Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Marko yang Kandas

6 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketika Syamsir Alam menjejakkan kaki di Belanda, Marko Markus Kabiay nun jauh di Papua cuma bisa meratapi nasibnya. ”Saya sangat kecewa dan sedih,” ujarnya terbata-bata saat ditemui Tempo di rumah saudaranya, di Jalan Sekolah, Abepura, Kota Jayapura. Suaranya lirih. Ia sedang kena demam akibat malaria.

Marko adalah peserta yang juga lolos seleksi Pelita Bakrie di Sawangan, September lalu. Pelita Bakrie mengendus bakat cemerlang Marko saat ia memperkuat Persipura U-15 pada kejuaraan Boga Sari di Jayapura. Dari sana ia terpilih mengikuti seleksi di Sawangan bersama seorang rekannya.

Bukan malaria yang mengurungkan keberangkatan Marko ke Belanda. Ia batal pergi karena Pelita Bakrie menolak membayar kompensasi Rp 30 juta yang diminta ”seseorang” di Papua. Siapa orang tersebut? Ini yang tak jelas. Marko sendiri cuma bisa menggelengkan kepala. Pengurus klub Persipura tempat ia biasa ikut berlatih mengaku tak pernah meminta uang tersebut. ”Marko bukan anggota klub kami,” ujar Manajer Persipura, Iwan Nazaruddin.

Remaja kelahiran 17 Februari 1991 itu diketahui cuma menjadi anak didik di Pusat Pendidikan Latihan Pelajar (PPLP) milik Pemerintah Provinsi Papua. Memang ada lima siswa Pusat Pendidikan yang terikat kontrak dengan Persipura, tapi pelajar kelas tiga SMP Diaspora, Jayapura, ini tak pernah terikat kontrak dengan klub mana pun. Frengki Samay, pelatih di Pusat Pendidikan, juga membantah meminta duit kompensasi.

Sayang, Manajer Pelita Bakrie, Rahim Soekasah, pun enggan menyebut nama orang yang meminta uang tersebut. ”Waktu itu memang ada yang minta (kompensasi). Kalau sekarang tak mengaku, karena malu barangkali,” ujarnya.

Tinggallah Marko dengan harapan yang kandas untuk berguru sepak bola di Belanda. Ia menyesalkan sikap Bakrie yang melepas dirinya begitu saja. ”Padahal saya masih sangat bersedia pergi seperti Syamsir Alam ke Belanda,” ujar penggemar bintang Brasil, Ronaldinho, ini. Ia mengaku hingga saat ini masih menunggu keputusan dari Jakarta.

Jhon Kabiay, ayah Marko, ikut sibuk mencari penjelasan ke Jakarta dan pengurus klub maupun PLPP di Jayapura soal misteri permintaan kompensasi itu. Pegawai negeri kantor pemerintahan Kabupaten Keerom ini masih berharap anaknya bisa berangkat ke Belanda. Sepak bola memang mengalir dalam darah keluarga itu. Tiga kakak laki-laki Marko juga berprofesi sebagai pemain sepak bola.

Sepak bola mungkin alasan terbaik untuk mengangkat hidup keluarga ini.

AMR, Cunding Levi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus