan uang sebanyak itu," kata Endang.
Di situ, wewenangnya terbatas. Dalam mengambil keputusan penting
menghadapi suatu pertandingan, katanya, "Saya harus selalu
berunding dengan 2 orang pelatih lainnya."
Rahasia
Dengan adanya sistim kontrak, baik untuk pelatih maupun pemain
di Galatama, persaingan untuk memberikan gaji pun ikut naik.
Tapi tak semua klub terbuka membicarakan soal ini. "Itu rahasia.
Pokoknya, cukup," kata pimpinan Perkesa, Acub Zainal ketika
ditanya berapa honor pelatihnya, Chairudin Siregar maupun
pemainnya.
Pokoknya, Galatama menarik minat banyak pelatih. Juga Maryoso,
pelatih Persiraja dari Banda Aceh kelihatan ingin bergabung
dengan klub-klub Galatama. "Cuma belum ada tawaran," katanya.
Namun dia berharap segera kembali ke Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini