BRASIL memang hebat. Setidak-tidaknya, pada penampilan perdananya Minggu malam lalu atau Senin dini hari waktu Indonesia Barat. Bermain di Turino, sebuah kota indah di Italia, tim samba ini menundukkan Swedia 2-1. Orang terkesima dengan permainan sepak bola menyerang yang mereka per-agakan. Tim inikah yang akan jadi juara Piala Dunia 1990? Ah, sebaiknya jangan main tebak. Dan memang sulit meramal. Sepak bola merupakan permainan tim yang dipengaruhi berbagai faktor yang kompleks. Tim yang gemilang di awal kejuaraan, seperti Brasil dan Denmark pada Piala Dunia 1986 Meksiko, ternyata, bisa terjungkal sebelum sampai di semifinal. Seba- liknya, tim yang pada awalnya kurang mengesankan, belakangan malah jadi juara. Misalnya Italia yang sempat ditahan tim lemah Kamerun di pertandingan awal Piala Dunia Spanyol (1982), atau Argentina yang tampil mengecewakan dan lolos ke semifinal hanya karena Peru main sabun --- mengalah 0-6 pada tuan rumah Argentina -- pada Piala Dunia 1978. Namun, meramal dan menebak-nebak hasil akhir Piala Dunia punya keasyikan tersendiri. Itu pula yang jadi topik diskusi di TEMPO, Jumat pekan lalu, yang dihadiri tiga pakar bola Indonesia -- Sinyo Alian-doe, Eddy Sofyan, dan Dali Tahir. Sinyo, pelatih sepak bola yang menangani tim Pra Piala Dunia Indonesia pada 1986, menjagokan Brasil. "Dari dulu saya memang menyenangi Brasil, tapi bukan itu sebabnya sekarang saya menjagokan tirn itu," ujar Sinyo, 50 tahun. Kebetulan Sinyo pernah belajar sepak bola beberapa bulan di Brasil, salah satu kiblat sepak bola dunia saat ini. Memang, Sinyo mengakui materi pemain Brasil yang diterjunkan ke Italia tak sebaik tim yang berlaga di Piala Dunia, baik Spanyol maupun Meksiko. Secara tim pun kelas Brasil tak di atas favorit juara lainnya seperti tuan rumah Italia, Jerman Barat Belanda, atau Argentina. Jadi, kenapa Sinyo menjagokan Brasil? "Kalau saya bandingkan dengan tim favorit lainnya, masih ada sedikit kelebihan Brasil terutama dalam menyerang," jawab Sinyo. Menurut pelatih sepak bola yang paling disegani ini, Brasil punya bermacam variasi serangan yang penuh dengan surprise yang sulit dibaca lawan. Permainan yang disebutkan Sinyo Aliandoe itulah yang diperagakan para pemain Brasil saat mereka menaklukkan Swedia: dari bawah bola dialirkan begitu cepat, tahu-tahu sudah mengancam jantung pertahanan lawan. Terkadang dengan operan bola jarak jauh, tiba-tiba berganti operan pendek menyisir tanah, atau operan-operan cepat satu sentuhan -- tik-tak yang arahnya sulit ditebak lawan. Satu lagi yang penting pada tim Brasil kali ini, menurut Sinyo, mereka asyik memainkan sepak bola menyerang (attac- king football), tapi tak lupa pada pertahanan. Pemain lini belakang mereka seperti Ricardo Gomes, Jorginho, Valdo, dan Silas sangat ketat menjaga daerahnya. Kelas mereka pun tak kalah dibandingkan dengan pemain-pemain di lini tengah atau depan seperti Careca, Muller, Bebeto, dan Alemao. Ini suatu perubahan drastis pada corak permainan tim ini yang dikenal selalu keasyikan dalam menyerang, tapi melupa- kan pertahanan. Menurut Sinyo, yang menyebabkan Brasil gagal di Piala Dunia Spanyol dan Meksiko karena lemahnya pertahanan. Kini tidak. "Pelatih Lazaroni menyadari kelemahan itu. Makanya, ia mementingkan pertahanan selain tetap menampilkan sepak bola menyerang," kata Aliandoe. Lain Sinyo, lain Eddy Sofyan. Bekas pelatih PSSI Garuda yang kini menjadi komentator sepak bola di TVRI ini meragukan tim yang dijagokan Aliandoe. Sebagai pelatih yang pernah empat bulan belajar bola di Brasil, Eddy cukup mengenal karakter dan ciri-ciri para pemain Brasil yang betul-betul profesional. Eddy kagum pada cepatnya tim berkostum kuning itu menyusun pasukan yang tangguh setelah gagal di Meksiko. Pemain-pemain tua sisa tim Piala Dunia empat tahun yang silam disingkirkan, diganti para pemain baru -- rata-rata di bawah 29 tahun, usia produktif seorang pemain kelas dunia -- kecuali beberapa seperti Careca, Muller, Alemao. Setelah merebut Copa de America, menurut pengamatan Eddy, grafik permainan Brasil cenderung menurun secara perlahan, sampai menjelang Piala Dunia Italia ini. "Apa karena persiapan tim ini kurang matang atau karena pemainnya yang kebanyakan bermain di Eropa sulit dikumpulkan, saya kurang jelas," kata Eddy. Dari 22 pemain yang dipanggil Lazaroni, 11 di antaranya bermain di Italia, Prancis, dan Portugal. Ganjalan lainnya, dua pemain inti, Romario Faria dan Bebeto, beberapa waktu yang lalu cedera. Dalam pertandingan pertama Brasil melawan Swedia itu, Romario tak dicantumkan namanya, sedang Bebeto cuma duduk di bangku cadangan. Bagi Eddy Sofyan, problem kedua pemain kunci itu bukan cuma cedera. Eddy mengamati penampilan keduanya memang rada turun kemampuannya. Bebeto, yang semula didengung-dengungkan sebagai calon pengganti Pele yang legendaris itu, belakangan meragukan pelatih Lazaroni walaupun akhirnya ia dipanggil masuk tim nasional dan berangkat ke Italia. Penampilan Brasil yang paling mengenaskan tentulah ketika juara dunia tiga kali ini ditaklukkan 1-0 oleh Umbria, tim anak bawang dari divisi III Italia, dalam sebuah uji coba cuma sembilan hari menjelang Piala Dunia dimulai Eddy Sofyan setuju kalau pertandingan uji coba tak bisa dijadikan ukuran kekuatan sebuah tim. Tapi Dali Tahir yang juga tak sependapat dengan Sinyo Aliandoe tentang keampuhan kesebelasan negeri samba itu, berkata, "Untuk sebuah tim raksasa seperti Brasil kekalahan itu kan memalukan. Kalau tidak Brasil, lantas siapa, dong? Eddy Sofyan pegang dua tim: Argentina dan Belanda. Semula ia lebih menjagokan Belanda yang bertaburan bintang itu. Ada Ruud Gullit, Marco van Basten, Ronald Koeman, dan Frank Rijkaard. Tapi setelah Gullit cedera Eddy cenderung lebih menjagokan Argentina. Eddy melihat bahwa dekade ini sampai tahun 2000 adalah era Maradona yang kini berusia 29 tahun. "Ia punya motivasi besar untuk membawa Argentina menjadi juara Piala Dunia tiga kali," katanya. Motivasinya itu akan mampu mengangkat permainan teman-temannya. Dominannya peran Maradona terus-terang diakuinya. "Argentina jadi juara di Meksiko, 80% karena peran Maradona," kata Eddy, yang juga komentator sepak bola di Radio Bahana, Jakarta. Namun, Eddy pun setuju bahwa tanpa Maradona, Argentina akan jadi macam ompong. Tapi, melihat penampilan maha bintang itu selama ini ia yakin Maradona sulit "dimatikan" lawan. "Dari catatan yang ada Maradona juga jarang cedera itu karena keterampilannya mengelakkan sergapan lawan," kata Eddy. Sinyo dan Dali Tahir dengan sengit menyerang Argentina -- catat, diskusi ini sebelum Maradona dkk, dikalahkan tim lemah Kamerun. Keduanya berpendapat, dominannya Maradona dalam tim membuat Argentina amat rawan. "Apalagi Maradona sampai turut campur urusan-urusan yang semestinya wewenang pelatih Carlos Bilardo," kata Sinyo. Sinyo memberi contoh bagaimana Bilardo tak memanggil Jorge Valdano (pemain yang mengesankan dalam Piala Dunia Meksiko) ke dalam timnya karena pengaruh Maradona. "Kalau pemain turut campur seperti ini, berbahaya," katanya. Tapi, Eddy Sofyan tak peduli. "Menjelang Piala Dunia Meksiko tak ada yang menjagokan Argentina. Yang difavoritkan ketika itu. Brasil, Jerman Barat, dan tuan rumah. Nyatanya, Argentina, yang pada penampilan awal kurang bagus, jadi juara," jawab Eddy. Dan setelah Argentina dikalahkan Kamerun, Eddy pun tetap tak perlu khawatir akan jagonya. Dali Tahir percaya tradisi: selama tiga belas kali Piala Dunia berlangsung, tim Eropa tak pernah jadi juara ketika kompetisi akbar itu berlangsung di benua Amerika. Begitu pula sebaliknya, tim Amerika tak pernah juara jika Piala Dunia berlangsung di Eropa. Kecuali pada 1958, Brasil jadi juara ketika Piala Dunia itu diadakan di Swedia. Selain itu, kata Dali, menurut statistik tim tuan rumah cukup sering jadi juara -- lima dari 13 kali Piala Dunia dijuarai tuan rumah. Jadi, biarpun bumi gonjang-ganjing dan orang mogok makan pizza, Dali menjagokan tuan rumah Italia. Lalu, Dali menunjukkan bagaimana Argentina di grup B harus bertanding di Milan, Padahal markas Maradona selama ini adalah Napoli, klub yang amat dibenci orang Milan selaku pendukung AC Milan atau Inter Milan, musuh bebuyutan Napoli. Dengan demikian, menurut Dali, Maradona dan timnya Argentina bukan cuma bertanding dengan kesebelasan lawan, tapi juga harus berhadapan dengan publik Milan, Dan kenyataan itu memang terjadi, Jumat malam pekan lalu. Penonton mengejek ketika, Maradona mendapat bola, sementara bertepuk ketika bola jatuh di pemain Kamerun. Namun, Dali tak cuma menyebut "kecurangan" tuan rumah. Ia juga jujur mengatakan bahwa Italia kini merupakan tim yang paling sempurna. "Salut untuk pelatihnya, Azeglio Vicini," kata komentator sepak bola di RCTI ini. Dengan lancar Dali menguraikan betapa di semua lini, Italia punya pemain kelas atas dunia yang tak kalah dengan pemain mana pun. Di bawah mistar gawang, misalnya, Walter Zenga adalah kiper terbaik saat ini sekalipun pengamat lain menyebutkan penjaga gawang Inggris Peter Shilton atau kiper Uni Soviet Renat Desayev adalah yang terbaik. Di depan Zenga, di lini belakang, ada sejumlah pemain andal seperti Paolo Maldini, Luigi de Agostini, dan Giuseppe Bergomi, pemain senior yang sudah memperkuat Italia ketika menjadi juara Piala Dunia Spanyol 1982. Jangan lupa masih ada Franco Baresi, yang oleh banyak pengamat disebut sebagai libero terbaik dunia saat ini. Di lini tengah, Italia punya Roberto Donadoni, Carlo Anceloti, Giuseppe Giannini, Fernando de Napoli, Ricardo Ferri, Nicola Berti, dan Roberto Baggio -- nama terakhir ini merupakan pemain termahal dunia sekarang. Di lini depan bisa disebut nama Gianluca Vialli, Aldo Serena, Carnevalle dan Schillaci -- pencetak gol kemenangan Italia ketika menaklukkan Austria 1-0, pekan lalu. Kritik yang banyak dilancarkan pengamat -- termasuk Sinyo Aliandoe -- pada tumpulnya pemain depan Italia karena gerakan-gerakan mereka yang monoton dan mudah dibaca lawan, tak jadi soal bagi Dali. "Materi tim Italia sekarang lebih baik dibandingkan ketika mereka jadi juara di Spanyol delapan tahun yang lalu," ujar pengusaha yang pernah menetap empat tahun di Italia itu. Nah, tiga pengamat telah bicara. Tiga ramalan yang berbeda muncul dari mereka. Padahal, mungkin saja tak satu pun ramalan itu jadi kenyataan. Soalnya, masih banyak tim lain yang juga punya kans besar untuk jadi juara, seperti Jerman Barat yang sudah membuktikan bagus dengan mengalahkan Yugoslavia 4-1. Atau Belanda, si juara Eropa. Atau boleh jadi Uruguay, finalis Copa de America itu. Dengan bintang-bintang seperti Enzo Francescoli dan Ruben Sosa, Uruguay cuma dikalahkan satu gol oleh Brasil dalam final Piala Amerika yang berlangsung di kandang Brasil, tahun lalu. Rata-rata pemain Uruguay punya pengalaman internasional. Coba, dari 22 pemain Piala Dunia Uruguay, 15 direkrut klub-klub Eropa dan Amerika Latin lainnya. Selain itu, bisa saja muncul kuda hitam seperti Rumania yang sudah mempecundangi Uni Soviet dua gol tanpa balas. Memang penuh kejutan. Kosta Rika, yang dianggap lemah, eh, meniru Kamerun. memenangkan pertandingan melawan Skotlandia 1-0. Jadi, sulit betul menebak-nebak. Amran Nasution.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini