Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Hukuman Mati Perlu Ditolak

6 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Todung Mulya Lubis

  • Ketua Dewan Pendiri Imparsial

    SETELAH eksekusi mati terhadap Tibo dan kawan-kawan, wacana tentang hukuman mati mencuat kembali. Beberapa pertanyaan dilontarkan: sejauh mana relevansi hukuman mati dalam mencegah (deterrence) kejahatan?

    Ada yang berpendapat hukuman mati membuat angka kejahatan menurun. Sementara pendapat lain mengatakan hukuman mati sama sekali tak mengurangi angka kejahatan. Ada juga yang melihatnya dari segi falsafah hukuman, apa sesungguhnya tujuan pemidanaan? Arena pembalasan dendam atau suatu hukuman yang mendidik dan merehabilitasi agar sang penjahat tobat dan menjadi manusia yang baik?

    Secara lebih mendasar dipertanyakan bahwa hak untuk mencabut nyawa manusia itu bukanlah hak negara atau manusia. Itu adalah hak Tuhan. Kalau Tuhan masih membuka pintu maaf, mengapa manusia tak juga membuka pintu maaf? Tetapi proponen hukuman mati selalu mengatakan bahwa lihat juga nasib dan penderitaan para korban yang telah kehilangan suami, istri, atau anaknya. Lihat juga tindak kejahatan yang sangat keji yang dilakukan oleh para penjahat. Jadi adalah tidak adil untuk mengampuni penjahat, sementara orang yang disayangi diperkosa, disiksa, atau dibunuh.

    Perdebatan tentang hukuman mati ini adalah perdebatan yang sudah berlangsung lama. Jika kita amati secara teliti, setidaknya ada tiga hal utama, yaitu hal penerapan hukum pidana, moralitas, dan konstitusionalitas. Semua soal filsafat, hukum, agama, dan budaya masuk secara serempak dalam ketiga hal utama hukuman mati tersebut.

    Adalah menarik membaca argumen-argumen yang dikemukakan baik oleh yang setuju maupun yang anti terhadap hukuman mati. Contoh-contoh yang ditampilkan juga sangat kuat. Tetapi jika melihat kecenderungan di dunia, kita akan melihat bahwa mayoritas negara telah menghapuskan atau setidaknya menghapuskan sebagian atau mengadakan moratorium hukuman mati.

    Sebanyak 88 negara sudah menghapuskan hukuman mati untuk segala jenis kejahatan (abolitionist), sedangkan 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kejahatan biasa (abolitionist for ordinary crimes). Di 11 negara itu hukuman mati masih diperlakukan untuk beberapa kejahatan yang sangat serius seperti kejahatan militer (heinous crimes). Sementara itu, 30 negara masih menganut hukuman mati tetapi tidak lagi melaksanakannya, atau dengan kata lain telah melakukan apa yang disebut sebagai moratorium. Jadi, sudah 129 negara yang menerapkan ketiga kategori tadi, yang bisa kita simpulkan sebagai negara yang telah melakukan penghapusan hukuman mati dalam peraturan perundangan dan prakteknya. Sementara itu, masih ada 68 negara yang masih mempertahankan dan memberlakukan hukuman mati (retentionist).

    Di kawasan ASEAN, negara yang masuk dalam kategori abolitionist adalah Kamboja dan Filipina serta Timor Leste—walau Timor Leste belum masuk ASEAN. Sedangkan negara yang menganut hukuman mati tetapi tidak melaksanakannya adalah Brunei Darussalam.

    Jadi, secara statistik, mayoritas negara ASEAN adalah negara yang masuk dalam kategori retentionist. Hal ini sesungguhnya tak sepenuhnya aneh karena dari data-data yang ada jumlah negara penganut hukuman mati dari Asia memang sangat banyak, seperti Afganistan, Bangladesh, Cina, India, Iran, Irak, Jepang, Korea Selatan, Korea Utara, Kazakhstan, Laos, Malaysia, Mongolia, Pakistan, Singapura, Taiwan, Thailand, Vietnam, dan lainnya lagi. Menurut Amnesty International, jumlah orang yang dieksekusi karena telah dijatuhi hukuman mati pada tahun 2003 paling banyak terjadi di Cina, Iran, Vietnam, dan Amerika Serikat. Di Cina, misalnya, pada tahun 2003 jumlah eksekusi hukuman mati mencapai angka 726 orang, walau diperkirakan angka ini bisa jadi lebih besar lagi.

    Ini berbeda, misalnya, dengan negara-negara Eropa yang hampir semuanya telah menghapuskan hukuman mati. Mayoritas negara Eropa, selain tunduk pada Universal Declaration of Human Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights, juga tunduk pada European Convention for Protection of Human Rights and Fundamental Freedom. Dalam ketiga dokumen internasional ini sangat tegas diakui the right to life yang ditafsirkan sebagai hak yang sifatnya absolut tak bisa dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable rights). Pengakuan akan the right to life ini betul-betul menjadi syarat mutlak untuk bergabung dalam komunitas Uni Eropa sehingga semua negara yang akan masuk menjadi anggota Uni Eropa mutlak harus menghilangkan klausul hukuman mati dalam hukum positif mereka.

    Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga tunduk pada Universal Declaration of Human Rights. Lalu, Indonesia juga sudah meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights, walaupun ratifikasi itu minus Second Optional Protocol. Selanjutnya dalam UUD 1945 setelah amendemen telah pula diakui secara tegas the right to life seperti yang tertulis dalam Pasal 28I Ayat 1. Dalam tafsiran saya, meski Indonesia belum meratifikasi Second Optional Protocol, Indonesia sudah terikat dengan the right to life, dan konsekuensi logis dari ini adalah sesegera mungkin mencabut dan menyatakan tak berlaku semua pasal yang mengandung hukuman mati dalam semua produk hukum kita tanpa kecuali.

    Tetapi ini tidak terjadi. Bukan cuma pasal-pasal hukuman mati itu tidak ada yang dicabut, malah ada suara yang menghendaki pasal hukuman mati pada beberapa tindak pidana baru seperti tindak pidana illegal logging dan money laundering. Rupanya, pemimpin-pemimpin di negeri ini tak bisa berpikir secara logis dan konsisten. Tragisnya lagi, belum lama ini eksekusi hukuman mati masih dijatuhkan pada tiga orang Thailand yang dihukum karena kejahatan narkotik, dan tiga orang Indonesia yang dituduh terlibat dalam kerusuhan Poso. Suara-suara yang memprotes eksekusi hukuman mati itu seperti jatuh ke telinga yang tuli.

    Selain alasan konstitusional dan hak asasi manusia di atas, seharusnya kita juga bisa meninjau persoalan hukuman mati ini dari sisi penerapan hukum pidana yang merupakan proses hukum yang melibatkan jaksa dan hakim. Sering orang yang dijatuhi hukuman mati terbukti bukan orang yang melakukan tindak pidana yang dituduhkan. Tidak jarang kita melihat hakim atau juri (dalam sistem juri) yang salah menjatuhkan hukuman mati karena berbagai alasan teknis hukum, psikologis maupun politik.

    Seorang mantan jaksa, Samuel Millsap, dalam kariernya sebagai jaksa di Texas percaya bahwa hukuman mati adalah hukuman yang tepat bagi pelaku kejahatan berat, sampai pada satu ketika dia menyadari bahwa orang yang telah dijatuhi hukuman mati, Ruben Cantu, ternyata seorang yang tak bersalah. Jaksa Samuel Millsap didera oleh perasaan bersalah dan mulai bertanya pada dirinya: apakah sistem peradilan pidana cukup andal dan sempurna dalam membuktikan kesalahan? Jaksa tersebut mulai menyelidiki kasus-kasus lain dan menemukan bahwa beberapa terpidana mati lain juga ternyata tidak bersalah, seperti yang terjadi pada Cameron Willingham dan Carlos De Luna. Akhirnya, jaksa Samuel Millsap menyimpulkan: the system simply doesn’t work. Dalam sebuah diskusi yang diadakan di Washington, DC, pada 21 Juli 2006, jaksa Samuel Millsap yang dulunya adalah jaksa pendukung hukuman mati akhirnya menyampaikan kesimpulannya:

    ”…I’ve come to the conclusion that the system as it relates to capital murder is simply broken. It’s my view in fact that because it’s driven by human beings and decisions that are made by human beings, it can’t be fixed, and that as a result that has to happen is that the option to put people to death has to end.”

    Saya kira alasan yang kuat untuk menolak hukuman mati adalah apa yang disebut sebagai fallibility of the criminal justice system. Para praktisi hukum seperti hakim, jaksa, polisi, dan pengacara sangat sadar bahwa ada miscarriage of justice dalam proses hukum, sehingga alasan untuk menghapuskan hukuman mati itu bukan tanpa dasar. Apalagi sekarang ini telah berkembang teknologi pengujian DNA yang sangat canggih yang dalam banyak kasus mampu membuktikan bahwa para terpidana hukuman mati ternyata bukan pelaku tindak pidana yang dituduhkan.

    Di sini menarik mengutip hasil kajian The Death Penalty Information Center yang mengatakan bahwa ada 116 orang yang sudah terselamatkan dari ancaman eksekusi hukuman mati karena dari hasil tes DNA mereka dapat dibuktikan bahwa mereka bukanlah orang yang terlibat dalam tindak pidana bersangkutan. Data ini menarik dan layak direnungkan. Kenapa? Karena tak semua pembuktian seseorang bersalah itu berkaitan dengan DNA, tetapi setidaknya dalam kasus-kasus pemerkosaan atau pemerkosaan yang diikuti dengan pembunuhan, misalnya, tes DNA tentu akan membantu. Tetapi dalam tindak pidana lain seperti terorisme atau illegal logging, tes DNA tentu tak selalu diperlukan.

    Jadi, ecara jujur kita harus bertanya: apakah benar sistem hukum pidana kita sempurna? Dalam tudingan bahwa proses hukum kita masih belum sepenuhnya mampu membebaskan dirinya dari bias yang datang dari luar, tekanan dan suap yang masih menggoda, maka putusan yang dijatuhkan belum tentu seratus persen didasarkan atas alat bukti yang kuat. Lantas, apakah seseorang harus dijatuhi hukuman mati karena bias yang menerpa para hakim? Apakah seseorang yang innocent harus dinyatakan guilty? Kalau demikian, apa artinya kuliah hukum yang selama ini mengajarkan lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum seseorang yang tak bersalah?

    Kalau pandangan tentang tidak sempurnanya sistem hukum pidana kita renungkan dengan jujur sembari mengaitkannya dengan sifat kejahatan yang terjadi seperti kejahatan narkoba dan terorisme, misalnya, kita akan melihat bahwa sering orang-orang yang sesungguhnya adalah pelaksana yang dijatuhi hukuman mati, padahal orang-orang yang menjadi cukong atau otak tindak pidana tersebut tak tersentuh hukum. Jaksa dan hakim kita sering tak kuasa, atau tak mau menyentuh orang-orang yang berada di belakang satu tindak pidana. Tak usah jauh-jauh, lihatlah kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir, yang masih gelap gulita sampai hari ini. Siapa pembunuh Munir sebenarnya?

    Kalau saya menolak hukuman mati, ini tidak semata-mata karena saya membela the right to life sebagai hak konstitusional dan hak asasi manusia fundamental, tetapi karena juga suatu kesadaran bahwa sistem hukum pidana kita masih jauh dari sempurna. Adalah dosa besar menghukum orang-orang yang belum tentu bersalah dan layak dihukum mati hanya karena kita punya pasal-pasal hukuman mati dalam produk perundangan kita. Bukankah kita juga punya hukuman lain yang sangat berat selain hukuman mati?

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus