Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEL ronde ke-7 berdentang. Semestinya, kedua petinju langsung fight. Bernard Hopkins pun bersiap. Namun, melihat lawannya masih terduduk di sudut ringnya, dia malah melakukan push-up. Ian John-Lewis, si wasit gundul, pun tak bisa melarang. Hanya bisa mesem-mesem melihat tingkah petinju asal Philadelphia itu. Penonton pun bersorak girang.
Semata untuk hiburan? Bukan. Ini adalah provokasi nan gemilang. Bukan semata kepada lawannya, Jean Pascal, petinju tuan rumah Kanada, tapi juga kepada semua mata yang menyaksikannya di seluruh dunia. Termasuk para petaruh untuk segera memindahkan dukungannya pada dia. Biarpun renta, dia belumlah habis.
Umur Hopkins sudah tidak muda lagi. Saat naik ring dua pekan silam di Montreal, Kanada, usianya menclok di angka 46 tahun, 4 bulan, dan 6 hari. Uzur, bahkan boleh dikata mustahil untuk bertanding di olahraga keras seperti tinju. Sebaliknya, Pascal sedang lucu-lucunya alias berada di usia emas, kata orang, yakni baru 28 tahun.
Namun hitungan teori tak berlaku di atas ring. Sampai di ronde penghabisan, Hopkins pun masih perkasa. Tenaganya memang terkuras tapi banyak pukulannya yang bersih mampir ke lawannya. Beberapa kali anak muda itu malah sempoyongan kena tonjok.
Kemenangan angka mutlak jadi miliknya. Hopkins pun mencatatkan rekor baru: menjadi juara tinju dunia melampaui rekor George Foreman, saat menggebuk Michael Moorer sampai nyusruk ke kanvas pada 1994. Saat itu Foreman berusia 45 tahun, 10 bulan.
Nah, dibanding Foreman, Si Jagal—julukan Hopkins—punya selisih 192 hari lebih tua. ”Kemenangan ini membuktikan bahwa saya bukanlah sekadar paling tua di ring tapi di seluruh olahraga.”
Inilah keanehan olahraga. Pada saat persaingan makin kuat, ternyata para old crack masih mendapatkan tempat. Di ajang bisbol, mereka yang berkepala 4 masih hilir-mudik. Pun di sepak bola. Semisal Edwin van der Sar yang masih menjaga gawang Manchester United saat usianya melewati 40, pada musim ini. Saat jumlah pemain kian banyak, toh dia tak tergantikan.
Begitu juga dengan tinju. Bedanya, di sini kebanyakan dari mereka yang mampu bertahan dibantu oleh faktor keinginan untuk kembali. Mereka yang lebih dulu pensiun rela kembali adu jotos. Pertimbangannya apa lagi kalau bukan uang.
Tatkala ring tinju tidak segemuruh seperti yang terjadi pada 1970-an dan 1980-an yang dipenuhi talenta bagus, para promotor mencari ladang uang baru. Cara paling gampang adalah dengan merayu petinju yang punya cap legendaris untuk kembali turun gelanggang.
Tawaran yang menyenangkan. Pasalnya, tak semua bekas juara dunia bagus ekonominya. Setelah gantung sarung tinju, mereka yang kurang beruntung habis kekayaannya. Alhasil, pertandingan dengan kemasan rematch menjadi sesuatu yang sayang dilewatkan.
Tentu semua itu tidaklah mudah. Bagaimanapun, untuk kembali, mereka harus memulainya dari nol, yakni harus bertarung dari ring ke ring lagi. Umumnya, dengan bekal pengalaman, mereka dengan mudah sampai ke puncak untuk menantang sang juara. George Foreman adalah salah satu yang berhasil. Fisiknya masih kuat. Dia pun beroleh berkah dari kembalinya ke ring tinju.
Namun yang gagal juga tidak sedikit. Misalnya Si Mulut Besar Muhammad Ali. Setelah kalah oleh Larry Holmes, pada 1979, Ali berusaha naik ring lagi. Semua orang bilang dia sudah habis. Namun kepala Ali berisi batu, dia meyakinkan Angelo Dundee untuk ikut dalam timnya. Dundee menolak. Ibarat peluru, petinju itu tinggal selongsongnya saja. Mesiunya sudah habis. Belakangan Ali terkena sindrom Parkinson.
Nasib buruk juga menimpa Greg Page, bekas juara dunia yang kembali naik ring. Salah satu pendorongnya, dia sudah tidak punya uang lagi. Setelah muncul lagi, dia berhasil menang dalam beberapa pertandingan, salah satunya dengan Tim Witherspoon. Namun kariernya tak beranjak bagus. Malah di usia 40 dia terpaksa naik ring karena kehabisan uang. Bukan dolar yang didapat, dia malah divonis kena berbagai penyakit yang kebanyakan buah dari kegiatan adu jotos di atas ring.
Nah, berbeda dengan Si Jagal. Perjalanan kariernya boleh dikata tanpa jeda. Meski memulai karier agak terlambat, yakni pada usia 23 tahun, dia bisa menjalani pertarungan demi pertarungan secara konsisten.
Masa muda Hopkins memang kelam. Pada usia 17 tahun, dia harus menempuh hidup di dalam bui selama lima tahun akibat terlibat dalam sebuah perampokan. Tapi justru di penjara ia menemukan rumahnya. Di sana kebengalannya tersalurkan dalam olahraga tinju.
Di sana pula dia mendapatkan gaya bertinju khas Philadelphia pada 1950-an. Gaya bertinju ini adalah menghindari semua pukulan lawan dengan cara memperkuat pertahanan dengan double cover yang rapat. Kepalan tangan lawan pun sulit tembus.
Sedangkan untuk menyerang, gaya bertinju ini lumayan licik. Saat menyerang, dia menggunakan semua taktik. Menginjak kaki lawan atau mengajak sikut ikut serta menyerang. Trik licik ini biasanya diakhiri meminta maaf kepada lawannya. Di luar soal teknik, di penjara pula dia menemukan kedisiplinan yang tak pernah ditemuinya di luar sana.
Bekal sempurna untuk masuk ring. Pengalaman hidup yang keras membuatnya tak pantang menyerah. Saat keluar dari penjara, hidupnya pun berubah. Dia sungguh-sungguh menjadi atlet dan terjun menjadi petinju profesional. Lima tahun pertama kariernya melaju deras, sampai akhirnya dia tumbang di tangan Roy Jones, juara IBF kala itu.
Namun dia bangkit. Di kelas menengah dia menjadi jagoan dengan merebut empat gelar dari empat federasi tinju berbeda. Total dia pernah mempertahankan gelar selama 20 kali pertandingan. Sesungguhnya dia sempat berpikir untuk mengakhiri kariernya. ”Saya pernah berjanji kepada Ibu untuk tidak lagi bertinju saat berusia 40 tahun,” katanya. Namun janji tinggal janji. Dia pun terus adu pukul dengan lawan-lawannya.
Tentu banyak yang penasaran dengan cara dia menjaga staminanya itu. ”Saya tidak minum pil kesehatan itu.” Lagi-lagi penjara memberikan pelajaran baginya. Wajah boleh bengis, tapi dia hidup dengan teratur. Tiap malam, dia tidur pukul sembilan. Rokok dan alkohol adalah musuh dalam hidupnya. Daging merah, apalagi junk food juga dia haramkan. ”Tapi kalau daging ikan saya sangat senang. Intinya, saya tidak pernah mengkonsumsi makanan yang dapat merusak tubuh,” katanya.
Setiap pagi dia menghabiskan waktu berlari di seputar rumahnya. Ketaatannya itu pula yang membuat lingkar pinggangnya tak pernah beranjak dari angka 30 inci, persis seperti mereka yang berusia di bawah 30 tahun.
Sabuk juara dunia kelas berat ringan masih terasa hangat melilit di pinggangnya. Namun sepertinya kepuasannya belum juga tuntas. Keinginannya hanya satu, yakni memperpanjang rekornya sebagai juara tertua selama mungkin. ”Paling tidak saya bisa bertanding hingga usia 50 tahun.”
Irfan Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo