JIKA Anda tak suka sepak bola, saatnya kini Anda menyepi, misalnya, ke hutan. Jangan dengar radio, jangan baca koran atau maja~lah. Mungkin tak perlu menegur seseorang, siapa tahu yang ditegur balik bertanya: siapa yang menang? Gila! Siapakah yang bisa menghindarkan diri dari berita-berita sepak bola saat ini? Luar biasa. Barang bundar dari kulit itu mampu menyihir ratusan juta penduduk dunia, dari yang tinggal di kampung-kampung kumuh sampai penghuni rumah gedongan. Busyet! Jutaan orang di belahan timur, misalnya di Indonesia ini, dibuat terkantuk-kantuk siang hari karena bergadang sampai dini hari di depan layar televisi. Presiden Costa Rica Rafael Angel Calderon sampai-sampai mengeluarkan dekrit yang membolehkan pegawai negeri di negaranya pulang kantor lebih awal dua jam dari biasanya untuk menyaksikan pertandingan Piala Dunia 1990 ini. Perang saudara di Beirut, alhamdulillah, juga tiba-tiba terhenti. Tanpa lewat meja perundingan, gencatan senjata diberlakllkan. Untuk sementara aroma mesiu men~hilang. Tak ada lagi suara dar-der-dor berondongan senjata otomatis. Yang adc cuma sorak-sorai penonton di depan televisi menyaksikan jalannya Piala Dunia Italia. Pantas rasanya kalau Presiden FIFA Joao Havelange diajukan sebagai kandidat penerima hadiah Nobel Perdamaian. Ya. kenapa tidak? Bola telah mampu menyumbat lubang-lubang senjata yang membunuh umat manusia. Sampai pertengahan Juli nanti, hampir tak ada obrolan yang tanpa diselingi berinl bola. Apakah itu ketakjuban, kekecewaan, umpatan, atau pujian. Permainan ini menulng penuh kejutan, penuh ketidakpastian. Orang boleh meramal di atas kertas, tf~tapi lapangan hijau menjungkirbalikkan ramalan itu. Siapakah yang sebelumnya meramal tim Argentina, sang juara bertahan, bisa kalah dari tim Kamerun, sang underdog? Kamerun, sebuah negeri berpenduduk 10,8 juta di Afrika itu, menundukkan Argentina satu negeri di Amerika Latin yang sejarah bolanya demikian memukau, yang penduduknya empat kali lebih banyak. Piala Dunia 1990 yang digelar di Italia sudah diawali dengan kejutan pada pembukaannya, Jumat pekan lalu, ketika pemain Kamerun, Emile Belmont M'Bouh, men~endang bola ke arah gawang Argentina yang dijaga kiper kawakan Nery Pumpido. Umpan melambung M'Bouh ini dimanfaatk~m begitu bagus oleh Francois Omam Biyik dengan sundulan kepalanya. Goool. Tepuk sorak membahana. Gol Kamerun itu justru terjadi pada saat ia bermain dengan sepuluh orang, setelah Andre Kana Biyik dikeluarkan wasit asal Prancis, Michel Vautrot, karena memakan pemain Argentina, Claudio Caniggia. Pada menit menit terakhir bahkan Kamerun bermain dengan sembilan orang. Satu lagi pemain yang dikeluarkan wasit adalah Benyamin Massing. Kekalahan tragis Argentina ini membuat air mata Presiden Carlos Menem berlelehan. Ia tak kuasa lagi menahan tangisnya begitu peluit panjang ditiup oleh wasit Michele Vautrot, tanda berakhirnya pertandingan Argentina vs Kamerun dengan skor 0-1. Sebaliknya, Presiden Kamerun Paul Biya, yang juga duduk di bangku VIP Stadion Giuseppe Meazza, tak jauh dari Carlos Menem, wajahnya tampak berseri-seri. Bertubi-tubi ia menerima uluran jabat-tangan dari tokoh-tokoh penting yang juga ikut menjejali stadion mewah yang mampu menampung sekitar 80.000 penonton itu. Di antara yang hadir tampak Presiden Brasil Fernando Collor De Mello, Presiden Italia Francesco Cossiga, PM Italia Giulio Andreotti, Ketua Senat Italia Giovanni Spadolini. Tentu saja di kursi VIP itu ada Presiden FIFA Joao Havelange. Kamerun, yang terletak di pantai barat Afrika itu, terhitung masih kencur sebagai sebuah negeri. Negeri ini baru merdeka dari jajahan Prancis di tahun 1960. Dan pada tahun itu pula Federation Camerounaise de Football (FCF) -- semacam PSSI-nya Kamerun -- berdiri. FCF kini memayungi 203 klub dan sekitar 10.000 pemain sepak bola. Lawan yang ditaklukkannya, Argentina, punya tradisi sepak bola lebih panjang. Asociaeion del Futbol Argentino sudah berdiri hampir seratus tahun yang lalu, tepatnya 1893. Negeri Latin yang berpenduduk 37,9 juta jiwa itu memiliki lebih dari 3.000 klub dengan lebih dari 300.000 pemain sepak bola yang terdaftar. Dari data ini tak heran kalau pasar taruhan di Inggris, misalnya, hanya mengunggulkan Kamerun 250 banding 1. Sedangkan Argentina 8 banding 1 peluangnya untuk menjuarai turnamen ini. Belum jelas bagaimana posisi pasar taruhan di Jakarta -- yang kabarnya tak kalah gencarnya. Namun, sebagai pembanding bagaimana "tidak populernya" Kamerun, bisa dicatat dari data kuis yang masuk di radio Sonora dan Bahana, semuanya di Jakarta. Di Sonora, dari 700 lebih kuis yang masuk, hanya dua orang yang memegang Kamerun, sementara di radio Bahana hanya satu orang yang memenangkan kuis dari sekitar 150 penebak. Tapi kemenangan Kamerun tak lepas dari cacat. Tim asuhan pelatih asal Soviet, Valeri Nepomniachi, itu dituding telah memperagakan permainan neb~ative Jootball alias kasar. Dua pemain Kamerun diusir Vautrot dari lapangan. Wasit itu juga merogoh empat kartu kuning: tiga untuk pemain Kamerun, dan satu buat pemain Argentina. Maradona tercatat 13 kali diganjal keras selama pertandingan. Ini memecahkan rekor empat tahun yang lalu, tatkala pemain terkaya di dunia itu sempat digasak 11 kali ketika Argentina berjumpa dengan Korea Selatan di Piala Dunia Meksiko 1986. Kemenangan Kamerun akhirnya dibayar mahal. Pemain Kamerun kini harus bersiap-siap merogoh koceknya. Soa~lnya, sesuai dengan ketentuan FIFA yang baru, setiap pemain yang kena kartu merah akan didenda US$ 10.000. Dan yang terkena dua kali kartu kuning didenda US$ 5.000. Padahal, sebelum pertandingan dimulai. para pemain Kamerun cuma diiming-imingi bonus US$ 15.000 kalau mampu men~enangkan pertandingan. Atau cuma seper~puluh penghasilan tetap Maradona yang menerima US$ 150.000/bulan - di ~luar bonus dan promosi. Boleh jadi pemerintahan Presiden Paul Biya akan ketiban pulu~ng menanggung sanksi denda FIFA. Setelah kekalahan Maradona dan kawan-kawannya itu, tentu tak cuma Carlos Menem yang berduka. Seluruh rakyat Argentina juga dirundung sedih --walau timnya masih punya kesempatan dua kali bertanding untuk lolos ke babak berikutnya. Itulah tradisi Piala Dunia yang selalu menghadirkan kejutan-kejutan besar. Di Piala. Dunia Brasil ~1950, tim Amerika Serikat juga hikin gempar ketika membungkam Inggris 1-0. Banyak pengamat yang tak pernah menduga bahwa Inggris, yang mengklaim sebagai tempat lahirnya permainan sepak bola. bisa dikalahkan oleh negeri yang masyarakatnya - sampai sekarang pun boleh dibilang tak kenal akrab dengan olahraga menendang bola itu. Gol AS itu juga dicetak lewat sundulan kepala oleh Joe Gaetjens, imigran kelahiran Haiti. Sampai-sampai wartawan AS sendiri tak percaya tatkala menerima berita kawat dari Rio de Janeiro. Mereka mengira skor pertandingan 0-1 itu salah tulis dari seharusnya 10-1 buat Inggris. Sepak bola, dengan segala kejutan itu akhirnya memang punya daya tarik yang magis. Karena itu, ada julukan klise tapi tetap saja suka diucapkan orang: "Bola itu bundar, Bung." Dan kini terulang, kejutan demi kejutan. Kamerun mengalahkan Argentina. Rumania, yang baru saja diguncang revolusi, mengalahkan Uni Soviet di Bari, dengan skor 2-0. Kosta Rika, yang dianggap lemah, mengalahkan Skotlandia 1-0. Gol-gol di berbagai kota di Negeri Spageti ini akan masih banyak ~terjadi. Di sanalah pesona dari 528 pemain, yang mewakili 24 tim terbaik di dunia, seolah menjadi magnet buat warga bumi. Mereka berlaga dalam 52 pertandingan yang berlangsung selama satu bulan penuh. Klimaksnya adalah final yang dijadwalkan pada 8 Juli 1990 mendatang di Roma. Di situlah dikukuhkan sang juara, numero uno. Sebuah piala seberat 5 kg dilapis emas 18 karat bakal diacung-acungkan oleh kapten tim yang menang. Sepak bola memang fenomena aneh. Ada aspek ritual buat pemain yang berada di atas lapangan hijau. Ada aspek hurahura, dan juga terkadang semangat brutal, buat penonton. Ada aspek ~snis buat sipenyelenggara. Dan ada aspek gengsi buat sebuah bangsa. Kali ini, Italia menambah satu aspek lagi: mode. Pada pembukaan pesta itu digelar berbagai hasil rancangan desainer Italia. Perancang ternama yang bertahun-tahun tinggal di Paris, Valentino Garavani, 58 tahun - rancangannya biasa dipakai oleh first lady tingkat dunia - merancang busana serba merah untuk mewakili Benua Amerika. Disusul barisan peragawati yang mengenakan busana hitam hasil rancangan Ottavio Missoni, yang semasa mudanya adalah seorang atlet. Ini mewakili Benua Afrika. Asia diwakili barisan peragawati berbusana kuning. Perancangnya Milla Schoen, yang hasil karyanya banyak dibeli artis-artis terkenal. Terakhir adalah pergelaran busana yang mewakili Benua Eropa dengan pakaian yang memperlihatkan kemulusan tubuh - serba terbuka. Perancangnya Giancario Ferre, kelahiran Milan 1944, yang belakangan ini dikontrak rumah mode Christian Dior di Paris. Miracolo. Sebuah mukjizat, begitulah. Kota Milan di pegunungan yang indah itu diguyur hujan lebat selama empat jam, tetapi begitu pesta bola akan dibuka, langit pun cerah. Ramalan cuaca menyimpang, hujan - yang "dijadwalkan" tetap berlangsung sampai acara pembukaan - tidak terjadi. Mendung hanya numpang lewat, seperti halnya 150 peragawati tadi, yang bergerak di bawah arahan Pietro Zuffi, seakan-akan tak ada sangkut-pautnya dengan bola. Tapi, itulah Italia. Tapi, itulah bola. Apakah Anda percaya, bola bisa menggerakkan dua negara untuk berperang? Harus percaya, karena memang itu telah terjadi pada 1970. Honduras dan El Salvador mengumumkan perang setelah pertandingan sepak bola antara kedua negara itu berakhir ricuh. Sehaliknya, berkat pesona sepak bola, perang saudara di Biafra, Afrika, malah sempat terhenti di tahun 1969, tatkala Pele berkunjung ke sana. Pesona itulah yang membuat Amerika-Serikat sebagai negeri adikuasa sempat merasa iri karena tak bisa terlibat dalam pesta bola ini. Acara televisi dan lembaran koran di sana cuma menyediakan porsi kecil untuk pesta yang berlangsung setiap empat tahun itu. AS boleh-boleh saja dijuluki negeri adikuasa, superpower. Tapi tim sepak bolanya yang tampil di Italia, yang dipecundangi Ceko-Slovakia di Florence, dijuluki "anak bawang". Pemain-pemainnya sebagian besar adalah anak-anak imigran yang direkrut dari kesebelasan kampus. Pelatihnya, Bob Gansler, cuma punya prestasi tertinggi mengangkat kesebelasan SMA Milwaukee Bavarians juara di kotanya. Di Negeri Paman Sam, popularitas sepak bola memang kalah dari gebyar-gebyar bola basket, bisbol, atau American Football yang kelihatan "selalu rusuh" itu. Toh begitu AS tetap ngotot ingin menjadi tuan rumah penyelenggaraan Piala Dunia. Untuk mencapai tujuan itu, Pemerintah AS sampai menurunkan pakar-pakar diplomasi. Duet bekas Menlu Henry Kissinger dan Cyrus Vance menjalankan manuver di markas besar FIFA di Zurich sejak tahun 1970-an. Presiden Reagan sampai ikut repot. Ia pernah melobi Joao Havelange dengan jamuan makan khusus di Gedung Putih, akhir 1987. Akhirnya, upaya yang makan waktu belasan tahun itu membuahkan hasil. Pada Juli 1988, FIFA meluluskan permintaan Washington. AS terpilih jadi tuan rumah Piala Dunia 1994 mendatang. Tak heran kalau Italia sebagai penyelenggara Piala Dunia 1990 ini memang ngotot mempertaruhkan segala-galanya demi gengsi nasional. Setidaknya, Negeri Spageti itu ingin tercatat sebagai tuan rumah yang sukses. Sekitar US$ 2,3 milyar sudah dibelanjakan oleh Pemerintah Italia sejak tahun silam. Antara lain, untuk membuat dua stadion baru di Turin dan Bari, serta mendandani sepuluh stadion lainnya. Ini belum lagi ongkos pembuatan konstruksi perbaikan prasarana - seperti jalan-jalan dan stasiun kereta -- yang ditaksir menghabiskan US$ 4,4 milyar. Besarnya dana yang dihamburkan itu mengundang banyak kritik yang dialamatkan kepada cara kerja panitia yang diketuai Luca di Montezemolo. Padahal, pria berusia 42 tahun itu sudah kerja belingsatan sejak lima tahun silam, setelah ditunjuk sebagai Ketua Panitia Pelaksana Piala Dunia 1990. Gajinya, kalau dihitung-hitung, cuma Rp 225 juta setahun (atau sekitar Rp 18,7 juta per bulan). Itu merupakan setengah dari gajinya ketika ia menjabat eksekutif di perusahaan Fiat. Walaupun begitu, Montezemolo masih mendapat kepuasan lain yang, barangkali, tak bisa diukur dengan uang. Namanya kini berkibar, tak cuma di seluruh Italia, tapi juga ke seantero jagat. Popularitasnya menyamai bintang sepak bola Italia. Kehebatan dia memang berhasil menggenjot birokrasi Italia yang ruwet dan bertele-tele itu. Belum lagi pemerintahan yang jatuh bangun karena politik di Negeri Vespa itu dikenal sangat "panas". Bayangkan, ketika selama lima tahun pria bertubuh kerempeng itu memimpin Italia 90 -- Panitia Pelaksana Piala Dunia 1990--setidaknya mengalami pergantian enam perdana menteri dan 50 wali kota di 12 kota tempat diselenggarakannya Piala D~mia. "Terlalu banyak birokrasi. Terlalu banyak krisis politik di Italia," keluhnya. Akibatnya bisa diduga. Sejumlah kemacetan terjadi, pembangunan stadion, misalnya. Belum lagi dia harus menghadapi mafia kontraktor yang pasang harga rendah untuk memenangkan proyek. Belakangan, setelah kepepet, dengan seenaknya sang kontraktor mengaku kehabisan dana. Lalu, bisa ditebak, minta nilai kontrak dinaikkan. Semula, estimasi ongkos konstruksi stadion menghabiskan US$ 480 juta. Ternyata, menjelang turnamen dimulai, nilainya membengkak hampir dua kali lipat. Dan pekerjaan diburu-buru karena mengejar deadline. Korban pun bergelimpangan. Dikabarkan, setidaknya 25 pekerja konstruksi tewas dan 1.600 pekerja lainnya cedera. Semuanya demi gengsi Italia, demi Piala Dunia. Kini, korban berjatuhan akibat ulah suporter yang membanjiri Italia. Ahad malam lalu, gerombolan suporter Jerman Barat berlaga melawan pendukung Yugoslavia di luar stadion Giuseppe Meaza Milan. Sebelumnya, dua kesebelasan Eropa itu bertarung, dengan hasil kemenangan ~1 untuk Jerman Barat. Rupa-rupanya pertarungan di lapangan hijau itu dilanjutkan oleh masing-masing suporter yang mendadak jadi beringas. Kaca-kaca per tokoan dan mobil di sepanjang jalan dekat Katedral Duomo juga jadi sasaran amukan. Darah bersimbah. Dikabarkan, 23 orang cedera dan 36 lainnya ditahan polisi. Holiganisme memang jadi mode. P~enyakit yang dikenal berasal dari Inggris itu tampaknya, memang mulai menjalar ke negara lain. Tapi, tuan rumah Italia sud~ah ambil ancang-ancang dengan mengerahkan sekitar 45.000 polisi dan pasukan khusus carabinieri. Belum lagi perlengkap~ monitor-monitor televisi yang dipasang ~di 12 stadion. Semuanya untuk mendete~ksi secara dini kerusuhan yang bakal terjadi. Aparat keamanan memang agak ~condong untuk mengamati-amati suport~er Inggris yang dikenal edan. Celakanya, ~kota Cagliari di Pulau Sardinia, tempat tim Inggris bertanding, memiliki cuma delapan kamar sel. Ternyata ada sekelompok warga ~Italia yang "berbeda pendapat". Muncul ~~suara nyaring--yang menentang penyelengg~aan Piala Dunia - dari sekitar 2.000 tokoh sastra dan intelektual Italia. Mereka te~lah menerbitkan sebuah buku puisi yang berisi cercaan terhadap pesta bola itu - protes ~ala seniman. "Piala Dunia adalah sebuah barbarisme. Tujuannya hanya semata-m~ata komersial dan merampok bangsa Italla dari akar budayanya," kata Flavio Mani~eri, pakar psikologi yang menjadi pemimpin Komite Pertahanan Anti-Piala Dunia. Menurut Manieri, sejumlah keprihatinan - berkenaan dengan Piala Dunia --- su~dah mereka sodorkan kepada Pemerintah Italia. Yaitu, soal persyaratan keselamatan stadion, korupsi dalam proyek Piala Du~nia dan pemborosan. "Bangsa Italia dicuci otaknya. Selama sebulan penuh, mereka tak melakukan apa-apa, kecuali nongkr~ong,~ di depan televisi," ujarnya lagi. Para pengarang, termasuk novelis k~ondang, Alberto Moravia - beberapa bukunya sudah diterjemahkan ke bahasa I~ndonesia -- dan penyair Franco Fortuni ju~ga merencanakan untuk membaca puisi Anti-Piala Dunia di Roma selama pesta bola ~itu berlangsung. Yang kontroversial, ada survei yang menghasilkan bahwa satu dari lima orang Italia mengungkapkan: Kalau ada kesempatan, mereka memang hendak menyingkir dari histeria Piala Dunia ini. Para ibu rumah tangga protes berat ke televisi karena tiap hari siarannya dijejali acara sepak bola, tanpa pilihan lain. Suka atau tak suka, Montozemolo kini sedang menghitung-hitung keuntungan yang bisa diraup panitia. Dari penjualan karcis, ditaksir mendapat US$ 163 juta. Penjualan cendera mata memasukkan US$ 1,3 juta. Sedangkan dari TV rights mendapat US$ 71 juta. Belum lagi pendapatan dari penjualan lisensi maskot Ciao manusia kayu berkepala bola - sekitar US$ 40 juta. Dan masih banyak lagi, termasuk negeri Italia bakal kebanjiran US$ 300 juta -- karena belanja turis yang menetap selama Piala Dunia berlangsung-- tanpa perlu bikin acara Visit Year 1990. ~~~~~~~~~~Ahmed Kurnia S. (Jakarta), dan Rudy Novrianto (Milan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini