PETINJU Indonesia bangkit kembali? Dari kejuaraan Piala Presiden ke-7 yang berlangsung di Istora, Senayan, 30 Januari - 4 Februari, petinju Indonesia berhasil merebut empat medali emas. Dari jumlah pengumpulan medali, petinju tuan rumah kelihatannya mengulang kembali prestasi yang pernah mereka tunjukkan tahun 1976, ketika kejuaraan antarbangsa itu untuk pertama kali dipertandingkan. Tetapi itu bukan berarti petinju tuan rumah bertahan mantap. Sebab, lawan-lawan yang muncul semakin merosot mutunya. "Korea Selatan datang dengan petinju kelas 3," komentar Syamsul Anwar Harahap, petlnju kelas welter ringan yang pernah tenar dan sekarang menjadi komentator koran dan televisi. Bukan itu saja. Negara-negara yang handal dalam tinju, seperti Amerika Serikat, Italia, dan Prancis, juga absen. Akibatnya, pertarungan 89 petinju dari 13 negara itu kurang memikat. Ini diakui Lee Han Song, pelatih yang sudah tiga kali mendampingi petinju Korea Selatan ke Piala Presiden ini. Sekarang inilah saatnya petinju Indonesia tampil sebagai juara umum di kandangnya sendiri. Selagi lawan memandang enteng. Tetapi nyatanya ambisi yang sudah tujuh tahun itu tak kesampaian. Francisco Lisboa dan 22 kawannya hanya mampu menduduki urutan kedua setelah Korea Selatan. Gelar juara umum yang tahun lalu dipegang Uni Soviet direbut Korea, yang datang dengan 11 petinju. "Kegagalan Indonesia ini terjadi karena persiapan yang hanya tiga minggu," kata Syamsul, memberikan ulasannya. Saleh Basarah, ketua umum PB Pertina, dengan nada nelangsa mengakui kurang siapnya para petinju. Dia menyebutkan, untuk menyelenggarakan latihan jangka panjang dlperlukan dana yang bukan sedlklt. "Kan Pertina bukan suatu perusahaan atau jawatan. Hanya sebuah perkumpulan, dan KONI juga tak sanggup untuk membiayai persiapan seperti itu," katanya. Saleh Basarah yakin, uang akan membangkitkan otot. Ia menunjukkan contoh Korea Selatan yang bukan apa-spa pada awal tahun 1970-an. Tetapi begitu muncul pengusaha bahan peledak yang memberikan sumbangan USS 1 juta setahun, Korea bagaikan dinamit tampil sebagai kekuatan tinju yang disegani di Asia. "Coba kalau memang benar apa yang digosipkan, satu orang saja dari seratus milyarder Indonesia itu mau jadi sponsor, tinju kita dapat berbicara di tingkat Asia," katanya bergurau. Keuangan Pertina rupanya sedang apes. Kejuaraan yang menelan biaya Rp 120 juta itu, menurut bendahara panitia, Bob Nasution, S.H., hanya pulang modal. Sebabnya, penonton memang berkurang dibandlngkan dengan tahun yang lalu. "Tahun lalu, malam semifinal bisa memasukkan sekitar Rp 17 juta. Sekarang hanya sekitar Rp 3 juta," keluh Bob. Karena mutu lawan yang datang semakin menurun dan gairah penonton kurang, berbagai pihak mengkhawatirkan kejuaraan ini akan semakin kehilangan arti. Saleh Basarah menganggap terlalu berat untuk membiayai kejuaraan ini saban tahun. "Kepada AIBA, saya sudah pernah meminta agar kejuaraan ini diselenggarakan setiap dua tahun sekali. Tetapi ditolak," ceritanya. Piala Prcsiden ini rupanya dianggap salah satu kebanggaan Asia. Sebab, hanya Piala Presiden ini dan Piala Raja di Bangkok yang masuk dalam kalender AIBA (Association Internationale de Boxe Amateur). Sekalipun Pertina kurang mujur dalam keuangan dan gagal meraih juara umum, masyarakat tinju masih tetap bisa bersorak. Alexander Wassa (kelas bulu) terpilih sebagai Petinju Terbaik. Dari lima finalis yang dihantarkan Indonesia, hanya Wim Sapulete (bantam) yang gagal. Tiga perebut emas lainnya adalah Johny Asadoma (ringan), Sonny Arwan (welter ringan), dan Francisco Lisboa (menengah ringan). Alex, anak pensiunan ABRI berpangkat kopral itu, tampil memikat ketika berhadapan dengan Mirosh Nichenoko (Uni Soviet). Ia cerdik dalam memasukkan pukulan-pukulan straight, menerobos pertahanan petimju Soviet yang kidal itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini